Kehidupan kebangsaan saat ini sarat dengan beragam kecenderungan yang mobilitasnya sangat kencang. Kehidupan politik yang mengeras, media sosial yang semakin bebas, sikap hidup masyarakat yang bermacam-macam orientasi dalam mengejar duniawi, serta mobilitas sosial lainnya yang sangat tinggi dan kompleks. Semuan membuat banyak orang atau kelompok terlibat dalam struggle of life yang bertensi tinggi.
Orientasi politik yang keras membuat setiap orang sangat ambisius, sehingga politik menjadi to be or not to be. Apalagi ditanamkan pandangan keagamaan atau ideologi yang sama kerasnya. Politik bukan lagi urusan mu’amalah dunyawiyah yang dasar hukumnya ibahah (kebolehan) tetapi menjadi urusan keyakinan keagamaan secara absolut sesuai tafsir, pandangan, dan kepentingannya sendiri secara ekslusif. Politik menjadi saling berhadap-hadapan secara frontal, bahkan oleh sebagian dibikin bersuasana gawat, sehingga benturannya tinggi. Suasana saling bermusuhan terasa sekali dalam kehidupan politik di tahun politik saat ini.
Media sosial pun makin bebas dan cenderung liar. Di media sosial setiap orang boleh mengekspresikan apa saja tanpa kendali atau kontrol sosial yang mencukupi. Orang bebas sekali untuk meluapkan marah, ujaran kebencian, menghujat, menyerang, dan menulis semaunya sendiri nyaris tanpa pagar pembatas moral. Poltik melalui media sosial bahkan semakin liar, yang berbeda dengan media cetak dan elektronik yang masih dikontrol oleh redaktur, meski kedua media massa tersebut juga sudah menjadi corong politik yang sarat kepentingan.
Dalam lalulintas politik dan media sosial yang makin mengeras maka lahirlah perangai-perangai yang serba bebas dan apa saja boleh. Ruang toleransi makin menyempit. Sebagian orang atau pihak dengan gampang menghujat, menghakimi, dan memberi stigma buruk terhadap siapapun yang berbeda pandangan dan pilihan politik maupun pahamnya. Bukan hanya terhadap pihak yang dianggap lawan, bahkan terhadap sesama kawan tetapi berbeda cara dan irama dalam mengartikulasikannya pun dengan mudah lahir penghujatan dan penghakiman yang buruk.
Di tubuh organisasi kemasyarakatan dan keagamaan seperti Muhammadiyah pun mulai menggejala kecenderungan sikap tidak toleran atau intoleransi politik seperti itu. Pimpinan pun dengan semaunya dihakimi dan dihujat berdasarkan pandangan dan kepentingan dirinya. Dirinyalah yang dianggap benar, sedangkan pihak lain semuanya salah. Sikap menang sendiri dan semaunya itu kadang ditoleransi oleh mayoritas yang baik tetapi diam hanya karena tidak ingin ramai dan menjadi polemik. Akibatnya, sendi-sendi berorganisasi pun mulai terkoyak demi kepentingan orang perorang atau kepentingan politik yang sebenarnya tidak berurusan dengan misi dan visi organisasi itu sendiri.
Akhlak dalam berinteraksi sosial, berorganisasi, bermasyarakat, dan berbangsa pun menjadi luruh dan rusak. Batasan baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas seolah tidak berlaku sebagai khazanah budi pekerti kolektif. Karena itu saatnya organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah menjadikan masalah ini sebagai koreksi sekaligus lahan dakwah dengan agenda membangun kembali akhlak mulia sebagai basis nilai bagi keadaban publik. Gerakan keteladanan pun penting dilakukan oleh warga dan elite organisasi dakwah Islam. Jika anggota, aktivis, kader, dan pimpinan Muhammadiyah dan ormas-ormas keagamaan tidak memberikan uswah hasanah dalam membangun keadaban publik maka kepada siapa tugas luhur tersebut harus diberikan? Saatnya digelorakan akhlak mulia sebagai basis keadaban publik! (hns)
Tulisan ini pernah dimuat di “Tajuk” Majalah Suara Muhammadiyah Edisi Nomor 2 tahun 2019