YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Sekretaris Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Gatot Supangkat menyebut ada tiga kelompok yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan: pengusaha, penguasa, dan masyarakat biasa. Mayoritasnya dilakukan oleh perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa. Hal ini terungkap dalam diskusi rutin Dwi Mingguan yang diselenggarakan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah, pada Jum’at 22 Maret 2019, di Aula Gedoeng Moehammadijah, Yogakarta.
Sumber Daya Alam memang diperuntukkan bagi kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. Namun, kata Gatot, seringkali manusia menjadi serakah dan lepas kontrol saat memanfaatkan SDA yang ada. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan serta menjadi pemicu berbagai bencana yang merugikan manusia dan makhluk lainnya.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi dituntut untuk bijak dalam memanfaatkan sumber daya. Tidak sekadar memikirkan manfaat jangka pendek, namun juga harus dengan kajian dan pertimbangan jangka panjang. Sehingga kelestarian dan keberlangsungan ekologi bisa dirasakan oleh generasi setelahnya. Bumi harus diwariskan kepada anak cucu dalam kondisi yang baik.
Sumber daya tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada pengusaha yang hanya mengeruk alam secara serakah. Gatot menyebut, misalnya, pengelolaan air yang saat ini banyak diprivatisasi oleh segelintir pengusaha. Oligarki menyebabkan akses masyarakat umum terhadap air menjadi susah, padahal keberadaan air harusnya bisa dimanfaatkan secara adil oleh semua pihak, sebagai hak asasi. Gatot menyatakan, pemanfaatan air secara ugal-ugala oleh sekelompok pengusaha merupakan fakta yang miris, dan dampaknya secara langsung dirasakan oleh masyarakat.
“Pengelolaan air harus berkeadilan. Aksesbilitas masyarakat harus diutamakan. Karena tidak adanya hal itu, kemudian menjadi alasan Muhammadiyah mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung terkait undang-undang air,” tuturnya. Pada tahun 2013, Muhammadiyah bersama elemen masyarakat sipil mengajukan Judicial Reveiw ke MK terkait dengan UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dianggap meruntuhkan kedaulatan negara dan merugikan rakyat sebagai pengguna air oleh sebab komersialisasi air. Pada 2015, MK mengabulkan gugatan Muhammadiyah dan aturan tentang pengelolaan SDA dikembalikan ke Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan.
Gatot menggarisbahawi tentang praktik eksploitasi yang dilakukan oleh pengusaha sering mendapat legitimasi hukum melalui peraturan atau kebijakan pemerintah. Meski demikian, penyumbang kerusakan lingkungan tidak mutlak dilakukan hanya oleh pengusaha dan penguasa saja, masyarakat juga turut menyumbang peran kerusakan lingkungan.
Menyikapi hal ini, edukasi kepada masyarakat perlu terus dilakukan secara berkelanjutan. “Mengerikan memang melihat fakta ekologis yang terjadi di negeri kita ini. Minimnya edukasi bagi masyarakat tentang lingkungan, dan diperparah oleh perselingkuhuan yang terjadi antara para pemilik modal (pengusaha) dengan pemerintahan melalui kebijakan, ikut andil dalam menciptakan kerusakan lingkungan,” paparnya.
Gatot mengajak semua pihak bergandeng tangan, melakukan penyadaran dalam menangulangi masalah kerusakan lingkungan. Tidak justru dengan saling tuding kesalahan, kesadaran kolektif perlu dibangun bahwa bumi yang ditempati manusia memiliki sistem dan tata aturan keseimbangan yang harus ditaati. Jika manusia merusak tatanan keseimbangan itu, maka akibatnya juga akan dirasakan oleh manusia dan semua makhluk yang tinggal di bumi. Sebaliknya, jika manusia hidup berdampingan dengan alam, maka alam pun akan memberikan yang terbaik. (ribas/aan)