Judul Buku | : | Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu : Membangun Islam Berkemajuan di Bumi Raflesia |
Penulis | : | Salim Bela Pilli dan Hardiansyah |
Penerbit | : | Valia Pustaka, Yogyakarta |
Tahun Terbit | : | 2016 |
Tebal buku | : | 242 halaman |
Sejarah Muhammadiyah nasional telah banyak dikupas oleh sejarawan maupun peneliti, seperti M.T. Arifin, Alfian, James L Peacock, Harry J Benda, Alwi Shihab, Wienata Sairin, Deliar Noer, Mukti Ali maupun Mustafa Kamal yang mengupas Muhammadiyah dari berbagai sudut. Begitu pula buku-buku yang mengupas tentang riwayat hidup Kiai Dahlan telah pula ditulis oleh banyak penulis seperti Kyai Syuja’ dan Sutrisno Kutoyo. Namun berkaitan dengan sejarah Muhammadiyah lokal, masih banyak publikasi yang perlu diterbitkan untuk mengetahui Muhammadiyah dengan konsep “indonesiasentris” bukan hanya “jawasentris”.
Penulisan sejarah lokal Muhammadiyah telah banyak dikupas oleh para penulis baik dari luar negeri maupun dalam negeri seperti Mituso Nakamura yang mengupas Muhammadiyah di Kota Gede dalam perspektif budaya, Haedar nasir yang mengupas Muhammadiyah di Pekajangan, Hamka mengupas laju Muhammadiyah di Minangkabau dan lain sebagainya. Namun jumlah publikasi yang disajikan kepada publik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daya jelajah Muhammadiyah yang menembus sekat-sekat geografis di seluruh indonesia. Muhammadiyah tanpa catatan sejarah lokal ibarat seseorang yang menjadi keluarga besar Muhammadiyah tapi tidak tahu sejak kapan ia bermuhammadiyah.
Berbicara mengenai Muhammadiyah di Bengkulu, Alfian dalam bukunya menegaskan bahwa salah satu cabang Muhammadiyah yang dulu laju pertumbuhannya cepat di Sumatera adalah Bengkulu selain tentu saja Sumatera Barat. Bukan hanya dari segi kuantitas, namun dari segi dinamika pun Muhammadiyah Bengkulu patut untuk ditelaah secara khusus. Setidaknya ada empat hal yang bisa kita refleksikan dari historisitas Muhammadiyah Bengkulu ini.
Pertama, Tercatat beberapa kali Haji Muchtar, dari HB Muhammadiyah Yogyakarta datang ke Bengkulu untuk “menjinakkan” gerakan Muhammadiyah yang dinilai oleh Pemerintah Hindia Belanda terlalu keras terhadap pemerintah. Memang pada awal sejarahnya, Muhammadiyah Bengkulu lebih didominasi oleh “warna” kaum muda Minangkabau yang lebih menampakkan sikap tidak suka terhadap pemerintahan. Konsul Muhammadiyah Bengkulu yang pertama, Haji Yunus Jamaludin adalah seorang penduduk asli Bengkulu yang terpengaruh kuat dengan gagasan kaum muda yang berasal dari Minangkabau. Untuk mengimbangi “pengaruh” Sumatera Barat, maka diutuslah ke Bengkulu kader-kader Muhammadiyah dari jawa yang pendekatannya lebih soft, seperti Bapak Djalal Suyuthie. Pertentangan dengan kaum tradisionalis dan adat pun demikian keras hingga bakar membakar sampan di pantai pun tak terelakkan.
Kedua, Muhammadiyah Bengkulu adalah contoh bagaimana pembauran antar etnis berlangsung dengan sangat baik. Tidak hanya etnis Minang, Jawa maupun Bugis yang diterima dengan tangan terbuka, tapi juga etnis Tionghoa. Tercatat nama Oey Tjeng Hien seorang Tionghoa yang masuk Islam dan lebih dikenal dengan nama Haji Abdul Karim Oey. Beliau adalah salah seorang (bahkan mungkin satu-satunya) orang Tionghoa yang pernah menjadi konsul Muhammadiyah. Tidak hanya beliau, ia juga mengajak beberapa orang Tionghoa lainnya juga masuk Islam dan bergerak di Muhammadiyah. Salah satunya adalah Tjong A Tjin yang merupakan anak angkat beliau. Di saat daerah lain terdapat “gap” dengan sebutan “pri-“ dan “non-pri” Muhammadiyah Bengkulu jauh sebelumnya telah mengikis hal tersebut. Hal ini terbukti ketika terjadi gelombang kerusuhan anti Cina tahun 1998, Bengkulu merupakan salah satu daerah yang tidak ikut dalam gejolak nasional tersebut.
