MALANG, Suara Muhammadiyah-Universitas Muhammadiyah Malang menggelar Sarasehan Kebangsaan Pra-Tanwir pada Rabu, 7 Februari 2019, di UMM Dome, Malang. Narasumber yang dihadirkan antara lain Prof Frans Magnis Suseno, Prof A Munir Mulkhan, Prof A Malik Fajar, Prof Syamsul Arifin, dan Prof Nazaruddin Maliki. Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir menjadi pembicara kunci.
Haedar memulai dengan cerita ketika beberapa waktu lalu dirinya bersama dengan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X meresmikan sebuah masjid milik sebuah ranting Muhammadiyah. Kehadiran Sultan dalam kegiatan yang hanya lingkup desa atau kelurahan itu tidak biasa. Lebih tidak biasa lagi adalah sambutan yang disampaikan Sri Sultan dalam forum itu.
“Dalam sambutannya, Sri Sultan HB X menyatakan, Muhammadiyah lahir mendobrak tradisi kejumudan. Dalam melakukan pembaharuan, Kiai Dahlan dan Muhammadiyah awal menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Saya tiba-tiba tersentak dan merenung,” tutur Haedar.
Pernyataan Sultan memang benar adanya. Namun, kadang justru orang Muhammadiyah sendiri tidak menyadari peran yang diembannya. “Setahun ini waktu kita habis dalam merespons isu-isu panas. Hanya sibuk merespons sikap politik yang sampiran, parsial, dan kadang mengeras. Kita sudah hilang satu tahun dari lima tahun waktu kita mengemban amanah di Muhammadiyah. Mudah-mudahan situasi ini cepat berlalu,” ujarnya.
Dalam situasi sosial-politik yang penuh pertentangan dan membelah masyarakat ini, Tanwir Muhammadiyah diharapkan menjadi oase peneduh. “Tanwir ingin menjadi forum untuk muhasabah dan sekaligus kontemplasi lagi untuk kembali meneguhkan pemikiran-pemikiran keislaman yang diaktualisasikan dalam praktek kehidupan beragama kita yang mencerahkan,” ungkap Haedar.
“Di sinilah pentingnya menemukan kembali nilai-nilai pencerahan yang sejak awal melekat pada gerakan ini. “Agar Muhammadiyah tetap menjadi suluh, menjadi obor, menjadi penerang, menjadi sang pencerah. Menjadi sang pencerah itu memang berat tetapi mulia yang tentu harus dimulai dari kita. Karena kata pepatah faqidu al syai’ la yu’ti, bahwa dia yang tidak memiliki apa-apa tidak akan pernah bisa memberi apa-apa,” ulasnya.
Haedar mengajukan pertanyaan retoris: bagaimana mungkin kader atau elit Muhammadiyah dan Muhammadiyah bisa mencerahkan umat, mencerahkan bangsa, mencerahkan dunia kemanusiaan universal, mencerahkan Islam yang diyakininya, jika kita sendiri tidak memahami dan mengamalkan Islam dalam konstruksi misi pencerahan itu.
“Misi pencerahan Muhammadiyah sudah menjadi kodifikasi, misi resmi Muhammadiyah. Isu pencerahan itu kita mulai sejak tahun 2000 ketika itu Muktamar di Jakarta. Sejak itu gelinding isu pencerahan meluas sampai muktamar di kampus ini (tahun 2005),” ungkapnya. Ada banyak lagi dokumen yang menggariskan posisi Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan.
Menurut Haedar, paling minimal warga Muhammadiyah selalu berpijak pada dua landasan: ideologis dan teologis. Secara ideologis, misalnya pada dokumen Muktamar 2010. Ketika itu lahir pikiran Muhammadiyah abad kedua, yang di dalamnya berisi dua hal: (1) Islam berkemajuan dan (2) gerakan pencerahan.
