YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan refleksi Milad 55 Tahun IMM. Kegiatan yang mengusung tema ‘Membangun Semangat Kebermanfaatan Bagi Umat dan Bangsa’ ini dilangsungkan di Aula Gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, 14 Maret 2019. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan intelektual muda Muhammadiyah Pradana Boy ZTF didapuk menjadi narasumber.
Haedar Nashir berharap kader IMM memahami posisi strategisnya. “IMM harus hadir menjadi cendekiawan berpribadi. Cendekiawan yang melintas batas, namun punya kepribadian,” ujarnya. Kader cendekiawan ini dirasa sangat perlu dalam menghadapi realita hari ini.
Haedar mengajak kader IMM menjadi sosok yang merawat nalar sehat, tidak gumunan, dan bisa berpikir jernih dalam situasi apapun. “Jika gumunan dengan isu-isu akal sehat, itu mundur 1000 tahun yang lampau,” kelakarnya menyikapi suasana politisasi istilah ‘akal sehat’. Padahal menurutnya, semangat merawat nalar sehat itulah nalar Muhammadiyah.
“Kelahiran IMM itu mendobrak,” ujarnya. Misalnya dari jas IMM yang berwarna merah, padahal identitas muslim ketika itu berwarna hijau dan sangat anti warna merah. Fakta sejarah ini perlu diteruskan oleh IMM: mendobrak kejumudan. “KH Dahlan mendobrak kemapanan dengan landasan Islam yang kokoh,” ulas Haedar.
IMM yang lahir dari rahim Muhammadiyah diminta untuk memahami esensi dari Muhammadiyah. Haedar membantah pernyataan: jika sudah berislam sesuai Al-Qur’an dan Hadis, maka sudah otomatis Muhammadiyah. Menurutnya, memahami Muhammadiyah tidak sesederhana itu. “Islam itu tergantung pada siapa yang menerangkan. Islam menurut siapa,” katanya.
Haedar pun mencoba menerangkan tentang Muhammadiyah. “Kiai Dahlan melakukan kharikul adah, di luar kelaziman. Kiai Dahlan lahir dalam kultur Kauman, di sekitar Keraton, pernah jadi kiai penghulu, dalam kultur masyarakat kejawen Jawa. Ke Makkah 2 kali, tidak terlalu lama, Mekkah ketika itu dalam hegemoni Wahabi. Namun, Kiai Dahlan malah belajar Abduh, Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah, juga Ibnul Wahab,” ujarnya.
Ketika kembali ke tanah kelahirannya, Kiai Dahlan berbeda dengan mujadid lain yang cenderung revivalis. Kiai Dahlan tetap dengan tata krama kejawaannya: tenang, tidak meledak-ledak, tapi pemikirannya revolusioner. Bahkan sampai disebut kafir.
Di tangan Kiai Dahlan, Al-Maun dikonstruksi menjadi teologi pembebasan. “Orang beratus tahun pasca Nabi baca Al-Maun, tapi tidak diamalkan untuk pengentasan kemiskinan dhuafa-mustadhafin. Bersama Walidah, Kiai mengangkat derajat perempuan. Dia dirikan pergerakan Aisyiyah,” ulasnya.
“Apa yang dilakukan Kiai Dahlan persis meniru yang dilakukan Rasulullah, takhriju al nas min al-zulumat ila al-nur,” kata Haedar. Nabi Muhammad mengubah tradisi masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang berperadaban (madinah al-munawarah). Dari masyarakat yang menyelesaikan masalah dengan berperang, menjadi masyarakat yang mengedepankan musyawarah. Itulah yang menjadi konsep Tanwir Muhammadiyah.
Dengan cakrawala berpikir dan pengalamannya yang luas, Kiai Dahlan telah menjadi tercerahkan sejak usia muda. Kiai Dahlan bisa seperti itu karena gemar membaca, yang melahirkan spirit tajdid. Dalam catatan Kiai Hadjid, di antara bacaan Kiai Dahlan adalah semisal Kitab Tauhid dan al-Islam wa al-Nasraniyyah karya Muhammad Abduh, Kanzul ‘Ulum dan Dairatul Ma’arif karya Farid Wajdi, fi al-Bid’ah wa al-Tawassul karya Ibnu Taimiyah. Ada juga Tafsir Al-Manar, Majalah Al-Manar, Juz Amma, al-Urwatul Wusqa dan seterusnya.
