Oleh: Mukhlis Rahmanto
Tanah air sebagai tempat lahir, hidup dan matinya seseorang mulai dikenal dan mengental dalam sejarah manusia seiring dengan lahirnya konsep bangsa-negara (nation-state) pada awal abad ke-19 hingga memunculkan nasionalisme yang berakar dari etnosentrisme, yaitu paham akan kesadaran dan semangat mencintai tanah air. Ketika paham tersebut masuk ke alam pikiran Muslim, lahirlah beberapa respon di mana kebanyakan Muslim menerimanya dengan mengacu pada sebuah hadits Nabi populer yang sering disitir untuk menguatkan seruan mencintai tanah air yaitu:
Jika ditelisik, ternyata hampir semua kritikus Hadits, antara lain: Badrudin Az-Zarkasyi (Ad-Durar al-Muntasirah: 197); As-Sakhawi (AlMaqashid Al-Hasanah: 100); Ali AlQari (Al-Mashnu’ fi Ma’rifati al-Hadits al-Maudhu: no. 106) dan Al-Albani (Silsilah ad-Dha’ifah: 110) menilai validitas Hadits tersebut dengan pernyataan “tidak ada asalnya” atau bahkan palsu (maudhu’) dan menambahkan komentar: “namun substansi atau maknanya baik (shahih) dan senafas dengan ajaran Islam”, kecuali Nashirudin Al-Albani yang menambah komentar agak miring: “maknanya tidak seiring dengan ajaran Islam karena sama dengan mencintai diri sendiri atau harta yang tidak dipuji mencintainya, pun keimanan tidak mengharuskannya.”
Bahkan Syekh Al-Utsaimin menganggap cinta tanah air adalah bentuk fanatisme (ta’ashub) yang harus dijauhi. Padahal, jika ditelisik secara bahasa, al-wathan bermakna tempat tinggal dan rumah, tempat di mana kita menambatkan kambing dan binatang ternak (Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab), menandakan suatu fakta empirik yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena rumah adalah kebutuhan primer.
Namun mayoritas ulama Muslim tidak menyetujui pendapat Al-Albani dan Al-Utsaimin di atas dengan menyeiringkan antara keimanan dan tanah air dan menyitir beberapa ayat dan Hadits penguat di antaranya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takutmati;makaAllah berfirman kepada mereka: “Matilah kamu”, kemudianAllahmenghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur” (Qs. Al-Baqarah: 243).
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari tempat tinggalmu,” niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalaumerekamelaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebihmenguatkan (imanmereka)” (Qs. An-Nisa 66).
Muhammad bin Ja’far mengabarkan pada kami di mana ia mendengar Anas ra berkata: Rasulullah Saw bila pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah, Ia mempercepat jalan untanya dan bila menunggang hewan lain, Ia memacunya. Abu Abdullah (Al-Bukhari) berkata: Al-Harits bin Umair menambahkan (cerita) dari Humaid: Beliau Nabi memacu (untanya) karena kecintaannya (kepada Madinah) (HR. Al-Bukhari).
Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah berkata untuk Makkah: Engkau adalah daerah yang paling indah-elok dari negeri (lain yang ada), dan engkau adalah daerah yang paling aku cintai, kalau bukan lantaran kaumkumengusirku darimu, aku tidak akan tinggal di negeri selainmu (HR. At-Tirmidzi).
Ayat dan Hadits di atas jika dikumpul-kaitkan antara satu dengan yang lain akan menjadi bukti bahwa Islam adalah petunjuk hidup yang universal, di mana ajarannya tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan adanya suatu wilayah geografis (ardhun-tanah-bumi) sebagai tempat pelaksanaannya sekaligus sebagai tempat berkumpulnya manusia, sebagaimana Syekh Muhammad Abduh yang menafsirkan surat Al-Baqarah 243 di atas sebagai bukti kebenaran hukum Allah (sunnatullah) akan kecenderungan manusia untuk berkumpul di suatu tempat, dalam kumpulan besar manusia yang dinamakan umat. Tempat tinggal atau tanah menjadi bukti eksistensi suatu umat, yang akan meruwat dan mengembangkan kemerdekaan dan kebebasannya sebagai kedua hak dasar yang diberikan Allah kepada manusia.
Muhammad Imarah, intelektual Muslim prolifik dari Mesir membuat perumpamaan, jika iman didasarkan pada fitrah (potensi dasar manusia), maka cinta tanah air juga didasarkan pada fitrah manusia yang tidak dapat dihilangkan dari manusia, tempat fitrah itu sendiri berada. Maka cinta tanah air adalah pembuktian dari dimensi fitrah yang melingkupi seluruh gerak lahir batin seorang Muslim di manapun. Hal itu bisa dilihat pada perasaan emosional Nabi sebagaimana tergambar dalam Hadits di atas, di mana beliau sangat mencintai tanah lahirnya, Mekah, namun juga tetap mencintai Madinah, tempat beliau yang baru untuk mengembangkan potensi fitrah keimanannya kepada Allah SwT. Maka mencintai dan membela tanah air adalah bagian dari keimanan seorang Muslim kepada Allah SwT, Tuhan yang menganugerahkan kepada manusia ardhun (tanah, bumi) sebagai tempat melaksanakan tugas kekhalifahan-Nya.
Wallahu a’lam bishawab.
—
Tulisan ini telah dimuat di Majalah SM Edisi 22 Tahun 2017