JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 8 Maret 2019 mengusung tema: Dakwah Melalui Sepakbola. Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari menyampaikan pengantar pengajian yang mengundang narasumber mantan Ketua Badan Liga Amatir Ahmad Syauqi Soeratno, redaktur olahraga Sindo Ma’ruf El Rumi, dan Pelatih Timnas Indonesia U-22 Indra Sjafri (via telewicara).
Hajriyanto yang juga Dubes Indonesia untuk Lebanon menyatakan bahwa sepakbola bisa menjadi instrumen apa saja. Termasuk instrumen dakwah hingga pembangunan karakter. Dia menceritakan sebuah refleksi ketika pada 2010 dilakukan pertandingan sepakbola antara Timnas Indonesia dan Timnas Uruguay. Seusai pertandingan, pelatih Timnas Uruguay, Óscar Wáshington Tabárez Silva ditanya wartawan, ‘Apa saran tuan Tabarez untuk kemajuan sepakbola Indonesia?’
“Ada dua hal yang saya sarankan demi kemajuan sepakbola Indonesia. Indonesia harus memusatkan perhatian pada pembinaan pemain belia dan ajari mereka cinta pada bangsanya,” ujar Hajriyanto mengutip pernyataan pelatih Uruguay. Jawaban Tabarez menunjukkan bahwa karakter nasionalisme berimplikasi pada permainan di lapangan.
Hajriyanto turut menyinggung peran Muhammadiyah dalam sejarah sepakbola di Indonesia. “Muhammadiyah menjadi ormas pertama yang mendirikan persatuan sepakbola yaitu PS HW, PS Hizbul Wathan, tahun 1918. Saat itu belum ada industri sepakbola seperti sekarang,” ujarnya. Kiai Ahmad Dahlan juga punya perhatian besar pada sepakbola.
Muhammadiyah mendirikan lapangan sepakbola ketika belum ada yang memulai. Semial Lapangan Asri di Yogyakarta hingga lapangan di Pekajangan. “Muhammadiyah itu modern betul pada waktu itu, ketika yang lain belum modern. Banyak wilayah Muhammadiyah yang punya lapangan sepakbola, sementara negara saja belum punya,” ungkap Hajriyanto.
Sejak awal mula kelahiran PSSI, Hajriyanto menyebut Muhammadiyah sudah berperan. Pendiri PSSI, Soeratin Sosrosoegondo dan Abdul Hamid BTN adalah pengurus Muhammadiyah. Abdul Hamid adalah bapaknya Dasron Hamid, yang juga pernah di PP Muhammadiyah. Ada lagi para pemain Timnas Indonesia seperti Djamiat Dalhar hingga Maulwi Saelan (kiper legendaris).
Sepakbola karena Panggilan Hati
Coach Indra Sjafri memaparkan pengalamannya menangani Tim Garuda Muda. Bermula dari Timnas U-12, U-17, U-19, hingga Timnas U-22. Indra telah menyumbangkan gelar juara Piala AFF U-19 di Sidoarjo tahun 2013 dan baru-baru ini membawa Indonesia meraih juara Piala AFF U-22.
“Saya menangani Timnas itu, diajarkan agama bahwa Tuhan menyuruh kita bekerja keras dan harus melalui proses-proses. Jika kita ikuti proses-proses itu secara disiplin, insyaallah akan berhasil. Saya sebenarnya ditawari menangani Timnas Senior, tapi tidak saya terima, harus berproses (dulu),” kata pelatih asal Padang ini.
Indra menyadari bahwa sepakbola adalah ladang pengabdiannya. “Saya hanya akan mengabdi di sepakbola dan tidak akan ke bidang yang lain yang saya tidak ahli,” ujarnya. Niat ibadah inilah yang melandasi konsistensinya selama ini. Allah akan membantu perjuangan mereka yang dilandasi ketulusan niat. Jika niatnya ibadah, kata Indra, maka semua akan bahu-membahu untuk mencapai tujuan, bukan sikut-menyikut.
