Oleh: Muhammad Azhar
Tulisan berjudul “Upaya Memproduk Ulama Tarjih” di Suara Muhammadiyah No.12/16-30 Juni 2015 (42) mendorong penulis untuk menanggapinya. Eksistensi ulama dan peran Ormas Islam (termasuk Muhammadiyah) memang suatu keharusan di tengah warga bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Perlu juga diingat bahwa beberapa dasawarsa terakhir, Muhammadiyah telah menyiapkan calon-calon ulama masa depan melalui program Pascasarjana di UMY, UMM dan UMS. Muhammadiyah juga telah lama melakukan kaderisasi ulama tingkat awal melalui Madrasah Muallimin dan Muallimat di Yogyakarta. Secara lebih spesifik Muhammadiyah telah mendirikan PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) walau belum begitu berkembang di berbagai cabang dan daerah Muhammadiyah di Indonesia. Hal ini menyebabkan terjadinya kelangkaan ulama Muhammadiyah terutama di daerah-daerah dan pedesaan. Pada periode pemerintahan saat ini Kemenag RI sudah mencanangkan secara lebih intensif perkaderan ulama sebanyak 5000 Doktor untuk lima tahun ke depan, baik yang dididik di dalam maupun luar negeri.
Yang paling urgen untuk dipikirkan adalah bagaimana upaya mencetak ulama yang berwawasan ke depan (future oriented) bukan berbasis pada epistemolog keilmuan Islam klasik semata. Dengan demikian, dimensi materi (maddah) maupun metodologi (thariqah) merupakan dua hal yang paling substansial untuk diperbaharui di masa depan, selain masalah pendanaan serta sarana lainnya. Aspek kontekstualisasi dari program pendidikan ulama ini sejalan dengan pesan profetik: “Didiklah generasimu dengan sebaik mungkin, karena mereka akan menghadapi tantangan yang sama sekali berbeda dengan zamanmu”.
Maka, upaya pembacaan baru (qiraah muntijah/production of meaning) menjadi sebuah keniscayaan intelektualisme keislaman masa depan. Bukan sekedar pembacaan yang berulang-ulang atau berkutat pada khazanah Islam klasik semata (qiraah mutakarrirah/reproduction of meaning). Karya-karya ulama, pemikir dan intelektual Muslim kontemporer sudah seharusnya dijadikan referensi materi dan metodologi perkaderan ulama masa depan. Diantara pemikir Islam kontemporer tersebut antara lain: Ismail Raji al-Faruqi, Naquib al-Attas, Murtadha Muthahhari, Ali Syariati, Abdul Karim Soroush, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Muhammad Said al-‘Asymawi, Mohamed ‘Abid al-Jabiry, Jasser Auda, Khalid abou el-Fadl, Mohammed Arkoun, Asghar Ali Enginer, Talal Asad, Omid Safi, Tariq Ramadan, Mohammad Sahrour, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdullah Saeed.
Berbagai pembacaan kontemporer di atas akan memperkaya berbagai literatur keislaman klasik yang sudah ada seperti karya-karya: Imam Ghazali, para Imam Mazhab, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Farabi, Ibnu Miskawaih, Muhammad Abduh, Jamaludin al-Afghani, Muhammad bin Abdul Wahab, dan lain-lain. Para calon ulama masa depan juga sebaiknya membaca ulang secara kritis karya ulama Indonesia seperti: Hamzah Fansuri, Nurudin ar-Raniry, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, A. Hassan, Buya Hamka, M. Natsir, Ali Hasymi, Agus Salim, KH Ibrahim Hosein, KH Ahmad Azhar Basyir, Mukti Ali, Harun Nasution, dll.
Calon ulama Islam Indonesia masa depan juga harus membaca beberapa trend perkembangan kontemporer berikut ini. Pertama, secara historis, era kini dan mendatang sering dikategorisasikan sebagai era Posmodernisme yang bercirikan: kemanusiaan yang universal, pluralitas suku-bangsa dan keagamaan, dan spirituality. Era pemikiran keislaman yang semata-mata berbasis pada tradisi dan metode hafalan sudah tidak memadai, walau tetap penting terutama untuk tingkat dasar kaderisasi keulamaan. Demikian pula corak era Posmodernisme sudah berbeda dengan era Islam modern yang serba rasional-positivistik yang bercirikan dalam melihat suatu persoalan hanya berbasis pada logika black or white atau halal-haram semata. Perlunya keseriusan ulama masa depan membaca secara kritis kecenderungan era Posmodernisme tersebut sebagai wujud dari pertnyataan Nabi: “Aku diperintahkan untuk berdialektika dengan umat manusia sesuai dinamika logika/corak epistemologis mereka/umirtu an ukallima an-nas ‘ala qadri ‘uqulihim)”.
