Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Belakangan ini ramai perbincangan mengenai konsepsi bentuk Bumi, bulat (spherical) atau datar (flat)? Sejatinya, sejak era peradaban Yunani telah ada diskursus tentang ini, bahkan bukan saja pada perdebatan bulat atau datar, namun terdapat pandangan kala itu bahwa Bumi berbentuk perisai, berbentuk drum, berbentuk setengah lingkaran kubah langit, dan berbentuk tabung silinder. Sementara di peradaban China, orang-orang di zaman itu menyebut Bumi berbentuk persegi, sedangkan langit berbentuk bulat. Menurut Thales dari Yunani, Bumi berbentuk cakram datar yang menetap di atas air. Sedangkan menurut Anaximander Bumi tidak cakram datar, tapi melengkung.
Teori bahwa Bumi berbentuk bulat merupakan pendapat dominan dan merupakan awal perkembangan ilmu pengetahuan, karena sejak saat itu logika mulai digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada. Di zaman Yunani teori ini pernah dikemukakan oleh Phytagoras dan Aristoteles betapapun tidak dengan argumen yang kuat. Di peradaban Islam, konsepsi Bumi berbentuk bulat juga merupakan pendapat populer. Tokoh-tokoh seperti Abu al-Fida’ (w. 732/1331), Al-Biruni (w. 440/1048), Al-Mas’udi (w. 346/957), Ikhwan al-Shafa (abad 4/10), dan Ibn Khaldun (w. 808/1405) adalah diantara tokoh yang menganut spherical earth.
Abu al-Fida’ (w. 732/1331) dalam “Taqwīm al-Buldān” (Penanggalan Negeri-Negeri) misalnya, berargumen bahwa terbit dan terbenam planet-planet di belahan Timur dari belahan Barat menunjukkan perputaran planet-planet itu ke Timur dan Barat. Selain itu, posisi ketinggian kutub dan planet-planet di bagian Utara, dan sebaliknya posisi rendahnya di bagian Selatan menjadi bukti bahwa Bumi itu bulat. Bukti lainnya, tatkala ada tiga orang, satu berjalan ke arah Timur, satu ke arah Barat, sementara satu lagi tetap pada satu posisi (tidak melakukan perjalanan). Maka tatkala orang yang ke Barat kembali dari arah Timur, dan yang dari Timur kembali dari arah Barat, maka orang yang kembali dari arah Barat harinya berkurang satu hari, sebaliknya, yang kembali dari arah Timur harinya bertambah satu hari. Kenyataan ini membuktikan bahwa Bumi itu bulat.
Bukti lain, Matahari dan Bulan dan seluruh planet tidak ditemukan periode terbit dan terbenamnya di berbagai penjuru Bumi dalam waktu yang sama. Tatkala di satu belahan Bumi benda-benda langit terbenam maka pada belahan Bumi lainnya benda-benda langit akan tampak terbit, demikian seterusnya. Hal ini sekali lagi menjadi bukti bahwa Bumi itu bulat.
Al-Biruni (w. 440/1048) dalam beberapa karyanya secara panjang lebar menjelaskan masalah ini, antara lain dalam dua karyanya, “Ifrād al-Maqāl fī Amr azh-Zhilāl” (Entri Artikel Tentang Persoalan Bayang-Bayang) dan “al-Qānūn al-Mas’ūdy” (Undang-Undang Mas’ud). Secara garis besar, argumen Al-Biruni ada dua: pertama, argumen gerhana Bulan dan gerhana Matahari. Gerhana Bulan adalah keadaan dimana piringan Bulan terhalang sinar Matahari sehingga piringan Bulan terjadi secara bersamaan waktunya bagi penduduk Bumi yang dapat melihat Bulan. Sementara gerhana Matahari hanya terhalangnya penglihatan dari sinar Matahari sehingga proses gerhana Matahari tidak sama waktu dan durasinya jika dilihat oleh penduduk Bumi. Dengan demikian fenomena gerhana ini menjadi hujah bahwa bentuk Bumi bulat. Kedua, berdasarkan hasil pengamatan mengenai dataran Bumi yang tidak sama, ada yang tinggi dan ada yang rendah, menandakan bahwa bentuk Bumi adalah bulat. Sementara pada dataran rendah terjadinya terbit dan tenggelam Matahari dari waktu ke waktu selalu berubah. Demikian argumen al-Biruni.
