Pengajian Tarjih 32: Perumpamaan Al-Qur’an dan Sikap Manusia

Pengajian Tarjih 32: Perumpamaan Al-Qur’an dan Sikap Manusia

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tabligh Prof Dr Yunahar Ilyas Lc MAg (Foto: rbs/SM)

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Mingguan Tarjih edisi 32 di Masjid Gedhe Kauman, pada Rabu, 30 Januari 2019 menghadirkan pembicara Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Yunahar Ilyas Lc MAg. Kajian ini melanjutkan tema Tafsir At-Tanwir yang telah sampai pada bahasan QS. Al-Baqarah: 26-28 tentang perumpamaan untuk menggambarkan penerimaan dan penolakan manusia atas petunjuk al-Qur’an.

Sesungguhnya Allah tidak­lah malu membuat perumpamaan apa saja; nyamuk atau yang lebih kecil dari padanya. Maka adapun or­ang-orang yang beriman mengetahuilah dia bahwasa­nya itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan adapun orang-orang yang kafir, maka berkatalah mereka: Apa yang dikehendaki Allah dengan perumpamaan begini? Tersesatlah dengan sebabnya kebanyakan manusia dan mendapat petunjuk dengan sebabnya kebanyakan. Dan tidaklah akan tersesat dengan dia, melainkan orang-orang yang fasik (Ayat 26). (Yaitu) orang-orang yang memecahkan janji Allah sesudah diteguhkan dia, dan mereka putuskan apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan merusak mereka di bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi (Ayat 27). Bagaima kamu hendak kufur kepada Allah, padahal adalah kamu mati, lalu dihidupkan Nya kamu, kemudian Dia matikan kamu, kemudian Dia hidupkan; kemudian ke­padaNyalah kamu akan kembali,” (Ayat 28).

At Tanwir menyatakan bahwa salah satu metode al-Qur’an memberi pelajaran kepada manusia adalah dengan membuat perumpamaan. Di antara objek perumpamaan dalam al-Qur’an adalah menggunakan binatang, baik jenis vertebrata maupun invertebrata. Misalnya anjing, keledai, laba-laba, lalat, nyamuk. Perumpamaan dibuat untuk memudahkan pemahaman.

Meskipun binatang kecil, yang berkuasa untuk menciptakannya adalah Allah saja. “Hanya Allah yang bisa mencipta dari tidak ada menjadi ada. Manusia hanya bisa merubah dari yang ada ke bentuk yang lain. Manusia hanya mengolah bahan yang sudah dibuat oleh Allah. Meja misalkan, ciptaan manusia, tapi dari kayu, dari pohon yang ditumbuhkan oleh Allah,” ungkap Yunahar.

Perumpamaan binatang kecil menyadarkan manusia akan keterbatasannya. “Jangankan makhluk yang besar, yang kecil saja, manusia tidak bisa membuatnya. Sesungguhnya Tuhan-tuhan yang disembah selain Allah tidak bisa menciptakan seekor lalat pun,” tutur wakil ketua MUI ini.

Jangankan mencipta yang belum ada, membayangkan yang belum ada saja manusia tidak bisa. “Akal manusia terbatas. Ketika menghayalkan sesuatu, umumnya mengikuti preferensi imajinasi yang sudah pernah dilihat,” katanya. Di sinilah letak keterbatasan manusia. “Ada kalanya sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata bisa dilihat oleh hati,” ulas Yunahar.

Ketika Allah membuat perumpamaan, ujar Yunahar, ada manusia yang mendapat petunjuk dan ada juga yang tidak mendapat petunjuk. Orang-orang kafir dan fasik enggan untuk menerima petunjuk, meskipun sudah terang letak kebenaran.

Ayat selanjutnya tentang sifat orang fasik dalam menyikapi perumpamaan. Pertama, melanggar janji dengan Allah (QS. Al-A’raf: 172). Iman kepada Allah akan membawa pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Melahirkan kebaikan di muka bumi melalui aktivitas amal shaleh. “Di alam arwah, semua orang sudah berjanji, mengakui adanya Tuhan. Itu fitrah, modal dasar, harus diperlihara, dijaga,” ujarnya. Jika tidak dijaga, fitrah itu akan terkotori.

“Setiap bayi yang lahir itu muslim. Makanya di hadis disebutkan bahwa semua anak yang lahir itu di atas fitrah, orang tuanya yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, Majusi. Oleh karena itu, anak-anak itu perlu diarahkan kepada agama. Tidak bisa anak-anak diberi kebebasan,” ungkapnya.

Kedua, sifat orang fasik itu memutus apa yang diperintahkan untuk disambung, yaitu silaturahim. Memutus silaturahim adalah salah satu dosa besar. “Kalau ada yang berbuat jahil, kita balas dengan perilaku santun. Kalau ada yang zalim, kita maafkan. Sulit itu memaafkan, maunya saling balas-balasan,” ujar Yunahar.

Ketiga, orang fasik juga suka membuat kerusakan di muka bumi. Perbuatan merusak alam dan lingkungan merupakan pelanggaran perintah Allah. Penciptaan kelestarian di muka bumi merupakan wujud perjanjian primordial manusia dengan Allah. Sebaliknya, merusak bumi termasuk merusak memutus perjanjian dan melanggar perintah Allah.

“Menjaga lingkungan itu dengan dua cara: edukasi untuk membangun kesadaran dan penegakan hukum,” ungkapnya. Yunahar menceritakan pengalaman Kota Bangkok mengeluarkan banyak dana untuk mengubah semua bangunan supaya menghadap sungai dan tidak membelakangi sungai. Di Kota Hamburg Jerman, semua pohon punya akta tersendiri. Jika menabrak pohon, akan didenda.

Yunahar mengingatkan bahwa kalau kita cinta dan menjaga alam, maka alam akan membalas dengan yang baik kepada manusia, berupa alam yang indah, asri, air yang baik, dan seterusnya. (ribas)

Baca juga:

Pengajian Tarjih 23: Refleksi Islam Berkemajuan

Pengajian Tarjih 21: Bagaimana Muhammadiyah Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis?

Pengajian Tarjih 14: Bagaimana dan Kemana Tujuan Hidup Manusia?

Pengajian Tarjih 6: Menebar Kasih Sayang untuk Menjaga Kehidupan

Exit mobile version