Coach yang dikenal dekat dengan anak didiknya ini menceritakan pengalaman spiritualnya dalam menangani timnas. Tidak semata yang tampak, kadang juga melibatkan aspek batin. Semisal ketika Timnas Indonesia juara Piala AFF U-19, harus melalui perjuangan 120 menit dan babak tos-tosan yang menegangkan untuk bisa menundukkan Vietnam di partai final. Di babak perpanjangan waktu 2×15 menit juga tak membuahkan gol. Laga dilanjutkan dengan drama adu penalti, hingga sembilan penendang. Dua pemain yang jadi andalan, Evan Dimas dan Zulfiandi gagal menuntaskan tugasnya. Justru permain yang sebelumnya tidak menjadi pilihan penendang, Ilham Udin, menjadi penentu di tendangan terakhir. Pemilihan Ilham Udin, murni bisikan batin di benak Coach Indra. Sepanjang pertandingan, Indra tak henti memanjatkan doa supaya Indonesia juara dan supaya bisa mempersembahkan kebahagiaan bagi bangsa Indonesia. Ini adalah gelar pertama mereka di turnamen ini di penampilan pertama di partai puncak.
“Dari 2011 sampai sekarang, saya keluar masuk Timnas. Kepada pemain, saya lebih pada pembelajaran riil tentang agama, saya ajarkan pentingnya niat, keikhlasan, kesabaran dan keyakinan. Contoh kesabaran di sepakbola itu ada caci maki, bully, dan kita bisa tanggapi selaras dengan perintah agama, itu yang saya buka,” ujar Indra.
Nilai yang ditanamkan juga antara lain tentang sportivitas. Harus ikhlas menerima hasil apapun yang diberikan Allah setelah berusaha maksimal. “Kemenangan yang dicapai dengan segala cara, itulah kekalahan. Jika kekalahan yang didapat dengan cara terhormat, itulah kemenangan,” ungkapnya. Kerja keras sepenuh pengabdian adalah kunci kemenangan dan keberhasilan. Tidak ada yang tidak bisa, ketika Allah sudah berpihak. Timnas U-19 binaan Indra Sjafri pernah meluluhlantakkan Korea Selatan yang berkali-kali juara Asia.
Pertautan Muhammadiyah dan Sepakbola
Mantan manajer PSIM Yogyakarta, Ahmad Syauqi Soeratno menyatakan bahwa Muhammadiyah memiliki mata rantai sejarah di bidang sepakbola. Olahraga yang sangat populer ini perlu menjadi perhatian. Ke depan, sepakbola yang punya nilai entertain (hiburan) ini bisa memiliki prospek industri yang bagus. “Sepakbola menjadi satu jenis olahraga yang magnitude attraction-nya sangat tinggi. Dari yang di dalam lapangan sampai di luar lapangan,” kata mantan Ketua Badan Liga Amatir itu.
Selain Soeratin dan Abdul Hamid, dakwah Muhammadiyah di sepakbola juga dilanjutkan oleh putra Abdul Hamid, yaitu Dasron Hamid. Syauqi menjabarkan peranan Pak Dasron Hamid pernah menjadi ketua PSIM dan kemudian terlibat di Asprov PSSI DIY. Selanjutnya menjadi KONI DIY.
Totalitas Dasron Hamid yang juga pimpinan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu perlu diapresiasi. Beberapa saat sebelum menjalani operasi tahun 2015, Syauqi bersama para BPH UMY, Prof Syamsul Anwar dan Rosyad Soleh, datang memberi dukungan. Saat itu, Pak Dasron sempat bertanya pada Syauqi, ‘Piye kabare PSSI, ki?’ yang ketika itu sedang gonjang-ganjing. Sore harinya, Pak Dasron wafat.
“PSSI berdiri pada 19 April 1930. Saat itu, keterlibatan pendahulu kita di persyarikatan dalam konteks melawan Hindia Belanda kuat sekali,” tutur putra dari mantan Ketum PP Aisyah Siti Chamamah Soeratno ini. Saat pembentukan PSSI, mulanya hanya diikuti oleh tujuh klub. Salah satunya dari PSM atau Perserikatan Sepakbola Mataram (cikal PSIM), sumber lain menyebut perwakilan Yogyakarta adalah PS HW. “Muncul tokoh-tokoh dari Yogyakarta. Sejak awal Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari olahraga sepakbola,” ungkapnya.