“Dia mengambil sari dari kitab itu, dan kemudian melakukan lompatan (pemikiran). Melakukan perubahan. Sosok ini menjadi inspirasi lahirnya Muhammadiyah,” katanya. Karakter Kiai Dahlan yang terbuka ini perlu dirawat. “Muhammadiyah punya karakter khas pada pendirinya, pendiri ini mengambil uswah dari rasulullah,” ujar Haedar. Yang diikuti oleh Kiai Dahlan dari Rasulullah, bukan sunnah yang kecil, tapi sunnah besarnya: bagaimana cara membangun peradaban.
“Charles Kruzman menyebut Dahlan membawa Islam Liberal, berbeda dengan revivalisme Islam. Kiai Dahlan mendekonstruksi konsep teologi (al-maun). Membawa pesan demokratisasi (egalitarian). Pemuliaan hak-hak asasi manusia (kesetaraan). Memperkenalkan pranata sosial modern (sekolah, Rumah Sakit, yang saat itu berhala baru),” ulasnya.
Apa yang perlu dilakukan IMM? Pertama, memahami ideologi Muhammadiyah. “Tidak ada organisasi yang kaya dengan konsep ideologi selain Muhammadiyah,” katanya. Seperangkat ideologi Muhammadiyah itu tercermin pada Muqaddimah Anggaran Dasar, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Kepribadian, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Khittah, dan seterusnya. Muhammadiyah juga memiliki dokumen semisal Negara Pancasila Dar al-Ahdi wa al-Syahadah. Di Tanwir baru-baru ini, Muhammadiyah mengeluarkan Risalah Pencerahan.
Kedua, mengembangkan tradisi iqra. “Baca buku apa saja. Jangan takut membaca buku,” kata Haedar. Bahkan, jika ada yang menakut-nakuti tentang buku tertentu sesat, “Baca saja buku yang menyesatkan itu biar tau sesatnya di mana,” ujarnya. IMM harus mengembangkan tradisi membaca, merangkum, lalu menulis. Itulah penjelajahan intelektual yang harus dirasakan kader IMM.
Haedar berharap kader IMM pandai memenej diri. “Sedikit mengurangi hal-hal yang lagha (sia-sia). Kalau Anda asah intelektual, itu ada kenikmatan tersendiri,” ungkapnya. Pengembaraan intelektual perlu terus dilakukan. “Orang gagal karena tidak bisa menaklukkan diri. Orang sibuk biasanya orang yang sukses. Orang gagal biasanya karena terlalu banyak waktu luangnya,” imbuhnya.
Ketiga, menumbuhkan militansi bermuhammadiyah. Harus ada komitmen bermuhammadiyah. Harus mencintai Muhammadiyah dan memiliki karakter diri yang unggul. “Anda boleh tidak punya apa-apa, tapi harus punya integritas yang tinggi. Banyak yang gagal jadi pemimpin karena hilang integritas,” tukas Haedar.
Integritas dibutuhkan dalam suasana seperti dramaturgi yang diungkap Erving Goffman dalam Presentation of Self in Everyday Life (1959). “Banyak yang sedang bermain drama. Banyak bicara bagus-bagus di front depan. Di belakang, berkebalikan,” katanya. Permainan drama para pejabat negara ini disebut juga simulakra: permianan yang mengubah suatu yang semu menjadi nyata, genting, histeris. “Jadilah kader Muhammadiyah yang berintegritas dan berwawasan luas,” ujarnya.
