Oleh: Azhar Rasyid
Berbicara tentang pusat intelektual Islam di Benua Afrika, pikiran kita umumnya langsung tertuju kepada Mesir. Negeri ini, dengan Universitas Al-Azhar dan modernisme Islamnya (terutama di awal abad ke-20) memang sangat terkenal. Namun, orang tidak boleh lupa bahwa di dalam sejarah Islam di Afrika pernah ada satu tempat di mana ilmu pengetahuan (dan perdagangan) berkembang dengan sangat pesat, walau hanya berlangsung selama beberapa abad saja. Tempat itu adalah Timbuktu. Nama lainnya: Tinbuktu, Timbuctoo, Tombouctou, Tunbuktū, Tenbuch. Antara tahun 1400-1600, Timbuktu dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan dan pengetahuan Islam serta perdagangan di Afrika.
Tempat ini, yang letaknya tak jauh dari sungai terbesar ketiga di Afrika, Sungai Niger, kini merupakan bagian dari Mali. Dekat dengan sungai membuatnya sangat strategis di mata warga dan saudagar. Karavan-karavan yang melintasi Sahara kerap menjadikan Timbuktu sebagai tempat persinggahan mereka.
Kawasan ini diperkirakan mulai eksis sejak abad ke-12. Bangsa Berber merupakan penghuninya yang paling awal. Pada abad ke-14, saat orang-orang Mali berkuasa di sini, perubahan drastis mulai terjadi. Penguasa Mali yang juga dikenal sebagai seorang ahli dalam Mazhab Maliki, Raja Musa (Mansa Musa), mengunjungi wilayah ini sekitar tahun 1325. Saat itu, sang raja baru pulang dari menjalankan ibadah haji ke Mekah. Di Mekah, Musa bertemu dengan Al-Tuwaydjin (Abu Ishak Ibrahim Al Sahili), seorang asal Granada, Spanyol, yang punya keahlian di tiga bidang berbeda: hukum, sastra dan arsitektur. Musa memintanya untuk berkunjung ke Mali, yang lalu disanggupi oleh Al-Tuwaydjin.
Di Timbuktu, Al-Tuwaydjin menghidupkan Timbuktu dengan bangunan-bangunan yang didirikannya. Ada beberapa karya terpentingnya, pertama, kediaman untuk Raja Musa, dan kedua, Masjid Djingere-Ber. Didirikan tahun 1327, Masjid Djingere-Ber ini merupakan masjid tertua di Timbuktu dan masih eksis hingga kini walau mulai lapuk dimakan usia.
Ada satu masjid lain yang dibangun Al-Tuwaydjin, yang kemudian berkembang lebih dari hanya sebagai tempat untuk beribadah. Namanya Masjid Sankore. Di sekitar masjid inilah tak lama kemudian didirikan Universitas Sankore. Universitas ini memang tidak seterkenal Universitas Al Azhar. Namun ia punya ciri khas yang membedakannya dengan kampus lainnya. Di Sankore memang Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar. Namun, menurut sosiolog yang fokus pada studi masyarakat Afrika, Pierre L. van den Berghe, dalam buku Power and Privilege at an African University (1973), Sankore bukanlah institusi Arab. Universitas ini, terangnya, adalah produk dari peradaban bangsa kulit hitam Afrika di Sudan bagian barat.
Universitas Sonkere berperan penting dalam perkembangan sosial-politik kawasan, termasuk di Ghana, Mali dan Songhai. Tradisi intelektual berakar kuat di masa eksisnya universitas ini. Dikatakan bahwa pada abad ke-16, salah satu bisnis yang paling menguntungkan di Timbuktu adalah jual beli buku, sesuatu yang menunjukkan besarnya apresiasi masyarakatnya pada ilmu pengetahuan.
