Olahraga untuk Dakwah

Olahraga untuk Dakwah

Radius pergaulan KH Ahmad Dahlan diketahui sangat luas. Ia berinteraksi dengan berbagai kalangan dengan strata sosial dan etnis yang berbeda-beda. Dari pergaulan yang luas tersebut ia bergumul dengan beragam budaya baru dari luar. Namun, sang Khatib Amin tidak serta merta menolak atau melarang budaya baru tersebut. Ia merespon budaya baru berdasarkan sudut pandang manfaat dan keselarasan dengan ajaran Islam.

Dalam sebuah pertemuan antara KH Ahmad Dahlan dengan para priyayi (Ngabehi) dan ambtenaar (pegawai negeri), seorang priyayi berkata kepadanya, “Djoget itu adalah sport jang akan membawa kesehatan dan kegiatan.” Yang dimaksud “joget” pada waktu itu adalah olahraga jogging yang merupakan tradisi baru dari bangsa Belanda. Biasanya, jogging dilakukan bersama-sama antara laki-laki dan perempuan, kadang dengan pakaian yang menurut ukuran masyarakat pada waktu itu dinilai kurang sopan. Setelah mendapat informasi bahwa joget bermanfaat untuk menyehatkan badan, maka K.H. Ahmad Dahlan menjawab, “Djika demikian, adakanlah di waktu pagi-pagi di kamar atau halaman dengan tidak usah menanti jang lain-lain.” Demikian seperti dikutip dari sumber Junus Salam dalam bukunya, Riwajat Hidup K.H.A. Dahlan: Amal dan Perdjoangannja (1968: 62).

Pada malam Senin, 2 April 1923, dalam rangkaian rapat Tahunan Muhammadiyah di rumah R. Wedana Djajengprakosa, dokter Somowidagdo (dokter pertama Poliklinik PKO Muhammadiyah) menyampaikan pidato tentang pentingnya kesehatan bagi masyarakat dan bagaimana cara menjaganya. Selain lewat jalur pengobatan yang diselenggarakan Poliklinik PKO, menjaga kesehatan sangat penting, terutama lewat aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan stamina seseorang. Sebagai lulusan Sekolah Dokter Belanda, Somowidagdo mengisyaratkan bahwa olahraga—sebagai budaya baru yang dikenalkan bangsa Belanda—sangat penting dalam rangka menjaga kebugaran dan kesehatan.

Pada awal abad ke-20, budaya baru dalam bentuk permainan fisik dan berbagai jenis olahraga mulai dikenalkan kepada kaum bumiputra oleh bangsa Belanda. Permainan fisik dan berbagai kegiatan kreatif untuk anak-anak pertama kali dikenalkan di Surakarta lewat Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) pada tahun 1916. Sedangkan berbagai jenis olahraga mulai dari jogging, sepakbola, bulutangkis, dan lain-lain telah hadir di tanah Jawa. Proses penerimaan budaya baru tersebut sangat beragam. Bagi kalangan tradisionalis, budaya baru dianggap haram karena bagian dari budaya kafir. Namun bagi kalangan Muhammadiyah, budaya baru direspon secara bijak menggunakan proses rasionalisasi sehingga dapat menjadi instrument baru dalam gerakan dakwah Islamiyah.

Pada tahun 1918, KH Ahmad Dahlan aktif mengisi pengajian Sidik Amanah Tabligh Vatonah (SATV) tiap malam Ahad di rumah KH Muchtar Buchori di Solo (Djarnawi Hadikusuma, tt.: 82). Pada suatu hari, dalam perjalanan hendak pulang ke Yogyakarta, ia sempat menyaksikan pemandangan kegiatan para padvinders di Alun-alun Pura Mangkunegaran. Sesampai di Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan berdiskusi dengan Somodirdjo (mantri guru Standaardschool Suronatan), Sjarbini (guru di sekolah Muhammadiyah Bausasran), dan seorang guru sekolah Muhammadiyah Kotegede. “Saja tadi pagi di Solo pulang dari Tabligh, sampai di muka Pura Mangkunegaran di alun-alun, melihat anak banjak berbaris setengahnja sedang bermain-main, semuanja berpakaian seragam. Baik sekali! Itu apa?” tanya Khatib Amin.

