Tanggapan Din Syamsuddin Terkait Penghapusan Istilah Kafir

Tanggapan Din Syamsuddin Terkait Penghapusan Istilah Kafir

Dok Istimewa

SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Ketua Dewan Pertimbangan MUI menanggapi terkait tidak digunakannya lagi istilah kafir bagi non Muslim. Menurutnya, penggunaan kata Kafir ini harus sesuai konteks dan didasari dengan sikap toleransi, bukan sebagai hinaan yang dapat menyakiti hati orang lain namun juga jangan dihapus begitu saja.

“Istilah Kafir itu berkali-kali di sebutkan dalam Kitab suci namun juga harus di pahami dengan konteks dan juga Tasamuh (toleransi). Karena itu kitab suci, kita tidak mungkin meng-amandemen, janganlah istilah itu dipakai secara peyoratif (memperburuk) dan apalagi untuk menghina orang lain apalagi oarang lain tidak berkenan,” ungkapnya saat diwawancarai usai acara Pengajian Akbar PKU Muhammadiyah Gamping, Sabtu(2/3).

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu juga menambahkan, bahwa setiap agama memiliki istilah dan konsep masing-masing dalam perbedaan keimanan, seperti istilah mukmin sebagai orang yang beriman  dan kafir bagi yang tidak beriman dalam Al Qur’an, begitu juga dengan agama lain.

“Sebenarnya semua agama punya konsep teologis tentang The others and the otsiders, seperti Islam dan orang di luar islam, Kristen orang di luar Kristen dan agama lainya,” paparnya.

Din berpesan, Karena hal ini bersifat fatwa maka ini tidak harus di ikuti dan dalam penggunaan istilah itu harus dengan kearifan, mengingat masyarakat indonesia adalah masyarakat yang majemuk, dimana hal ini sangat sensitif jika disalah gunakan.

“Maka pesan saya, jangan mengubah keberadaan istilah-istilah itu dalam kitab suci, tapi harus ada kearifan dalam menggunakannya termasuk dalam konteks di Indonesia, janganlah menggunakan istilah itu dalam penghinaan,” ucapnya.

Din mengingtakan, karena saat ini adalah tahun politik di takutkan hai ini digunakan untuk ujaran kebencian antar kelompok yang berbeda pandangan politik. Din juga mengajak, baiknya  perdebatan dalam politik di isi dengan argumen yang subtantif.

“Dalam politik identitas ujaran seperti itu tak terelakkan, bahkan di Indonesia dalam rangka pilpres yang akan datang sudah ada ujaran kebencian yang menisbatkan manusia lain dengan binatang, itu mendegradasi harkat dan martabat manusia,” pungkas Din. (afn)

Exit mobile version