Rapat Umum Aisyiyah di Kuala Simpang Tahun 1932
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Tiga dekade pertama abad ke-20 menjadi saksi lahirnya gerakan emansipasi kaum perempuan di Hindia Belanda. Sebagian kecil perempuan sudah lepas dari pingitan dan masuk sekolah. Yang lainnya menyerukan interpretasi baru atas adat dan anjuran agama yang dinilai menghalangi kemajuan kaum perempuan. Kaum perempuan juga didorong untuk bisa mengikuti perkembangan dunia modern. Namun, suara yang kontra terhadap partisipasi publik perempuan juga tak kalah kencangnya.
Guna mempromosikan gerakan emansipasinya, kaum perempuan membentuk berbagai macam organisasi yang berdasarkan agama, etnis atau ideologi. Organisasiorganisasi ini kerap menyelenggarakan openbare vergadering (rapat umum) di mana para pembicara perempuan menyampaikan ide-idenya secara terbuka untuk kemudian dikomentari oleh para kolega mereka.
Aisyiyah termasuk organisasi perempuan yang memelopori kebangkitan kaum perempuan. Didirikan oleh Nyai Ahmad Dahlan pada 19 Mei 1917, organisasi ini aktif dalam mendiskusikan berbagai isu seputar kemajuan kaum perempuan, baik di ranah domestik maupun publik. Biografer gerakan Aisyiyah, Sally J. White (2004: 24) menyebut bahwa Aisyiyah adalah “organisasi Islam reformis pertama untuk kaum perempuan di Hindia Belanda dan merupakan yang terbesar di antara organisasi sejenis di masa pra-kemerdekaan Indonesia.”
Secara historiografis, kajian tentang Aisyiyah lebih banyak difokuskan pada kiprahnya di Jawa dan Yogyakarta sebagai pusat gerakan ini. Namun itu tak berarti Aisyiyah di luar Jawa tidak berkembang. Cabang Aisyiyah sudah eksis di Sumatra dan Kalimantan sejak tahun 1926.
Satu tempat di mana Aisyiyah berkembang pesat di luar Jawa adalah Aceh. Cabang pertama Aisyiyah sudah dibentuk di Takengon (Aceh Tengah), sejak tahun 1928, setelah kaum perempuan di sana mendengar tentang pergerakan Muhammadiyah yang modernis dari suami mereka. Antusiasme kaum perempuan Aceh pada gerakan Aisyiyah tak bisa dibendung. Dari Takengon Aisyiyah dibentuk pula di Idi Rayeuk (Aceh Timur) dan Kuala Simpang (Aceh Tamiang).
Ada suatu rapat umum Aisiyah yang menarik, namun jarang dibahas dalam tulisan sejarah tentang Aisyiyah. Rapat umum ini dilakukan di Kuala Simpang pada Sabtu pagi, 26 November 1932. Biasanya rapat umum atau kongres Muhammadiyah dan Aisyiyah lebih banyak diberitakan oleh media internal seperti Soeara Moehammadijah dan Soeara ‘Aisjijah. Tapi rapat umum di Kuala Simpang ini bahkan sampai mendorong koran Belanda yang terbit di Medan sejak tahun 1899, De Sumatra Post, untuk meliputnya.
Pada tahun 1932, anggota Aisyiyah di seluruh Hindia Belanda sudah mencapai 20000 orang. Aisyiyah cabang Kuala Simpang, Aceh Tamiang, termasuk yang paling aktif. Rapat umum mereka pada 26 November 1932 dihadiri tak kurang dari 300 peserta perempuan, suatu jumlah yang tergolong banyak untuk ukuran wilayah sekecil Kuala Simpang. Tak hanya itu, rapat ini dihadiri pula oleh seorang wakil dari Partai Indonesia (Partindo), A Hamid Lubis (belakangan dibuang ke Digul). Partindo dikenal sebagai organisasi politik yang giat mendorong kemerdekaan Indonesia (Adam Malik pernah menjadi ketua cabangnya di Pematang Siantar pada tahun 1930an). Kehadiran wakil Partindo menunjukkan adanya relasi antara gerakan emansipasi dan modernisasi kaum perempuan yang digagas Aisyiyah dengan gerakan Partindo yang berorientasi politik dan kebangsaan. Kedua organisasi ini jelas sama-sama sepakat untuk memajukan kaum pribumi dalam kerangka nasionalisme Indonesia yang masih dalam tahap awal.
