YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Revolusi informasi, selain berdampak positif, juga membawa serta kompleksitas masalah bagi kehidupan di semua ranah: sosial, budaya, ekonomi, politik, dan agama. Kebutuhan informasi makin tak terbendung. Setiap orang ingin menyegerakan untuk ingin tahu tentang apapun. Islam menekankan penyampaian informasi harus benar dan penerimaan terhadap informasi harus dengan klarifikasi (tabayyun).
Menyadari realitas ini, PP Muhammadiyah merumuskan fikih informasi sebagai implementasi dari program Majelis Tarjih dan Tajdid (2015-2020) untuk mengoptimalkan peran kelembagaan dan pusat-pusat kajian bidang tarjih, tajdid, dan pemikiran Islam serta meningkatkan peran strategis bidang keagamaan di tengah dinamika kehidupan kontemporer (Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 47, 2015: 27).
Salah satu tim penulis, Robby Habiba Abror menyatakan bahwa perkembangan informasi mengkonstruks kultur virtual dan digital bagai dunia baru, di samping dunia nyata yang berkorelasi dengan konteks keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan universal. “Maka rumusan fikih informasi, bagian dari upaya dan realisasi visi Muhammadiyah agar berperan strategis dalam kehidupan umat, bangsa, dan dinamika global,” ujarnya dalam Diskusi Publik LPPA di Grha Suara Muhammadiyah, 16 Februari 2019.
Informasi bermutu rendah, ungkap Robby, menimbulkan kesalahpahaman, sarat dengan penyimpangan makna sebagai akibat proses transmisi yang buruk, tiadanya verifikasi, dan sering disebabkaan oleh niat penyebaran yang memang ditujukan untuk membuat kesalahpahaman dan fitnah.
Menurut Ketua MPI PWM DIY ini, dalam informasi, ada pesan, ilmu pengetahuan, mitos, dan realitas. Sumber informasi yang berasal dari keyakinan berupa wahyu QS. 10: 57 dan sunah (QS. 36: 2-5). Dalam kehidupan muslim, wahyu dan sunah adalah basis utama dari informasi yang menjadi pandangan hidup, paradigma berfikir, dan akhlak.
“Di media sosial, setiap orang seperti menjadi bagian dari masyarakat baru (new society). Dengan media baru, seseorang dapat berinteraksi secara real-time dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Ia bisa menjadi dirinya sendiri atau sama sekali bukan dirinya. Ia dapat membelah dirinya menjadi banyak peran, bahkan banyak topeng, dikarenakan tuntutan aktivitasnya yang semakin tak terbatas di dunia barunya,” ungkap Robby.
Leonard C Epafras dari ICRS Universitas Gadjah Mada, menguraikan tentang realitas dunia media yang berubah. Perkembangan media daring ikut serta mengubah media mainstream. Selain itu, di Indonesia juga terjadi konvergensi media dan oligopoli media. Media yang ada umumnya dimiliki oleh para pemilik modal dan atau para pelaku politik.
Selain karena adanya agenda setting dan framing media, terdapat juga kecenderungan masyarakat untuk tidak utuh dalam menerima informasi. Semisal tentang produksi berita yang mengaduk emosi. Menurut Leo, secara psikologis, manusia takut akan kehilangan. “Kehilangan sesuatu yang dianggap berharga, menimbulkan rasa tidak nyaman yang lebih besar daripada mendapat keuntungan yang setara,” ujarnya.
Dalam suasana berlimpahnya informasi, terjadi pergeseran otoritas keagamaan. Masyarakat tidak lagi merujuk pada pakar. “Ketika ada masalah, umumnya bertanya ke Google,” ujar Leo. Dalam sebuah survei, mereka yang bertanya ke tokoh agama secara langsung hanya sekitar 20%.
Leo melihat beberapa gejala para konsumen media. Umumnya adalah hanya membaca headline atau judul berita. Terdapat gelembung pengetahuan (epistemic bubble), yang menyebabkan mis informasi, tidak melakukan verifikasi. Ada juga ruang gema (echo chamber), yang membuat orang tidak percaya pihak seberang dan sengaja mendiskreditkan pihak lain.
Sisi lain, kata Leo, terjadi fenomena post truth. Verifikasi kebenaran tidak lagi berdasar fakta-fakta objektif. “Saya percaya sesuatu, maka saya benar. Tergantung kemampuan meyakinkan orang lain,” ulasnya.
Supaya tetap bijak di era ini, Leo memberikan beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, berpikir kritis dan framing positif guna mendorong pers/media yang sehat. Kedua, self filtering pada tingkat institusi, keluarga, pendidikan (sekolah). Ketiga, membumikan nilai agama, khususnya dalam kaitan dengan liyan. Keempat, berbeda rasa dan berbelas kasih.
Wakil Ketua LPPA, Khusnul Hidayah memiliki pendapat serupa. Produksi hoaks kadang tergantung pada narasi media. Fenomena ini menjadi tantangan dalam peningkatan kualitas berdemokrasi, yang menuntut keterbukaan informasi. Demokrasi yang berkualitas, beranjak dari demokrasi prosedural ke demokrasi yang lebih substantif.
Demokrasi yang substansif dimaksudkan sebagai demokrasi yang mengedepankan pada nilai-nilai. Mendidik pemilih yang rasional, preferensi pemilih, dan melihat track record para kandidat yang akan dipilih dalam pemilu.
Menurut dosen ekonomi UAD ini, terdapat banyak tantangan demokrasi di tengah masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah tentang penyebaran berita hoaks, black campaign. Selain itu, media sebagai sumber informasi juga kadang tidak berimbang dan memihak pilihan tertentu.
Dalam kondisi ini, kata Khusnul, diperlukan adanya pendidikan politik bagi masyarakat. Aisyiyah sebagai salah satu organisasi perempuan, memiliki tanggung jawab untuk terus mengedukasi publik. Semisal pendidikan politik komunitas di Balai Sakinah Aisyiyah. (ribas)
Baca juga:
Zakiyuddin Baidhawi: Webmaster Menjadi Penafsir Keagamaan Baru
Dunia Digital Membawa Perubahan Besar, Muhammadiyah Perlu Mengambil Sikap
Haedar Nashir: Keadaban Digital Alami Peluruhan, Dakwah Komunitas Virtual Harus Menjadi Perhatian
Tampilkan Ihsan, Muhammadiyah Harus Menjadi Uswah Hasanah di Dunia Digital
Diperlukan Kedewasaan Merespons Dunia Media dan Alam Digital