Hayya ‘Ala Al-Falah

Hayya 'Ala Al-Falah

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyambut kedatagan tim Robotika UMM

Oleh: Haedar Nashir

Setiap manusia ingin hidupnya bahagia, menang, dan sukses. Tidak ada orang yang tidak menginginkan ketiganya, kecuali mereka yang tidak normal. Bahkan untuk bahagia, sukses, dan menang ada yang menggunakan segala cara yang tak halal. Sebutlah para  koruptor, penjahat, dan siapapun yang perangainya  suka menghalalkan segala cara yang kotor.

Kebahagiaan, kemenangan, dan kesuksesan dalam rujukan Islam disebut “al-falah”. Dalam Al-Quran terdapat 40 kata “al-Falah” dalam berbagai variasi ujaran. Sebelas kata di antaranya dirangkaikan dengan “la’allakum tuflihun”, artinya  agar kamu atas karunia Allah memperoleh keberuntungan. Sedangkan duabelas kata  “al-muflihun” dan satu kata  “al-muflihim”, yaitu “orang-orang yang menang, bahagia, dan berhasil”. Artinya, betapa penting memaknai kemenangan, kesuksesan, dan kebahagiaan dalam spirit “al-falah”.

Kata “al-falah” diambil dari kata “fal-hu”. Dalam “Al-Munjid” antara lain disebutkan beberapa arti kata “al-falah” yaitu   “sya-qa-ha” (falhu al-ardl)  yaitu mengolah bumi, membelah tanah atau membajak. Arti lain ialah  “na-ja-ha” yaitu berhasil dengan baik atau sukses. Arti yang ketiga ialah “dha-fa-ra bima thalaba”,  yaitu memperoleh sesuatu yang dicari. Banyak orang yang mencari sesuatu tidak memperoleh dan memperoleh sesuatu yang justru bukan yang dicari.

Kata  al-fallah yaitu petani yang mengolah pertaniannya sehingga tumbuh dan berbuah. Artinya mereka yang ingin menang, sukses, dan bahagia perlu perjuangan seperti petani yang mengolah tanah dan menanam tanamannya hingga berbuah manis. Tidak ada kemenangan, keberhasilan, dan kebahagiaan itu datang tiba-tiba, semuanya memerlukan ikhtiar plus berdo’a. Di luar ikhtiar memang ada anugerah Allah, namun anugerah itu tentu diberikan kepada mereka yang berjuang.

Setiap lima kali sehari setiap muslim diajak untuk berburu “al-falah” sebagaimana ajakan dalam iqamah pada shalat wajib. Ajakan tersebut selain bermakna syariat dalam rangkaian ajakan untuk bershalat. Pada saat yang sama mengandung arti pentingnya meraih kebahagiaan, kemenagan, dan kesuksesan yang hakiki. Manusia setiap harinya disibukkan dengan mengejar kebahagiaan, kemenagan, dan kesuksesan yang duniawi sehingga sering lupa yang ukhrawi.

Banyak pula orang yang mengukur kebahagiaan, kemenagan, dan kesuksesan dari segi lahir belaka seperti harta dan tahta. Tahta dan harta memang penting tetapi manakala tidak membawa kemaslahatan dan diraih dengan cara tak halal maka tidak akan membuahkan “al-falah” yang sejati. Manusia bahkan bisa terjebak pada masalah dan fitnah ketika mengejar kebahagiaan duniawi degan cara yang haram.

Bagi setiap muslim, kebahagiaan-kemenangan-kesuksesan itu selain caranya harus benar, baik, dan pantas juga memiliki makna yang penting yakni  bersifat lahir dan batin atau duniawi  dan ukhrawi. Menurut Raghib al-Ashfahani; kebahagiaan duniawi ialah kehidupan di dunia yang nyaman seperti kelanggengan hidup, kekayaan, dan kemuliaan. Sedangkan kebahagiaan ukhrawi yaitu wujud yang langgeng tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan ilmu tanpa ketidaktahuan.

Jika setiap muslim memakna kemenangan, kesuksesan, dan kebahagiaan  secara hakiki maka itulah yang disebut dengan al-fauz al-‘adhim. Agar meraih kemenangan yang sejati maka semua aktivitas muslim haruslah bernilai ibadah dan kebaikan” (QS Al Hajj: 77). Kegiatan berdakwah bahkan dapat membawa kebahagiaan, kesuksesan, dan kemenangan. Allah berfirman, yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran: 104). Maka, berorganisasi pun harus mengejar “al-falah”, bukan berebut jabatan dan kesenangan duniawi.


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Ibrah Majalah Suara Muhammadiyah Edisi Nomor 4 tahun 2015

Exit mobile version