Menurut pengalaman Syauqi, dinamika dakwah sepakbola terjadi dengan banyak cara. Seperti ketika dirinya menghilangkan praktik takhayul dan khurafat (jimat) di sepakbola yang melibatkan berbagai latar budaya dan kepercayaan. “Inilah dakwah, menawarkan nilai. Jika ingin berdakwah di dunia berbeda, masuklah PSSI,” katanya. Dakwah ini bisa dimulai dari bawah.
Dalam menjalankan amanah sebagai manager hingga ketua liga, Syauqi memiliki banyak pengalaman unik. “Mengelola liga berarti mengelola persaingan. Semua (klub) merasa harus menang dengan logika masing-masing, hanya dibatasi oleh regulasi. Dari bangun tidur sampai tidur, itu akan ditemui oleh berbagai orang yang punya berbagai kepentingan,” katanya.
Di sinilah, perlunya penanaman nilai dan sepakbola harus dikelola oleh mereka yang punya integritas. Jika tidak kuat, mudah tergelincir oleh berbagai godaan. “Menjaga nilai-nilai FIFA semisal integrity dan respect itu tidak mudah,” tukas Ahmad Syauqi Soeratno yang juga pengurus Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah.
Sepakbola sebagai ‘Agama’
Pengamat sepakbola, Ma’ruf El-Rumi menjabarkan tentang relasi agama dan sepakbola. “Apakah sepakbola menjadi agama baru atau agama pelengkap?” tanyanya. Dia menyebut fakta bahwa umat Kristen sebagai mayoritas, memiliki 2,3 milyar penganut di seluruh dunia, sepakbola punya 3 milyar fans. Padahal, penduduk bumi berkisar 7 milyar jiwa. Ketaatan dan kesetiaan para penggemar sepakbola terhadap sepakbola dan klub yang mereka dukung, tak kalah dengan ketaatan para penganut agama yang taat.
Ma’ruf mengulas sejarah awal mula sepakbola di Inggris yang tidak bisa dipisahkan dari gereja. “Abad 19, sejarah beberapa tim Inggris: Fulham, Everton, Southamton, semua berawal dari gerakan pemuda gereja,” ulasnya. Arsenal mulanya menyewakan lapangan yang dimiliki oleh gereja. “Ketika itu banyak pengangguran dan peminum minuman keras, maka gereja merasa perlu melakukan sesuatu untuk membuat pemuda-pemuda melakukan hal positif, yaitu sepakbola,” kata Ma’ruf. Maka, dibangunlah lapangan sepakbola. Semua bisa menggunakan, dengan syarat: tidak mabuk-mabukan dan tidak melakukan pertandingan di hari Minggu. Ini ajaran Gereja Anglikan Inggris.
Nilai agama di sepakbola, kata Ma’ruf, dapat berupa ajaran tentang sportivitas, menolak rasis, menolak doping. Kartu kuning pun terkait dengan itu, bahwa wasit berhak memberi kartu kuning ketika ada yang berniat mencelakakan lawan. “Laws of the Game FIFA dibuat oleh anak-anak gereja Inggris. Inilah dakwah. Inggris menjadi ibu peraturan sepakbola modern,” ulasnya.
Oleh karena itu, umat Islam perlu ikut mewarnai sepakbola dalam arti yang positif. “(Mo) Salah, Pogba, Kante, melakukan dakwah nyata. Jadi idola. Mereka tidak perlu teriak-teriak (Islam dan dakwah),” katanya. Mereka hanya perlu bermain dengan hati serta memberi contoh di dalam dan luar lapangan.
Demikian halnya dengan Yaya Toure dan Franck Ribéry ketika menjadi pemain terbaik per pekan atau Premier League Team of The Week, dia tidak mau menerima champagne (sampanye). Dan itu menjadi pertimbangan panitia selanjutnya. Serupa itu, Timnas perempuan Iran berhasil melobi FIFA untuk membolehkan turun ke lapangan dengan mengenakan jilbab.
Muhammadiyah diharapkan bisa merangkul sepakbola. “Kalau Islam tidak masuk dalam sepakbola, maka sepakbola hanya menjadi sepakbola. Dakwah harus masuk ke dalam. Menanamkan nilai-nilai moralitas sejak dini,” katanya. Muhammadiyah dipandang bisa berperan. Muhammadiyah bisa masuk melawan TBC di sepakbola: Taruhan, Berantem, Curang. (ribas)