Rapat umum itu dibuka oleh Mevrouw (Nyonya) Anidjah. Inti pidatonya ialah soal hak perempuan dalam Islam. Ia melancarkan kritik pada adat, dalam hal ini adat Minangkabau, yang menurutnya memperlakukan kaum perempuan dengan tidak manusiawi. Perlakuan buruk pada kaum perempuan, terangnya, terjadi di masa lalu hingga di masa kini. Ia memberi contoh. Di masa pra-Islam, para ayah membunuh anak perempuan mereka, sementara kini anak-anak perempuan yang masih di bawah umur sudah dinikahkan. Bahkan, katanya, di tiga kota di Minangkabau, yakni Batusangkar, Solok dan Kotagadang, anak gadis tidak diperbolehkan menikah dengan pria dari kota lain. Alhasil, banyak yang kemudian memilih tidak menikah. Atau kalaupun menikah, pasangannya adalah “pria tua yang sudah beruban.” Anidjah, menurut laporan De Sumatra Post, menyerang “kinderhuwelijken” atau perkawinan anak “zeer scherpe woorden” (dengan kata-kata yang sangat tajam).
Kritik lain yang dikemukakan Anidjah ialah soal poligami. Menurutnya, pria boleh mengambil empat istri, sepanjang sesuai dengan cara yang diperbolehkan. Namun, lanjutnya, yang terjadi ialah bahwa pria melakukannya bukan atas perintah Tuhan.
Selanjutnya giliran Mevrouw Latifah berbicara. Ia menekankan tentang pemisahan yang dibuat Allah. Tidak dijelaskan pemisahan dalam konteks apa, namun dari tuturannya tampaknya ia mengacu pada pemisahan gender yang masih kuat diadopsi masyarakat di zaman itu. Pemisahan gender melahirkan pemisahan profesi dan pembatasan peran kaum perempuan di luar ranah domestik. Menurut Latifah, satusatunya pemisahan yang dibuat Allah hanyalah antara mereka yang menuruti perintah-Nya dan mereka yang melalaikan perintah-Nya.
Pembicara lain, Juffrouw (Nona) Kamisah, mengutarakan pesan berbeda dalam pidatonya. Ia fokus pada ibadah kepada Allah agar manusia mendapat ganjaran yang baik di kehidupan akhirat. Kepada audiensnya ia menerangkan bahwa ada tempat di surga yang diisi oleh mereka yang tenang dan sabar, yang senantiasa mengikuti perintah Allah dengan tepat waktu.
Rapat umum Aisyiyah di Kuala Simpang ini tidak hanya dipenuhi oleh pidato-pidato bersemangat yang menyerang unsur adat yang membelenggu bahkan merendahkan kaum perempuan saja. Ada kemeriahan lain yang hadir kala itu karena pada malam sebelumnya diadakan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. Ratusan anak gadis dan perempuan dewasa hadir di acara ini. Kepada pembacanya yang kebanyakan orang Belanda yang tidak tahu banyak tentang ajaran dan tradisi Islam, koran De Sumatra Post menerangkan bahwa Isra’ Mi’raj adalah “een van de grootste feestdagen in de Islamistische wereld” (salah satu hari besar di dunia Islam).
Rapat umum Aisyiyah di Kuala Simpang ini pada hakikatnya adalah acara internal organisasi. Namun, isu yang dibahas di sana merepresentasikan perhatian dan harapan banyak perempuan di Hindia Belanda di zaman ketika gerak kaum perempuan dikungkung oleh tradisi lama dan penafsiran agama yang sempit. Tak heran bila rapat umum ini mendapat atensi luas bahkan dari luar Aisyiyah. Tak hanya kaum perempuan Muslim Hindia Belanda saja yang mendapat perspektif baru dari acara itu. Orang Belanda di Hindia Belanda, yang hanya punya pengetahuan sedikit tentang ajaran Islam, dengan membaca reportase tentang acara ini di koran Belanda, turut mengetahui soal gerakan kemajuan kaum perempuan yang diilhami oleh Islam dan digerakkan oleh Aisyiyah.
Muhammad Yuanda Zara. Sejarawan
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 4 Tahun 2018 dengan judul “Openbare Vergadering (Rapat Umum) Aisyiyah Di Kuala Simpang Tahun 1932”