JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menggelar Seminar Nasional Media & Industri 4.0 bertema: Memanfaatkan Digital Sebagai Media Berkarya dan Menangkal Hoaks, pada Kamis, 28 Maret 2019. Kegiatan yang berlangsung di Aula Gedung Pusat Dakwah Muhamadiyah Jakarta ini menghadirkan narasumber anggota DPR RI Budiman Sudjatmiko, Cyber Bareskrim Polri Hans Itta, Sekretaris Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Sumiati, dan Ketua DPP IMM Ari Susanto.
Sekretaris DPP IMM Muhammad Roby Karman dalam pembukaannya menyatakan bahwa informasi dan teknologi menjadi aset penting di era reformasi. “Masa Orde Lama ada anggapan bahwa siapa yang menguasai politik akan menguasai kekuasaan, Masa Orde Baru tema politik berganti menjadi ekonomi, dan sekarang di masa pasca reformasi tema ekonomi diganti oleh tema informasi dan teknologi,” tuturnya. Oleh karena itu, diskusi ini dianggap relevan.
Sumiati menyatakan bahwa pemerintah menargetkan seluruh wilayah Indonesia dapat mengakses internet cepat pada tahun 2020. Hal ini karena informasi menjadi sesuatu yang sangat penting. “Ketersediaan internet cepat akan memajukan komunikasi dan pertumbuhan ekonomi. Tapi, kita harus menggunakannya dengan baik dan bijak. Bisa berbahaya jika tidak,” ujarnya.
Budiman Sudjatmiko menyampaikan bahwa sisi negatif dari terbukanya akses informasi adalah hilangnya kepakaran atau keahlian. Siapa pun bisa memproduksi informasi dan pengetahuan. Termasuk memproduksi informasi untuk tujuan jahat.
Era ini mengubah banyak hal, termasuk dalam bidang keagamaan. Referensi agama tidak lagi pada mereka yang otoritatif dan benar-benar menguasai ilmu. “Di masa sekarang, misalnya, ustaz lulusan Al-Azhar Mesir yang belajar agama bertahun-tahun dibantah oleh ustaz yang baru belajar beberapa bulan. Keahlian menjadi relatif, yang dipentingkan adalah sentimen,” ungkapnya.
Budiman yang juga lulusan SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta ini berpesan agar generasi muda menguasai: data, informasi, algoritma, dan imajinasi. Hal ini karena dunia telah berubah, maka kompetensi yang harus dimiliki anak muda juga berubah.
Dunia berada dalam kondisi berlimpahnya infiormasi. Jika informasi baik tidak diproduksi, maka informasi yang buruk, termasuk hoaks dan fake news, akan merajalela. Hoaks terus beredar di masyarakat. Menurut Budiman, hoaks ini memiliki pola yang terstruktur, diulang-ulang, dan mengaduk-aduk emosi. Menyentuh keyakinan seseorang.
Orang baik perlu mengambil inisiatif. “Hari ini menjadi baik saja tidak cukup, jika baiknya cuma sedikit. Apalagi jika tidak diketahui dan tidak berdampak pada sosial. Orang-orang baik harus digerakkan dan percaya diri untuk tampil,” ulasnya.
Algoritma telah mampu membaca kebiasaan para pengguna media sosial. Cambridge Analitycal, ungkap Budiman, telah memetakan tipe-tipe seseorang melalui data-data yang diperolehnya. Dengan pemetaan tersebut, maka penggunaan hoaks dapat disesuaikan dengan sasaran yang dituju.
Hans Itta menyatakan bahwa saat ini terjadi kekaburan antara kebenaran dan kebohongan. Hal itu ditentukan oleh mereka yang menguasai kanal informasi. “Siapa yang mengusai opini, dialah yang menguasai medsos,” ujar Hans. Sesuatu informasi kebohongan yang diulang-ulang terus menerus maka akan menjadi kebenaran.
Ari Susanto melihat bahwa berlimpahnya informasi bisa membawa keuntungan dan sekaligus menjadi sumber petaka. “Jadi ibaratnya pisau bermata dua, dia akan memberikan hasil yang baik atau sebaliknya. Yang baik tentunya seperti e-commerce yang digunaan untuk bisnis atau ojek online. Sebaliknya hal buruk disebut hoaks dan merusak tatanan masyarakat,” ujarnya. Dalam hal ini, dibutuhkan kebijaksanaan kita, untuk tidak hanya menjadi konsumen yang pasif, namun juga menjadi produsen yang katif memanfaatkan peluang zaman. (ribas)
Baca juga:
Hargai Kepakaran, Pakar jangan Arogan
Perbanyak Konten Positif di Media Sosial
Saatnya Generasi Muda Bijak Bersosial Media
Jihad Selfie, Kisah Perekrutan ISIS Melalui Sosial Media dan Peran Orang Tua