BENGKULU, Suara Muhammadiyah – Sejak berdirinya tahun 1912, watak asli persyarikatan Muhammadiyah adalah gerakan kultural, tetapi selalu bersentuhan dengan struktural. “Inilah yang kemudian menguatkan bahwa Muhammadiyah bukanlah gerakan politik, tapi tidak juga anti politik,” terang Syaifullah Penulis buku Pergeseran Politik Muhammadiyah dalam bedah buku itu, Sabtu (16/2).
Gerakan kultural yang dimaksud, adalah gerakan terjun langsung ke lapangan untuk menyelesaikan persoalan umat. “Masyarakat yang belum makan ya Muhammadiyah kasih makan, masyarakat belum cerdas ya Muhammadiyah mencerdaskannya,” sebut Syaifullah.
Namun berdasarkan catatan sejarah, Muhammadiyah juga pernah menempuh jalur struktural, yaitu saat mendukung dan menjadi anggota Masyumi sampai partai Islam ini bubar. “Sekarang ini, Muhammadiyah kembali lagi kepada gerakan kultural, sebagaimana era Kiai Dahlan dahulu. Inilah yang saya maksud dengan pergeseran politik,” Jelas Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bengkulu ini.
Berdasarkan hasil penelitian Syaifullah ini, ternyata baik pendekatan kultural maupun struktural, ternyata hasilnya sama. Dalam angka dikatakan keterserapan Muhammadiyah di legislatif baik struktural maupun kultural sama-sama 5 persen. Sedang untuk kursi menterinya sama-sama 6 persen.
Angka-angka itu, menurut Anjar Nugroho salah satu pembedah dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto, perlu diperjelas lagi. “Apakah baik struktural atau kultural tersebut by design atau hanya dibiarkan?” tanyanya.
Terlepas dari itu, menurut Anjar, bahwa Muhammadiyah terbiasa mandiri sebab memiliki kekuatan riil civil society yang hebat. Mendirikan banyak amal usaha untuk kepentingan umat tanpa bantuan dari luar, dengan model patungan.
Anwar Abbas Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah menambahkan, bahwa yang menentukan suatu negara adalah kekuatan material/ekonomi. Karena ia menyerukan agar anak milenial sekarang memiliki minat untuk menekuni wirausaha untuk nantinya menjadi salah satu penentu di masa depan, tidak melulu mengejar jabatan politik.
Ahmad Norma Permata pembedah dari UIN Suka Kalijaga juga membenarkan, bahwa marketing adalah raja sesungguhnya. Ia menyebut bahwa politik adalah ke kuatan secara de jure, tapi de facto adalah marketing. (gsh)