Setelah mendapat penjelasan singkat dari Soemodirdjo, KH Ahmad Dahlan menyatakan tertarik untuk membentuk Kepanduan di Muhammadiyah. “Alangkah baiknja kalau anak-anak keluarga Muhammadijah juga dididik semacam itu untuk melajani (Djawa leladi) menghamba kepada Allah,” tegas KH Ahmad Dahlan. Inilah detik-detik lahirnya gerakan kepanduan Muhammadiyah yang semula bernama Padvinder Muhammadiyah kemudian berganti nama menjadi gerakan kepanduan Hizbul Wathan (HW) atas usulan KRH Hadjid (H.M. Mawardi, 1961: 13). Dalam perkembangan berikutnya, gerakan HW mampu menjadikan berbagai cabang olahraga sebagai instrument gerakan yang nyatanya digemari oleh kaum muda. Sejarah telah mencatat bahwa selain menyelenggarakan gerakan kepanduan, HW juga berhasil membentuk klub sepakbola yang cukup popular pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan Republik Indonesia.

Perlu dicatat, sebelum gerakan kepanduan HW dibentuk, anak-anak di Kampung Kauman paling hobi bermain sepakbola di antara cabang-cabang olahraga lainnya. Berdasarkan sumber Yunus Anis, anak-anak di Kampung Kauman, Yogyakarta, memiliki hobi bermain sepakbola di pelataran Masjid Agung. Permainan ini tidak hanya mengasyikan, tetapi juga menyegarkan dan sekaligus menyehatkan badan. Permainan sepak bola biasanya dilakukan pada sore hari sampai menjelang Maghrib. Setelah selesai bermain sepak bola, mereka punya kebiasaan mandi di kolam Masjid Agung (Suratmin, 1999: 11).

Dalhar BKN, Abdul Hamid BKN, Yunus Anis, dan Siradj Dahlan adalah tokoh-tokoh Muhammadiyah yang pada masa kecil mereka memiliki hobi bermain sepakbola. Bahkan salah seorang putra Dalhar BKN, yakni Djami’at Dalhar, terbukti sukses menjadi salah satu pemain tim nasional yang turut mengharumkan bangsa Indonesia bersama Ramang dan kawan-kawan. Abdul Hamid BKN, tokoh Muhammadiyah yang juga aktivis Hizbul Wathan (HW), terlibat langsung dalam proses pembentukan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Kehadiran budaya baru dalam bentuk cabang-cabang olahraga modern dan berbagai aktivitas kreatif untuk anak-anak dalam bentuk gerakan kepanduan (Padvinder) mendapat respon dari para aktor gerakan Muhammadiyah generasi awal. Tidak kalah pentingnya respon K.H. Ahmad Dahlan yang mereformulasi budaya baru tersebut untuk kepentingan gerakan dakwah Islam, khususnya lewat gerakan Muhammadiyah. Maka terjadilah proses apropriasi, yaitu proses menjadikan budaya baru dari bangsa lain yang dimodifikasi berdasarkan ajaran Islam dan gerakan Muhammadiyah sehingga menjadi bagian dari budaya sendiri. Proses penerimaan jogging sebagai aktivitas fisik yang menyehatkan badan, lahirnya kepanduan Hizbul Wathan yang terinspirasi dari JPO, pembentukan tim Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PS HW), adalah contoh sukses gerakan Muhammadiyah menjadikan olahraga sebagai salah satu instrument dakwah Islamiyah. (Dari berbagai sumber: Abu Aksa)


Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 15 tahun 2018

Exit mobile version