Ketika Sukarno Menjadi Santri Kiai Dahlan

JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani membuka Rembug Nasional yang diadakan oleh Gerakan Suluh Kebangsaan, di Jakrta, pada Rabu, 27 Februari 2019. Turut hadir sebagai pembicara dalam forum bertema ‘Api Islam Untuk Peradaban Indonesia Masa Depan’ ini adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Mustasyar PBNU Masykuri Abdillah, Ketua Syarikat Islam Hamdan Zoelva, dan Wakil ketua Umum PP Persis Jeje Zaenudi.

Dalam forum itu, Puan Maharani memaparkan tentang keislaman Presiden Sukarno. Puan mengatakan, Sukarno berpandangan bahwa Islam adalah agama yang mendorong kemajuan umat dan bangsa. Pandangan ini sejalan dengan cita-cita Muhammadiyah yang mengusung gagasan Islam Berkemajuan.

“Bagi Bung Karno, Islam adalah agama yang mendorong kemajuan bagi umat manusia dan semua bangsa. Selama ini tidak banyak yang memahami konstruksi pemikiran dari kenegaraan Bung Karno justru dibentuk oleh pemikiran Islam. Bahkan tidak berlebihan, saya mengatakan kurang lebih 25 tahun dari tahun 1916-1942, Bung Karno telah bersentuhan belajar dan mendalami Islam,” tutur Puan.

Puan mengatakan bahwa titik awal Sukarno mendalami Islam adalah saat ‘ngekos’ di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya pada usia 16 tahun. Pemikiran Sukarno tentang Islam berdialektika dengan Tjokroaminoto dan tokoh-tokoh lain di pondok tersebut. Di rumah guru bangsa ini, lahir banyak tokoh besar. Soekarno, Semaoen, hingga Kartosoewirjo pernah tinggal bersama.

Tokoh Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur juga sering bertukar pikiran di rumah yang beralamat di Gang Paneleh VII, tepi Sungai Kalimas, Surabaya ini. Sukarno kemudian menjadi santri dari Kiai Dahlan. “Kemudian karena masih haus ilmu, Bung Karno kembali lagi mencari guru-guru agama Islam lainnya. Hingga akhirnya Bung Karno menjadi santrinya KH Ahmad Dahlan,” ungkap Puan.

Dalam perjalanannya memahami Islam, Sukarno senantiasa membuka diri dan menyerap inspirasi dari semua. “Saat Bung Karno dibuang Pemerintah Kolonial Belanda ke Flores tahun 1934-1938, Bung Karno melengkapi dahaga tentang keislaman dengan membaca buku-buku tentang Islam serta korespondensi dengan Ahmad Hasan, tokoh Persis dari Bandung,” ucapnya.

Ketika kemudian diasingkan ke Bengkulu, kata Puan, Sukarno sempat diangkat sebagai Ketua Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu. Di Bengkulu, Sukarno menikahi Fatmawati, anak dari tokoh Muhammadiyah Bengkulu, Hasan Din.

Pemikirannya tentang Islam ini pun diaplikasikan Sukarno saat merumuskan Pancasila sebagai falsafah negara. “Hal ini tercermin dalam uraiannya tentang Pancasila. Dari penjelasannya tentang pengertian dan makna filosofis sila ketuhanan dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI tersebut. Tergambar dengan jelas bahwa Bung Karno menginginkan bangsa Indonesia yang bertuhan dan menolak konsep ateisme,” tuturnya.

Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1954 di Surabaya, Sukarno diberi gelar waliyyul amri ad dlaruri bisy syaukah atau pemimpin di masa darurat.

Dalam kesempatan ini, Menko PMK juga menjelaskan bahwa di dalam Indonesia modern istilah Api Islam pertama kali dilontarkan Sukarno setelah mendalami Islam dalam masa-masa perjuangan, termasuk pemenjaraan dan pengasingan terhadap beliau pada masa penjajahan. Bagi Bung Karno, Islam adalah agama yang mendorong kemajuan bagi umat manusia dan semua bangsa di dunia.

Senada, Mahfud MD menyatakan, istilah Api Islam (yang menjadi tema diskusi ini), pertama kali dikemukakan oleh Presiden Sukarno. “Persoalannya pada waktu itu kata Bung Karno banyak orang hanya menggunakan abunya Islam, bukan apinya Islam. Apa itu abunya Islam? Ya misalnya soal jenggot panjang itu wajib apa nggak, pakai sorban itu harus apa tidak, pakai jilbab itu harus apa tidak. Kalau bersuci pakai abu, kenapa tidak pake sabun? Itu semua hanya abu,” ulasnya.

Mantan Ketua MK ini menyatakan bahwa keislaman Sukarno adalah keislaman yang menyentuh substansi dan mendorong pemeluknya untuk maju. “Kata Bung Karno, Islam itu punya semangat untuk memajukan sebuah bangsa, karena di dalam Islam banyak ajaran-ajaran yang mendorong ke arah kemajuan itu,” tutur Mahfud MD. (ribas)

Baca juga:

Kala Soekarno Bertemu Kiai Dahlan

Muhammadiyah Inisiator Gerakan Nasionalis-Islam di Indonesia

Remembering Fatmawati: A Progressive Muslim Woman

Serupa Soekarno, Presiden Jokowi: Saya Cinta Muhammadiyah

Exit mobile version