Selain itu, pendapat ini juga didukung dengan sejumlah ayat Al-Qur’an, antara lain QS. Az-Zumar ayat 5, “Dia menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah! Dialah yang maha mulia, maha pengampun)”. Kata “at-takwir” yang juga berakar yang sama dengan kata “al-kurrah” (bola atau bulat) dalam ayat ini bermakna bahwa malam menggulung siang dan siang menggulung malam. Kalau malam dan siang dapat saling menggulung, pastilah karena keduanya berada pada satu tempat yang bulat. Bagaimana keduanya dapat saling menggulung jika berada pada tempat yang datar?
Namun, di era modern, hipotesis bahwa bumi datar mengemuka. Teori ini tercatat pernah dikemukakan oleh Samuel Rowbotham (1816–1884) dari Inggris yang meyakini bahwa Bumi adalah sebuah cakram datar yang berpusat di Kutub Utara dan dikelilingi oleh dinding es Antartika, sementara Matahari dan Bulan berjarak sekitar 4800 kilometer atau sekitar 3000 mil, sedangkan kosmos berjarak 5000 kilometer atau 3100 mil di atas Bumi. Sementara tahun 2016 ini, di Indonesia kembali disuguhkan dengan maraknya artikel-artikel dan tayangan audiovisual yang membahas tentang Bumi Bulat versus Bumi Datar. Para pengusung dan pendukung teori ini berargumen dengan sains dan syariat (agama).
Hal ini tentu sedikit mengejutkan, betapa selama berabad-abad diyakini bahwa Bumi itu bulat, namun kini digugat. Secara singkat, para pendukung flat earth berargumen antara lain: (1) bahwa daratan dari tempat tinggi (dari pesawat misalnya) sepanjang mata memandang akan terlihat datar. Di dalam pesawat selalu diberitahu bahwa pesawat berada dan terbang dengan ketinggian tertentu (tetap). Jika Bumi berbentuk bulat, seharusnya ketinggian terbang tidak pernah tetap. (2) seperti diketahui bahwa lautan di permukaan Bumi lebih dominan dari daratan. Jika bumi berbentuk bulat, maka air laut akan tumpah dan bergoyang-goyang di semua tempat, namun kenyataannya air tampak diam dan datar. Ini, menurut pengusung flat earth, menunjukkan bahwa bumi itu datar, bukan bulat.
Selain itu, aliran flat earth juga berargumen dengan ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya QS. Al-Ghasiyah ayat 20 dan QS. Al-Hijr ayat 19. QS. Al-Ghasyiyah ayat 20 menyatakan bahwa kata suthihat (dihamparkan) menunjukkan bahwa bumi itu datar. Sedangkan QS. Al-Hijr ayat 19 menyatakan sekaligus membantah orang-orang yang menduga bahwa bumi itu seperti bola (bulat). Pendapat ini antara lain diperpegangi oleh Al-Qurthubi.
Terlepas dari argumentasi keduannya, diskursus Bumi datar atau Bumi bulat ini tampaknya akan terus ada. Putusan dan pilihan bulat atau datar juga akan terus ada sesuai sudut pandang dan argumentasi masing-masing. Namun sejauh ia tidak berimplikasi pada ranah tauhid (akidah), juga fikih, oleh karena itu diskursus flat earth dan spherical earth sesungguhnya tidak ada masalah. Wallahu a’lam[]
Penulis adalah Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi 8 tahun 2017