Perang Wacana dalam Catatan Sejarah

Perang Wacana dalam Catatan Sejarah

Azyumardi Azra

 

Melihat Islam dalam sejarah Indonesia, nampaknya peran Islam dan umat Islam tak ada sama sekali. Padahal faktanya, Islam dan umat Islam sangat besar peranannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Untuk membahas hal ini, redaksi Suara Muhammadiyah mengundang sejarawan muslim Prof Dr Azyumardi Azra ke kantor redaksi. Dalam perbincangan tersebut, ia mengemukakan perlunya memperbanyak sejarawan muslim dalam upaya memenangkan perang wacana dalam penulisan sejarah. Selanjutnya, simak dialog berikut ini:

Saat-saat ini, buku sejarah yang dulu dibredel dan merugikan umat Islam diterbitkan lagi. Bagaimana menurut Prof Azra?

Pasca reformasi Indonesia seperti Open Ground, jadi wilayah yang terbuka atas nama demokrasi, atas nama kebebasan, termasuk dengan sejarah. Jadi buku-buku sejarah yang dahulunya dibredel atau tidak cocok diedarkan karena protes-protes dari masyarakat Islam, sekarang diterbitkan lagi. Termasuk buku Slamet Mulyana yang mengenai teori islamisasi, Islam datang dari China. Dari segi itu, tentu kita tidak bisa menghalangi.

Tapi secara umum, sejak era Kuntowidjoyo, penulisan sejarah banyak mengalami perkembangan yang positif. Lebih-lebih ketika terjadi perubahan di kementerian Dikbud. Jadi sebetulnya dalam 10 atau 15 tahun terkahir itu cukup banyak lahir karya-karya besar yang memberikan tempat, posisi yang lebih sesuai dengan sejarah, kepada umat Islam dan agama Islam. Kebetulan saya terlibat masa itu, yaitu antara tahun 1995 ke atas sampai sekarang. Salah satu bentuknya adalah Ensiklopedi Islam yang dieditori oleh Prof Harun Nasution. Itu lebih menekankan sejarah Islam pada aspek doktrinalnya dan diberlakukan entri, kata kunci, seperti nama orang, walaupaun pendekatanya belum sejarah.

Tapi yang lebih spesifik lagi adalah Pak Taufik Abdullah yang menjadi editor utama dari beberapa ensiklopedi yang diterbitkan oleh Ichtiar Baru Van Hoeve. Walaupun banyak, tapi belum didasarkan pada terminoligi dan tidak menggunakan enteri, tapi lebih kepada subjek tertentu dalam bidang tertentu.

Tadi disebutkan peran Dikbud. Apa saja itu?

Kementerian Dikbud sendiri mulai ada proyek-proyek besar terkait pembukuan sejarah. Misalnya yang monumental adalah buku yang merevisi banyak teori dari buku babon, induk, karya Nugroho Noto Susanto, yaitu buku Indonesia Dalam Arus Sejarah. Ada satu buku khusus yang mengupas tentang Islam Indonesia. Terakhir diterbitkan buku Sejarah Kebudayaan Islam masa Dirjenya Kacung Marijan. Secara paham keagamaan Kacung Marijan ini NU, tapi mayoritas penulisnya adalah orang-orang non NU termasuk Muhammadiyah. Kontennya cukup lengkap karena memuat bahasa, pemikiran, intelektualisme, bahkan sampai kepada sejarah tasawuf dan tarekat.

Jadi kalau dilihat dari sudut itu, sejarah Islam Indonesia sebetulnya semakin mendapat tempat. Karena lahir penulis-penulis dari perguruan tinggi Islam, termasuk saya, yang aktif mengoreksi beberapa hal yang selama ini tidak pada proporsi yang sebenarnya. Missal saja tentang posisi Islam di dalam kebudayaan Jawa. Dalam kajian sebelumnya, seperti pendapat Frans Magnis Suseno tentang Etika Jawa. Menurutnya tidak ada kaitanya Etika Jawa dengan ajaran Islam. Walaupun tidak secara eksplisit tulisan koreksian itu disebutkan. Tapi bagi yang sudah membaca, tentu akan paham bahwa tulisan yang kami buat adalah untuk mengoreksi teori yang ada sebelumnya.