Selain di bidang pendidikan, kemajuan Timbuktu juga tampak dalam hal perdagangan. Kawasan ini dikenal sebagai salah satu titik kunci dalam perdagangan emas dan garam di Sahara. Timbuktu pernah sangat terkenal di Eropa lewat tulisan-tulisan orang Eropa yang mengulas soal aktifnya perdagangan emas di kota itu. Tapi sesungguhnya emas hanya salah satu elemen yang menghidupkan urat nadi komersial masyarakat di Timbuktu. Masih ada lagi yang lainnya, mulai dari kain, gandum, hingga budak.
Perdagangan dan pendidikan yang membawa Timbuktu sebagai wilayah metropolitan berpengaruh pada demografi penduduknya. Warganya berasal dari berbagai wilayah di Afrika, mencerminkan multikuturalismenya. Sekitar tahun 1450, jumlah penduduknya mencapai 100.000 jiwa, sebuah jumlah yang besar untuk sebuah kota di pedalaman Afrika yang jauh dari laut. Dari jumlah itu, seperempat di antaranya (sekitar 25.000 orang) adalah orang terpelajar. Mayoritas mereka berpengetahuan luas dan berwawasan regional karena telah menempuh ilmu di pusat-pusat kajian Islam di Mekah atau Mesir.
Sikap penguasa lokal amat menentukan dalam tumbuh dan runtuhnya suasana intelektual di Timbuktu. Antara tahun 1468-1493, Timbuktu dikuasai oleh penguasa asal Songhai, Sonni ‘Ali, yang dikenal tidak tertarik berurusan dengan para sarjana Muslim di Timbuktu. Namun di masa penguasa selanjutnya, Muhammad I Askia, yang berkuasa antara 1493-1528, terjadi perubahan pandangan. Ia tidak hanya menghargai ilmu pengetahuan, tapi bahkan menjadikan orangorang terpelajar di Timbuktu sebagai penasihatnya untuk urusan hukum dan moral.
Setelah selama beberapa abad menjadi kota yang penuh energi, Timbuktu perlahan-lahan mulai runtuh sejak akhir abad ke-16 saat orang-orang Maroko menaklukkannya. Para sarjana Timbuktu menjadi salah satu sasaran pembersihan penguasa baru ini karena dianggap tidak loyal. Ada di antara mereka yang kemudian melarikan diri ke Maroko. Timbuktu pun mulai kosong. Situasi kian memburuk saat para tetangga Timbuktu, mulai dari Bambara, Fulani dan Tuareg, menyerang kota ini dalam upaya mereka untuk menguasainya. Timbuktu masuk ke era kemundurannya.
Abad ke-19 adalah era eksplorasi kembali Timbuktu, kali ini dilakukan oleh para penjelajah Eropa yang masuk kian dalam ke pelosok Afrika. Sejumlah petualang Eropa yang tertarik dengan kisah masa lalu Timbuktu berkunjung ke kota ini dan menuliskan pengalaman mereka selama berada di sana. Di penghujung abad ke-19, penguasa kolonial Perancis, yang tengah melakukan ekspansi di Afrika bagian utara dan barat, mengambil alih Timbuktu.
Mali menyatakan kemerdekaannya dari Perancis pada tahun 1960, dan Timbuktu dimasukkan sebagai salah satu teritorinya dan menjadi salah satu tujuan wisata di kawasan. Karena sejarahnya yang luar biasa dan peninggalan bangunannya yang khas, pada tahun 1988 Timbuktu dimasukkan oleh UNESCO ke dalam daftar situs Warisan Dunia.
Tapi, sejarah Timbuktu dari dulu hingga kini juga dilingkupi oleh perebutan kekuasaan. Dulu, bangsabangsa Berber dan para tetangga Timbuktu yang lebih kuat silih berganti menguasai wilayah ini. Dewasa ini, konflik multilevel masih terjadi di Mali. Eksesnya sampai ke Timbuktu. Negeri yang dulu kaya dan bersemangat itu kini menjadi korban konflik perebutan wilayah maupun pertentangan ideologis di Mali.
___
Azhar Rasyid. Penilik sejarah Islam.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2018