Kedua, perlunya membuka secara lebih luas ruang-ruang baru penafsiran dan perluasan kajian kritik hadis/ulumul hadis, baik secara sanad maupun matan. Kitab suci Al-Qur’an berbagai warisan kitab hadis. Namun telaah kritis terhadap kedua sumber Islam tersebut harus terus dilakukan melalui perluasan makna dan pemahaman sesuai dinamika zaman yang berkembang. Ulama tafsir dan ulama hadis harus selalu dilahirkan karena metodologi kajian keislaman akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan logika manusia dan tantangan sosial yang mengitarinya.
Ketiga, demikian pula perlunya perluasan horizon teologi dan fikih terutama pemahaman tentang maqashid as-syariah seperti yang dikemukakan oleh Jasser Auda. Kasus perbedaan metodologi fatwa MUI dan “fatwa” MK tentang nasib anak-isteri yang melakukan hubungan di luar pernikahan resmi menjadi salahsatu contoh munculnya perdebatan serta perbedaan nuansa ijtihad antara kedua lembaga tersebut. Demikian pula kasus Aceng Fikri, dan sejenisnya. Tawaran paradigmatik back to Makiyyah model Abdullahi Ahmed an-Naim, menarik untuk dicermati dan dikaji secara kritis terutama yang terkait dengan isu: HAM, eksistensi non-Muslim maupun kedudukan kaum perempuan. Demikian pola konsep ideal-moral/legal-spesifik serta teori double movement dalam pembacaan Al-Qur’an model Fazlur Rahman maupun teori otoritarianisme maupun otoritas fatwa keagamaan yang ditawarkan Khalid Abou el-Fadl menarik untuk dijadikan bahan kajian kritis ulama masa depan.
Keempat, produk-produk fikih yang bernuansa humanity perlu terus dikaji dan diproduksi oleh ulama masa kini dan masa depan. Muhammadiyah sendiri telah memproduksi beberapa fikih baru yang layak dijadikan referensi kaderisasi ulama masa depan, seperti: fikih al-Maun, fikih antikorupsi, fikih seni-budaya, fikih tatakelola, fikih air, fikih kebencanaan, fikih perempuan, fikih kebhinnekaan.
Kelima, program Kemenag RI untuk mencetak 5000 doktor merupakan terobosan yang positif dan kontekstual untuk memperkuat barisan ulama intelek di masa depan. Almarhum Harun Nasution pernah menyatakan bahwa ulama masa depan idealnya bergelar doktor karena sudah melalui proses pengujian akademik-metodologis, bukan sekedar ulama yang hanya kaya materi (maddah), namun miskin metodologi.
Keenam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Omid Safi bahwa ulama masa depa harus bersifat multiple critique yakni kritis terhadap khazanah ulama Islam klasik sekaligus kritis terhadap warisan pemikiran dan peradaban Barat. Kedua warisan tersabut harus diletakkan di meja bedah keilmuan yang kritis-konstruktif-independen untuk membangun peradaban Islam masa depan yang baru.
Ketujuh, perspektif baru keislaman harus berisfat out of the box dan bersifat kritis-independen terhadap semua warisan peradaban Sunni-Syiah, serta melintasi lima mazhab (Maliki, Hanafi, Syafii, Hanbali, Ja’fary, dll). Nabi Muhammad SAW sendiri bukanlah Sunni atau Syiah dan tidak berafiliasi dengan mazhab fikih manapun. Kedelapan, ulama Islam Indonesia masa depan ada baiknya mengikuti dinamika wacana Islam Nusantara sebagaimana tercermin dari program ilmiah tahunan Kemenag RI yakni AICIS (Annual International Conference on Islamic Studies) yang sudah barang tentu berbeda dengan corak Islam Wahabi ala Saudi, Islam Syiah ala Iran, bahkan berbeda dengan model Western Islam ala Tariq Ramadan yang memang difokuskan untuk muslim minoritas di Barat. Terakhir, umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, harus membedakan, secara clear cut, mana PUTUSAN (yang mengikat), FATWA (anjuran moral) serta WACANA (perdebatan akademis-ilmiah yang bersifat bebas). Jika ketiga hal ini bisa dibedakan, maka semarak perdebatan keilmuan Islam Nusantara menjadi lebih menarik, sebagai ajang saling memperkaya antar sesama umat di negeri mayoritas muslim di Indonesia. Bukankah Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Yusuf Qaradlawy dan para pengamat lainnya sudah meramalkan bahwa Islam Indonesia paling potensial untuk menjadi pemimpin dunia Islam masa depan, di tengah semakin carut-marutnya nasib kaum muslimin di Timur Tengah maupun belahan dunia muslim lainnya. Wallahu a’lam bisshawab.
—————–
Penulis adalah Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid, Dosen FAI dan Pascasarjana UMY