Kenapa sekarang muncul karya-karya koreksian seperti itu?

Munculnya karya-karya ini, karena mulai munculnya sejarawan yang santri. Yaitu sejarawan yang berlatarbelakang perguraun tinggi Islam, bisa berbahasa arab, bisa memahami teks arab, dan paham konsep-konsep Islam. Inilah yang membedakan sejarawan muslim sekarang, angkatan saya dengan generasi sebelumnya seperti Kuntowijojo dan juga Taufik Abdullah. Mereka punya kelemahan, Taufik Abdullah dan Kuntowidjojo sama-sama kurang memahami konsep-konsep Islam dan pemikiran-pemikiran Islam.

Maksudnya dengan pemikiran Islam?

Menurut Harun Nasution, pemikiran Islam itu dibagi menjadi empat. Pertama kalam atau teologi, kemudian syariah, fikih, lalu filsafat, dan terakhir tasawuf. Kalau saya lebih dari empat itu, termasuk politik dan pendidikan. Berikutnya, untuk memperkuat itu harus memiliki alatnya yaitu bahasa Arab. Kalau Kuntowidjojo saya tidak tahu kebenaranya, tapi dugaan saya dia tidak bisa berbahasa Arab. Apalagi Pak Taufik, setahu saya di tidak bisa berbicara pemikiran Islam yang bersumber dari naskah arab.

Jadi lahirnya sejarah Islam Indonesia itu karena lahirnya sejarawan muslim muda yang paham konsep-konsep Islam. Entah itu lulusan Barat atau Timur Tengah, yang terpenting adalah kemampuan memahami konsep-konsep Islam dan mampu berbahasa Arab.

Kenapa kemudian peminggiran peran Islam dalam penulisan sejarah ini tetap terjadi sampai saat ini?

Katakanlah pasca kemerdekaan dan baru kemudian muncul koreksi pada tahun 1995. Karena dominan sejarawan yang muncul pada awal-awal kemerdekaan adalah sejarawan yang tidak paham Islam. Pak Taufik itu tahun 1970-an sedang Pak Kunto 1980-an. Kebanyakan sejarawan yang muncul saat itu adalah non muslim, atau dia muslim tapi abangan. Entah itu sengaja atau tidak, sejarah yang muncul saat itu, pasca Indonesia merdeka sangat meminggirkan Islam dari kenyataanya.

Padahal Islam adalah faktor penting lahirnya kemerdekaan Indonesia. Walaupun saat itu lahir Sartono Kartodirjo dari Yogyakarta sejarawan yang terkemuka sekali. Tapi bagaimanapun agama sangat berpengaruh terhadap tulisan sejarah. Apalagi jika pendekatanya menggunakan teori sosial yang tidak melihat agama sebagai faktor penting dalam sebuah gerakan.

Contohnya?

Misal saja Pak Sartono, itu kan sangat dipengaruhi oleh teori-teori mengenai gerakan sosial, maka disertasinya ya tidak jauh dari itu, yaitu Pemberontakan Petani Banten. Dia tidak bisa melihat kerusuhan Banten itu dari faktor agama. Tentu akan berbeda jika saya yang menulis. Menurut saya yang terjadi di Banten bukan pemberontakan petani, tapi perlawanan orang tarekat. Itu adalah Islamic Movement, pergerakan Islam.