Ketiga, Nilai historis khusus Muhammadiyah Bengkulu jika dibandingkan Muhammadiyah lainnya adalah dengan bergabungnya Soekarno, Presiden pertama RI saat pembuangannya di Bengkulu menjadi majelis Pengadjaran Muhammadiyah cabang Bengkulu. Terjadi semacam simbiosis mutualisme antara Bung karno dan Muhammadiyah. Dari Muhammadiyah, Bung Karno memperoleh ruang gerak dalam menanamkan nasionalisme dan banyak belajar bagaimana gerakan modernisme Islam yang un-theoritic sedangkan Muhammadiyah mengambil semangat kebangsaan untuk memupuk rasa cinta tanah air para anggota-anggotanya. Bahkan Bung Karno menggagas konferensi Daeratul Kubro, salah satu konferensi terbesar pada saat itu yang mengundang hadirnya para tokoh Muhammadiyah sesumatera. Bahkan beliaupun memperisterikan aktivis Nasyiatul Aisyiyah dan puteri dari bapak Hassan Din yang merupakan penggerak Muhammadiyah Bengkulu, Fatmawati.
Keempat, ciri inklusif Muhammadiyah nampak di Bengkulu menegaskan bahwa Muhammadiyah siap bekerjasama dengan siapa saja untuk mencapai cita-citanya. Tercatat banyak guru-guru Muhammadiyah yang mengajar agama Islam di sekolah Taman Siswa Bengkulu, sedangkan guru Taman Siswa banyak pula yang mengajarkan tentang ilmu-ilmu umum di sekolah Muhammadiyah. Sehingga gerakannya tidak rigid, dengan meninggalkan doktrin “kelompok sini” dan “Kelompok sana”
Buku ini menyingkap secara lebih mendalam Muhammadiyah di Bengkulu, salah satu daerah yang masih mejadi daerah peripheral dalam penulisan sejarah Nasional. Jika dibaca secara teliti, walaupun para penulisnya bukanlah penulis yang berasal dari latar belakang kesejarahan namun buku ini telah mencoba untuk menyajikan data sesuai dengan metode sejarah. Selain itu, dua orang penulis setidaknya mewakili dua kelompok yaitu kelompok “kaum tua” yang diwakili oleh Salim Bela Pilli dan sudut pandang kesejarahan anak muda Muhammadiyah yang diwakili oleh Hardiansyah, membuat buku ini lebih berbobot. Buku ini pun menyajikan data sejarah secara runut berdasarkan kronologis kejadian. Dibuka dengan pintu masuk gerakan modernisme Islam hingga terbentuknya Muhammadiyah, Masa Belanda, Jepang hingga revolusi serta masa orde lama, orde baru dan perkembangan Muhammadiyah saat ini. Adanya tulisan tentang kondisi keislaman masyarakat Bengkulu sebelum masuknya Muhammadiyah menjadikan pembaca memiliki gambaran utuh tentang kondisi sosial masyarakatnya. Buku ini ditutup dengan rekomendasi yang diberikan oleh penulis selaku “orang dalam” sendiri.
Namun, buku setebal 242 halaman ini secara kebahasaan perlu untuk ditata lebih baik lagi. Selain itu banyak pula salah ketik yang ditemukan sehingga sedikit mengganggu pembaca. Walaupun demikian buku ini setidaknya memenuhi PR besar Muhammadiyah Bengkulu sejak tahun 1950 an yang memiliki cita-cita untuk menuliskan sejarah perjuangan mereka. Dan para penulis telah membayar lunas hutang para ayahanda mereka di masa lalu.
—————
Peresensi : Merri Sri Hartati
(Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta)