Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi
(Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah PP Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dalan)
Judul : Usul al-Fiqh: Dirasah Naqdiyyah fi Aliyat Iktisyaf al-Ahkam al-Syar’iyyah
Penulis : Prof Dr Syamsul Anwar, MA
Penerbit : LPPI UMY
Tahun terbit : 2018 M / 1440 H
Salah satu disiplin ilmu yang seringkali dikambinghitamkan oleh sebagian kalangan karena dianggap telah mengakibatkan umat Islam jatuh kepada kejumudan adalah ilmu fikih. Ia diyakini sebagai ilmu yang paling bertanggung jawab atas kemunduran umat karena konon selalu mengajak untuk melihat problema keagamaan secara hitam-putih. Sebagian kalangan yang mengaggap ilmu fikih ini adalah sebab munculnya kejumudan secara tidak langsung sesungguhnya juga sedang menuduh ilmu usul fikih sebagai biang kerok. Ini karena ilmu usul fikih sejatinya merupakan suatu metodologi yang menghasilkan suatu produk bernama fikih. Tuduhan ini dalam batas-batas tertentu harus difahami sebagai kritik konstruktif, karena telah mendorong para sarjana Muslim untuk merekonstruksi usul fikih yang selama ini ada, yang memang dapat dikatakan terlalu menekankan pada paradigma linguistik alih-alih paradigma maqasidi.
Al-Syatibi barangkali merupakan salah satu sarjana Muslim yang secara komprehensif menawarkan usul fikih dengan paradigma baru. Ia menawarkan satu gagasan usul fikih yang berbeda dengan menekankan paradigma integralistik-maqasidi alih-alih paradigma linguistik an sich. Paradigma linguistik yang menekankan istinbat hukum berdasarkan dalil-dalil kebahasaan tidak sepenuhnya salah dan negatif, karena al-Syatibi sendiri mengakui pentingnya penguasaan bahasa Arab dan segala perangkat kebahasaannya dalam berijtihad. Namun, semata-mata terpaku pada mekanisme penemuan hukum berdasarkan aturan linguistik, selain menyebabkan ketimpangan pada hukum Islam juga akan mengakibatkan gagalnya tujuan hukum Islam itu tercapai.
Dalam semangat yang sama itulah buku usul fikih yang baru saja terbit berjudul Usul al-Fiqh: Dirasah Naqdiyyah fi Aliyat Iktisyaf al-Ahkam al-Syar’iyyah (Usul Fikih: Studi Kritis tentang Mekanisme Penemuan Hukum Syar’i) sangat patut diapresiasi. Apresiasi terhadap buku ini bukan hanya karena ia menawarkan gagasan yang cemerlang, akan tetapi juga karena buku ini ditulis dalam bahasa Arab oleh seorang sarjana Muslim Indonesia yang lahir dari Persyarikatan Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar. Beliau adalah ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan guru besar usul fikih pada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Secara umum buku ini menawarkan gagasan tentang bagaimana sesungguhnya mekanisme penemuan hukum Islam yang tidak hanya berbasis pada analisis semantik tapi juga -yang lebih penting- bernuansa maqasidi. Hal tersebut misalnya tergambar dalam buku karya pria kelahiran Natuna Kepulauan Riau ini, terutama dalam pembahasan mekanisme penemuan hukum berdasarkan metode ta’lili (metode kausasi) di bawah judul bab “al-thariqah al-ta’liliyyah”. Dalam bukunya itu, setelah menjelaskan perdebatan ulama tentang apakah hukum itu mengandung ‘illah (kausa) atau tidak, Syamsul Anwar kemudian mengklasifikasikan metode ta’lili (metode kausasi) ini menjadi dua, yaitu metode kausasi hukum berdasarkan kausa efisien (ta’lil al-ahkam bi al-‘illah al-fa’ilah) dan metode kausasi hukum berbasis kausa finalis (ta’lil al-ahkam bi maqasid al-syari’ah). Dalam pembahasan inilah upaya Syamsul Anwar untuk menghadirkan nuansa maqasidi dalam metode penemuan hukum sangat kentara.
Untuk tidak terjerumus kepada apa yang disebut sebagai “upaya liberalisasi berkedok maqasid”, Syamsul Anwar juga menjelaskan syarat-syarat perubahan hukum agar suatu hukum tidak asal berubah. Menurut Syamsul Anwar, suatu hukum dapat berubah apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang ditawarkan Syamsul Anwar dalam bukunya ini sangat penting mengingat sebagian pemikir kontemporer menunggangi teori maqasid al-syari’ah untuk melancarkan upaya liberalisasi pemikiran keagamaan.
Dalam studi Islam secara umum, buku karya Syamsul Anwar ini memiliki relevansi tersendiri, baik bagi Muhammadiyah maupun masyarakat secara umum terutama para pengkaji hukum Islam. Bagi Muhammadiyah, buku berbahasa Arab ini seharusnya menjadi pemantik bagi para pemikir dan sarjana di lingkungan Muhammadiyah untuk dapat menawarkan gagasan-gagasan besarnya dalam bahasa internasional. Lahirnya karya-karya dari para pemikir Muhammadiyah dalam bahasa internasional akan sangat membantu mewujudkan visi internasionalisasi Muhammadiyah, sehingga Muhammadiyah secara khusus dan umat Islam Indonesia secara umum tidak hanya menjadi konsumen dari berbagai aliran keagamaan yang berasal dari luar akan tetapi bisa menjadi produsen paham keagamaan yang pengaruhnya menyebar secara global.
Bagi masyarakat, terutama para pengkaji hukum Islam, buku ini menawarkan suatu gagasan yang padat namun berbobot tentang mekanisme penemuan hukum Islam. Bila dibandingkan dengan kitab-kitab usul fikih berbahasa Arab yang membahas tema yang sama, buku ini jauh lebih ringkas namun tetap kokoh secara substansi. Buku karya Syamsul Anwar ini sangat cocok untuk dijadikan diktat mata kuliah usul fikih atau hukum Islam, baik di pondok-pondok pesantren maupun di perguruan tinggi Muhammadiyah dan perguruan tinggi Islam baik swasta atau negeri.
Akhirnya, buku ini merupakan sumbangan besar bagi diskursus keilmuan Islam Indonesia. Selain harus diapresiasi, buku ini tentu harusdidekati secara proporsional dengan tetap mengedepankan kritisisme dalam membaca dan mengkaji. Selamat membaca!