Tabligh Akbar Haedar Nashir: Isra Mikraj dalam Kehidupan Sehari-hari

MALANG, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan pengajian Tabligh Akbar di Masjid Raden Patah Universitas Brawijaya Malang. Tabligh Akbar Peringatan Isra  Nabi Muhammad SAW itu mengusung tema “Implementasi Nilai-nilai Isra’ Mikraj dalam Kehidupan Sehari-hari”. Haedar mengajak umat Islam untuk mengambil hikmah dan senantiasa meneladani perilaku Nabi pembawa risalah.

“Salah satu karakter kuat nabi itu adalah kejujuran. Mafhum mukhalafahnya itu tidak bohong. Jadi, kalau ingin mengimplementasikan isra’ mikraj dalam kehidupan kita, maka itu kejujuran dan tidak bohong,” tutur Haedar seraya mengajukan pertanyaan retoris, apakah kita bisa mempraktekkan apa yang nabi praktekkan?

Isra’ Mikraj terjadi pada tahun ke-10 kenabian, setahun sebelum perstiwa hijrah. “Isra’ Mikraj terjadi dalam konteks amul huzni, tahun kesedihan, setelah ditinggal istri tercinta Khatijah dan pamannya Abu Thalib,” ujarnya. Jadi peristiwa ini juga bermakna bahwa Allah ingin menghibur Nabi. Namun, Nabi tidak lantas terlena.

Dalam perspektif sufi, kata Haedar, puncak cita-cita tertinggi adalah bertemu dengan Allah. Setelah bertemu Allah, Nabi justru kembali ke dunia. “Nabi tidak berasyik masyuk di langit, tetapi turun kembali guna melakukan misi transformasi kerisalahan secara lebih gencar lagi,” ulasnya.

Nabi berjuang di Makkah selama sepuluh tahun penuh dengan kesulitan. Proses panjang dan tidak instan. Kita sering berjuang itu instan. “Dalam membangun kehidupan umat, supaya tidak sekadar menjadi kerumunan, membangun umat terbaik atau khairu ummah, ini tidak bisa instan,” ungkapnya. Kalau kita punya kekuatan ruhani seperti yang dipunyai Nabi, kualitas kita akan berbeda

Menurut Haedar, isra’ mikraj itu perjalanan lahir dan batin. Nabi diperjalankan. Nabi untuk sampai seperti itu karena telah berjuang selama sembilan tahun dengan penuh kesungguhan. Setelah Nabi sampai di sidratul muntaha dan diberi perintah shalat, Nabi turun dan kemudian kembali lagi untuk meminta keringanan, Nabi berdialog.

“Maka, shalat yang didapat dari perjalanan isra’ mikraj, seharusnya memiliki makna transformasi, tidak sekadar ritual ibadah mahdhah semata, tidak sekadar melahirkan keshalihan individual,” tukas Haedar. Namun shalat juga harus membentuk keshalihan sosial. Shalat harus melahirkan transformasi keshalihan dalam diri kita. Shalat harus menumbuhkan kekayaan ruhani kita, sehingga menjadi Muslim yang muttaqun. Shalat harus menjauhkan kita dari perbuatan keji dan mungkar.

Haedar menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad dan Al-Hakim. Suatu ketika, beberapa orang datang menemui Rasulullah, “Wahai Rasulullah, seseorang rajin shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga sering berbuat jahat terhadap tetangganya.” Nabi menjawab, “Dia penghuni neraka.” Sebaliknya, terdapat seorang yang shalat, puasa, dan zakatnya biasa saja, tetapi tidak pernah berbuat jahat terhadap tetangganya. Kemudian Rasulullah bersabda, “Dia penghuni surga.”

Dari isra’ mikraj, kita juga meneladani Nabi dalam hal akhlak sehari-hari. Akhlak Nabi itu layaknya Al-Qur’an berjalan. Wa innaka la’ala khuluqin ‘adzim. “Jika negeri kita meneladani Nabi, harusnya makin sedikit korupsi,” katanya. Peringatan isra mikraj gencar dilakukan, namun hal itu belum mengubah perilaku kita.

Nabi pernah ditawari empat hal untuk berhenti berdakwah: kekayaan yang tiada tara, dijadikan junjungan yang paling tinggi, kekuasaan yang paling tinggi, dan perlindungan yang paling aman. Nabi menolak semua tawaran itu. Hal ini bisa menjadi pelajaran supaya kita tidak kehilangan integritas dalam berjuang.

“Tak lama setelah isra’ mikraj, Nabi melakukan hijrah ke Yasrib. Nabi mulai membangun kota peradaban di Yasrib yang kemudian diubah nama menjadi Madinah al-Munawwarah. Dari sebuah dusun kecil, menjadi pusat peradaban yang tercerahkan,” tutur Haedar. Nabi berhasil mengubah bangsa Arab yang jahiliyah menjadi bangsa yang berperadaban dan tercerahkan

Jahiliyah itu menyembah berhala yang dibikin sendiri, bertindak bodoh yang semestinya tidak dilakukan. Jahiliyah merendahkan perempuan, Islam revolusioner mengubah sistem patriarkhi menjadi setara. Jahiliyah berniaga secara curang. Jahiliyah menyelesaikan masalah dengan saling menumpahkan darah.

Proses dakwah Nabi untuk membangun peradaban dilakukan dengan penuh hikmah. “Nabi mengubah itu semua, lahirlah peradaban yang menyinari dunia. Dari sinilah, Islam menjadi rahmatan lil alamin. Di tangan seorang Muhammad, rahmatan lil alamin sudah diwujudkan,” ulasnya.

Haedar Nashir juga mengingatkan tentang nilai dari perjuangan membangun peradaban yang harus kita teladani, dimulai dengan iqra, wahyu pertama itu perintah membangun tradisi literasi. Perintah membaca menjadi pijakan awal untuk membangun peradaban yang berkemajuan. (ribas)

Exit mobile version