Oleh: Azhar Rasyid
Salah satu puncak pencapaian kaum Muslimin di masa lalu adalah berdirinya kekhalifahan Islam di bawah Dinasti Umayyah selama dua abad (abad ke-10-11) di Cordoba, Spanyol. Ini terutama sekali berlaku dari sisi ilmu pengetahuan. Di sana berkembang pesat tradisi mencari dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Lahirlah banyak ilmuwan yang menguasai berbagai bidang, dari filsafat hingga kedokteran, dengan karya-karya mereka yang masih dibaca orang hingga kini. Kualitas ini membuat orang-orang Eropa mendaftarkan diri di perguruan tinggi Islam, tidak hanya di Cordoba, tapi juga wilayah-wilayah Spanyol lainnya seperti Sevilla dan Granada.
Tegaknya tradisi keilmuan di Spanyol masa Islam tak akan terjadi tanpa eksistensi pilar-pilar pendukungnya. Pertama, orang-orang yang terlibat dalam proses transmisi pengetahuan, seperti pelajar, guru, penulis dan penyalin buku, penjual buku, pembaca buku, serta para penguasa yang mau membayar mahal untuk memperoleh buku bermutu. Kedua, pasar buku Cordoba sendiri sangat aktif. Buku yang diproduksi setiap tahunnya di Cordoba berjumlah ribuan sementara pembeli di pasar buku Cordoba berasal dari berbagai wilayah di Spanyol.
Di luar orang terpelajar dan pasar buku, ada satu pilar pengetahuan lainnya yang tak kalah pentingnya, yakni perpustakaan Islam Cordoba. Perpustakaan ini dirintis oleh Abd ar Rahman II, emir Cordoba di Al-Andalus yang berkuasa antara tahun 822-852. Namun, Khalifah Al-Hakam II (berkuasa antara tahun 961-976) adalah sosok yang membawa perpustakaan ini ke level yang sangat maju. Al-Hakam II dikenal menaruh minat yang besar pada ilmu pengetahuan, sebagaimana tampak dari usahanya memiliki sebuah perpustakaan pribadi. Al-Hakam II bahkan menggabungkan koleksi buku para penghuni istana, mulai dari ayahnya sendiri, saudarasaudaranya, anak-anaknya hingga para pangeran. Lahirlah sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang mencapai ratusan ribu.
Yang juga patut dicatat adalah bahwa Al-Hakam II sangat gigih dalam hal mengoleksi buku-buku penting. Ia rela menukar emas dengan buku. Salah satu contohnya buku Kitab Al-Aghani. Al-Hakam II menyediakan 100 dinar emas untuk mendapatkan salinan pertama buku itu, yang lalu ia simpan di perpustakaan yang dibangunnya.
Angka-angka yang luar biasa berbicara tentang kebesaran perpustakaan yang dibangun Al-Hakam II. Sejumlah pengamat menyebut ada sekitar 400.000 buku yang tersimpan dalam koleksinya. Jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan koleksi perpustakaan lain di zamannya, baik di Dunia Arab-Islam maupun di Dunia Eropa-Kristen.
Buku di perpustakaan Cordoba tersusun dalam katalog yang terdiri atas 44 jilid. Setiap jilid katalog terdiri dari 20 halaman. Hanya judul buku yang ditulis di dalam katalog ini. Itu artinya katalog-katalog ini memuat sangat banyak informasi tentang koleksi buku di perpustakaan itu. Koleksi perpustakaan Cordoba yang didirikan Al-Hakam II mencakup hampir beragam cabang ilmu pengetahuan, mulai dari ilmu hadits, bahasa, sejarah, hukum, hingga kesehatan.
Latar belakang penguasa merupakan faktor menentukan dalam besar kecilnya atensi negara terhadap ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Al-Hakam II tidak hanya seorang penguasa yang hanya memikirkan kekuasaan semata. Selain politik praktis, ilmu pengetahuan adalah minatnya yang lain. Sejak kecil ia sudah dididik oleh para guru di istana. Saat beranjak dewasa, ia mulai mengumpulkan buku. Buku-buku favoritnya mencakup tema seperti sejarah Islam di Spanyol, sastra Arab dan hukum agama. Di samping itu, kekuasaannya memungkinkan untuk menyuruh penulisan atau penyalinan buku.
Yang juga krusial, Al-Hakam II bukan hanya pengumpul buku, tapi juga pembaca dan pengomentar buku. Ia akan membuat catatan bila menemukan ada yang menarik di buku-buku yang ia baca. Catatan itu, umpamanya, mengaitkan bahan bacaan itu dengan para sarjana yang menguasai ilmu yang relevan.
ara sarjana yang menguasai ilmu yang relevan. Koleksi buku yang luar biasa di perpustakaan Cordoba tidak hanya menguntungkan bagi sang khAalifah dan orang dalam istana saja, tapi juga komunitas sarjana secara umum. Sejarawan David Wesserstein (1993) dalam sebuah tulisannya tentang tradisi literasi di Spanyol masa Islam menyebut bahwa sejumlah langkah signifikan diambil oleh Al-Hakam II untuk memastikan agar ilmu pengetahuan bisa dikaji secara optimal.
Pertama, memperkerjakan banyak ahli dalam rangka mengelola perpustakaan tersebut, mulai dari para pustakawan, penerjemah, korektor serta para penyalin naskah. Kedua, mengoleksi buku-buku dengan tema yang beragam. Ketiga, mengundang para sarjana asing untuk datang dan menelusuri koleksi buku di perpustakaan Cordoba sehingga, pada gilirannya, mendorong orang asing ini untuk tidak hanya melihat kehadiran Umayyah di Cordoba dari sisi kekuatan politiknya semata tapi juga dari aspek vitalitas kulturalnya.
Di luar dukungan sang khalifah dan keterlibatan para sarjana, ada satu elemen penting lain yang menopang tradisi keilmuan di Cordoba, yakni apresiasi masyarakat umum pada usaha pencarian dan pelestarian pengetahuan. Di Cordoba, tidak hanya raja dan pangeran yang mengoleksi buku, tapi juga penduduknya. Bagi mereka, memiliki buku, dan terutama sekali memiliki perpustakaan, adalah tanda kemajuan serta wibawa. Sampaisampai ada yang menyebut bahwa bagi warga Cordoba adalah sebuah kebanggan tersendiri bila di dalam koleksi pribadinya terdapat manuskrip dari penulis tertentu.
Perpustakaan yang didirikan Al-Hakam II membuat dirinya jauh lebih dikenal sebagai seorang bibliofilia atau pecinta buku daripada sebagai seorang khalifah. Atensi sang khalifah ini serta atmosfer intelektual yang begitu kental di Cordoba membuat kota ini dikenal sebagai salah satu pusat kultural penting, baik di Eropa maupun di Dunia Islam pada zamannya.
___
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 tahun 2018