Sebagai contoh lagi adalah sejarah Pangeran Diponegoro yang menurut sejarah nasional itu karena urusan tanah dan jalan, orang China memunguti pajak, atau Diponegoro tersingkir dari Istana. Itu yang muncul. Setelah saya mengoreksi dan dibantu Peter Carey, ternyata gerakan Diponegoro adalah gerakan Islam. Karena Diponegoro sendiri mengalami intensifikasi keislaman sehingga ia pergi ke pesantren, dan sebagian laskar Diponegoro adalah dari pesantren, termasuk Sentot Ali Basa.

Lalu bagaimana dengan momen-momen sejarah yang sudah menjadi sejarah resmi nasional?

Memang masih ada moment sejarah yang harus kita koreksi. Terutama yang terkait dengan sejarah resmi nasional. Misalnya hari kebangkitan Nasional yang diambil dari lahirnya Boedi Oetomo. Itu jelas salah. Karena Boedi Oetomo itu sifatnya lokal bukan nasional. Yang betul-betul nasional itu adalah Sarekat Islam.

Katakanlah Boedi Oetomo itu lebih dahulu lahir dari Sarekat Islam, tapi dalam statutanya Boedi Oetomo itu didirikan untuk memajukan budaya jawa. Sedang Serekat Islam itu nasional dalam berbagai hal. Cita-citanya nasional, yaitu untuk memerdekakan Indonesia dari Belanda. Kemudian, keanggotaanya terdiri dari seluruh orang kepulauan nusantara ini. Bisa jadi ditetapkanya tanggal lahir Boedi Oetomo sebagai hari kebangkitan nasional itu karena kepentingan praktis, bisa juga karena kenaifan pemimpin kita saat itu yang tidak paham sejarah. Karena memang sejarah yang dibaca oleh pemimpin kita saat itu adalah sejarah yang dituliskan oleh orang ahli Belanda.

Sejarah Hindia Belanda yang ditulis oleh ahli-ahli Belanda itu memiliki kepentingan, mengandung upaya secara sitematis, untuk mengecilkan peranan Islam. Missal saja yang ditulis oleh Karel Steenbrink yang mengungkapkan ada upaya sitematis yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Belanda untuk mengecilkan peran Islam. Atau sebagaimana yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje yang memisahkan antara adat dengan Islam, memisahkan antara fungsionaris Islam dengan Fungsionaris adat. Atau di Jawa, bahwa menurut beberapa sejarawan, contoh saja Sekaten, itu tidak ada kaitanya dengan agama. Tapi kemuadian beberapa sejarawan mengungkapkan bahwa Sekaten itu ada kaitanya dengan Islam, cuma mengalami vernakulerisasi, yaitu diungkapkan dengan bahasa dan konsep lokal. Tadinya itu Syahadatain kemudian berubah menjadi Sekaten.

Kenapa kemudian Islam dipinggirkan?

Tidak lain karena Belanda ingin memisahkan Islam dengan Jawa demi kepentingan ideologis mereka. Akibatnya, dari sitemisasi pengecilan peran Islam itu, terkadang kita ikut mengakui kebenaran mereka dan cenderung kita sendiri yang mengecilkan Islam. Sebagai contoh kita sering mengatakan jumlah penduduk Islam di Indonesia itu 80%, tapi yang menjalankan ibadah hanya 20%. Itu data dari mana? Ingat peryataan itu sering dimanfaatkan non Islam untuk menjatuhkan Islam. Bahkan menurut hasil penelitian, Indonesia adalah Negara yang paling taat beribadah. Sekali lagi jangan mengecilkan peran Islam, karena itu sangat menggembirakan orang diluar Islam.

Bagaimana untuk mengembalikan peran Islam dalam sejarah?

Ya memperbanyak sejarawan-sejarawan Islam. Semakin banyak yang menulis, termasuk sejarah resmi, maka peran Islam akan muncul. Kita itu perang wacana dalam hal ini, karenanya harus kita perbanyak penulis-penulisnya untuk dapat memenangkan perang wacana ini. (gsh/eff).

 

Exit mobile version