“Tidak banyak rupanya pimpinan dan elit Muhammadiyah yang membaca dokumen ini, sehingga sering lepas konteks dalam membaca realitas. Bahkan untuk tetap bersikap sesuai dengan, misalnya, 10 kepribadian Muhammadiyah saja, kita dianggap menyimpang,” katanya. Kondisi internal Muhammadiyah ini patut menjadi perhatian segenap kader dan pimpinan Muhammadiyah.
Demikian halnya dengan landasan teologis. “Islam sebagai agama pencerahan. Di al-Qur’an terdapat banyak kata nur, tanwir, terkait dengan takhrij min al-dhulumat ila al-nur,” ujarnya. Dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua tahun 2010 dinyatakan bahwa gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Gerakan pencerahan dihadirkan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural.
Haedar menyebut bahwa gerakan pencerahan (aufklarung) di Barat berbeda dengan pencerahan yang diusung Muhammadiyah. Di Barat, pencerahan bergerak dari ekstrem tradisionalisme-konservatisme menuju kepada pendulum ekstem humanisme-sekular. Sementara, Muhammadiyah tetap berpijak pada nilai-nilai agama.
Islam sejak awal telah memberi perhatian pada budaya literasi dan kemajuan ilmu pengetahuan yang bersenyawa dengan agama. “Dalam konteks iqra di sini tidak sebatas iqra. Tapi iqra bismi rabbika allazi khalaq. Dalam bahasa Kuntowijoyo disebut sebagai ilmu profetik,” ulasnya.
Di sinilah arti penting akal pikiran bagi umat Islam. Kehadirannya saling beriring dengan wahyu. “Jangan pernah takut ketika kita menggunakan akal pikiran, kemudian akal pikiran itu kita dialogkan dengan wahyu, dan wahyu itu kita elaborasi dengan ijtihad,” ujar Haedar. Dari sinilah bermula dinamisasi atau pembaharuan.
“Wahyu itu, al-Quran dan sunnah maqbulah, kita turunkan lagi dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Jika ini kita gunakan, saya pikir Muhammadiyah abad kedua akan melahirkan pemikiran Muhammadiyah jilid kedua. Alhamdulillah, (Majelis) Tarjih sekarang sudah memulai itu dengan Tafsir At Tanwir,” ungkap Haedar.
Sikap untuk kembali kepada karakter Muhammadiyah dirasakan sudah sangat mendesak. Jangan sampai larut dalam kerumunan. “Mari kita konstruksikan pemikiran kita dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani ini agar kita tidak masuk dalam bias-bias pemikiran keislaman yang melahirkan Islam yang sumbu pendek. Yang sumbu pendek ini sering menjadi sumber dari banyak masalah. Bukan hanya terhadap orang lain, bahkan di antara sesama kita sendiri,” katanya.
Pasca reformasi, ungkap Haedar, muncul dua kekuatan. Yang satu mengeras ke kanan dan yang satu mengeras ke sebelah kiri, namun dalam jumlah kecil. “Yang ke kanan ini bersimbiosis dan bersenyawa dengan politik. Terutama pasca pilkada DKI 2017. Melahirkan pandangan keagamaan dan pandangan politik yang mengeras, serba absolut, dan menutup ruang untuk toleransi, menutup ruang untuk dialog, menutup ruang untuk perbedaan,” imbuhnya.
Perspektif bayani, burhani, irfani, perlu terus diperkaya dengan berbagai sudut pandang. Haedar berharap banyak pada para intelektual Muhammadiyah. “Perguruan Tinggi ini harus menjadi penyuplai pemikiran-pemikiran pencerahan bagi masa depan Muhammadiyah, (dan untuk tujuan itu) sudah cukup waktu dan sumber daya manusia yang dimiliki Muhammadiyah,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Haedar juga menekankan supaya umat Islam dan warga Muhammadiyah khususnya kembali pada prinsip utama ajaran Islam. Semisal ajaran tentang kasih sayang (welas asih), adil (proporsional), ihsan (berbuat kebaikan yang serba melampaui), dan seterusnya. Sehingga Islam menampakkan wajah yang meneduhkan dan menjadi penyelesai masalah. (ribas)