Haedar juga mengingatkan tentang dramatisasi politik hari ini yang makin mengeras. Jalan terbaik itu tengahan (ausatuha). Suka dan benci jangan berlebihan. Politik itu persoalan muamalah. Kita harus menjadi ulul albab, selalu mengambil yang terbaik dari berbagai pandangan, pendapat, teori. “Harus pandai-pandai menyaring dialektika dan memperkaya pandangan. Jangan menjadi intelektual partisan. Masyarakat konsumen, mudah menerima informasi tanpa daya seleksi. Maka tokoh-tokoh intelektual partisan ini yang laris,” tuturnya.
Menjadi Gila
Pradana Boy mengajak kader IMM memahami kondisi masyarakat dan berani melakukan sesuatu yang mungkin tidak sesuai dengan arus utama. Boy terinspirasi dari Kitab Uqala al-Majalin (Kebijaksanaan orang-orang gila), yang bercerita tentang figur dalam sejarah islam yang dianggap gila, tapi memiliki tingkat kebijaksanaan yang luar biasa. Di antaranya Uwais al Qarni, Qais dan Laila-Majnun, dan seterusnya.
“Dalam kehidupan masyarakat ada persepsi terhadap sesuatu yang baik, tapi karena mata biasa tidak bisa menangkap, dianggap gila,” katanya. Hal inilah yang menjadi salah satu rahasia Muhammadiyah terus bertahan, karena anggotanya “gila” dan totalitas dalam melakukan sesuatu. “Bagaimana mungkin Muhammadiyah bisa bertahan lebih dari 1 abad, karena di dalamnya banyak orang gila, melakukan sesuatu di luar batas manusia normal, di luar kelaziman,” katanya.
Menjadi gila saja tidak cukup, tapi juga perlu untuk memahami realitas masyarakat, supaya bisa menentukan peran yang harus dilakukan. “Pahami kebutuhan masyarakat, sehingga bisa terus bermanfaat, sesuai perubahan dan kebutuhan zaman,” ulas asisten Staf Khusus Kepresidenan Bidang Keagamaan Internasional ini.
Memahami perubahan ini penting karena zaman sudah berbeda. Generasi muda berhadapan dengan generasi berbeda. “Manusia itu bergerak. Pergerakan semakin cepat,” ungkapnya. Modal bergerak. Media bergerak. Media konvensional berubah ke media online. Semua pergerakan dan perubahan itu perlu disikapi.
“Dulu orang bingung tidak dapat informasi, sekarang orang bingung karena terlalu banyak informasi,” kata Boy memberi contoh. Perubahan ini membawa perubahan besar dalam budaya dan alam berpikir masyarakat. Industri ilmu pengetahuan pun berubah.
Dalam suasana ini, kader IMM perlu terus mengasah diri, bergerak di literasi. Melakukan pembiasaan diri untuk membaca meski tidak paham. Tidak mengerti apa yang dibaca, jangan berhenti, terus membaca. Pada akhirnya perlahan akan paham dan kemudian mengalami pengendapan dengan menulis dan berdiskusi.
Tasyakuran Milad
Ketua DPD IMM DIY M Hasnan Nahar mengajak para kader IMM untuk bersyukur, mengevaluasi masa lalu, mensyukuri masa kini, dan mempersiapkan masa depan. Semoga IMM panjang umur, dalam makna lahir dan batin, terus bermanfaat. Para kader diharapkan untuk ikhlas dalam menjalankan amanahnya di IMM.
Ketua PWM DIY Untung Cahyono mengajak IMM terus menjalin komunikasi dan kebersamaan. Untung juga mengingatkan tentang profil kader ideal yang diidam-idamkan di masa depan. Yaitu kader yang memiliki kompetensi keislaman, kompetensi akademik, kompetensi kepemimpinan, kompetensi kepeloporan dan kemanusiaan. “Semoga IMM semakin jaya, semakin hebat, semakin bermartabat dan menjadi bagian mewujudkan Indonesia yang Berkemajuan,” ujarnya.
Direktur Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta Aly Aulia menyambut baik kehadiran para kader muda Muhammadiyah di sekolah kader ini. “Semoga kita tidak hanya belajar yang benar, namun juga punya sikap yang benar dan bertindak benar,” pungkasnya. (ribas)