Oleh : Yunahar Ilyas
Menurut IbnuAbbas, sebagaimana dikutip Ibn Katsir dalam Kisah Para Nabi (hal. 409), sebagian Bani Israil ragu-ragu terhadap kematian Fir’aun, sehingga ada yang berkata bahwa Fir’aun belum mati. Maka Allah perintahkan kepada laut untuk mengangkat jasad Fir’aun, lalu jasad Fir’aun terangkat dan terdampar ke daratan masih memakai baju besi perangnya yang sudah sangat dikenal baik oleh Bani Israil dan penduduk Mesir, sehingga mereka semua yakin memang Fir’aun sudah binasa. Jasad Fir’aun yang selamat tersebut dapat menjadi bukti kekuasaan Allah baik bagi Bani Israil, penduduk Mesir dan siapapun yang datang belakangan jauh sesudah peristiwa tersebut. Peristiwa kebinasaan Fir’aun dan balatentaranya itu terjadi pada tanggal 10 Muharram atau hari ‘Asyura.
Setelah berhasil menyeberangi laut Qalzum atau laut Merah dengan mukjizat dari Allah SWT, Bani Israil meneruskan perjalanan meninggalkan daerah pantai menuju negeri yang dijanjikan. Dalam perjalanan mereka bertemu suatu kaum yang masih menyembah berhala. Melihat hal tersebut, sebagian Bani Israil langsung mengajukan permintaan kepada Nabi mereka Musa untuk membuatkan bagi mereka berhala yang sama untuk disembah. Konon berhala yang disembah oleh kaum itu berbentuk seekor sapi. Tentu saja permintaan yang bodoh ini serta merta ditolak Musa. Allah SWT berfirman:
وَجَٰوَزۡنَا بِبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱلۡبَحۡرَ فَأَتَوۡاْ عَلَىٰ قَوۡمٖ يَعۡكُفُونَ عَلَىٰٓ أَصۡنَامٖ لَّهُمۡۚ قَالُواْ يَٰمُوسَى ٱجۡعَل لَّنَآ إِلَٰهٗا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٞۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٞ تَجۡهَلُونَ ١٣٨ إِنَّ هَٰٓؤُلَآءِ مُتَبَّرٞ مَّا هُمۡ فِيهِ وَبَٰطِلٞ مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٣٩
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan.”(Q.S.Al-‘Araf 7:138-139)
Tentu saja Nabi Musa AS sangat kecewa dengan permintaan bodoh sebagian Bani Israil ini. Bayangkan, baru saja mereka diselamatkan oleh Allah SWT dari kejaran Fir’aun dengan cara yang luar biasa, kok tiba-tiba sekarang, hanya karena melihat suatu kaum menyembah berhala yang mereka pertuhan, mereka juga minta dibuatkan tuhan. Sungguh tepat apa yang dikatakan Musa, bahwa mereka belum paham hakikat Tuhan yang sebenarnya. Berhala itu hanya benda mati, tidak dapat menolak mudharat dan tidak bisa memberi manfaat sedikitpun. Berhala itu diciptakan bukan menciptakan. Justru misi Musa dan Harun dan seluruh Nabi-nabi yang diutus oleh Allah SWT adalah mengajak umat manusia untuk menyembah Allah SWT semata dan tidak mempersekutukannya dengan suatu apa pun. Penyembahan berhala itu akan dihancurkan.
Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (XVI:198), bertahun-tahun sebelum pergi meninggalkan Mesir, Musa telah mengingatkan kepada Bani Israil tentang ajaran Tauhid. Musa menjelaskan bahwa keturunan Ibrahim, Ishak dan Ya’qub bukanlah umat penyembah berhala, tetapi penyembah Allah SWT semata. Rupanya pengaruh pergaulan dengan orang-orang Qibti atau golongan Fir’aun selama 400 tahun itu belumlah hilang sama sekali. Masih banyak di kalangan Bani Israil itu yang belum juga mengerti.
Tatkala permintaan mereka ditolak habis oleh Musa, mereka terdiam, tidak menjawab lagi. Tetapi bukan berarti kebodohan itu telah habis. Terbukti nanti sepeninggal Musa yang pergi menghadap Tuhan ke bukit Thursina untuk menerima kitab suci, mereka segera terpedaya dengan Samiry dalam mempertuhankan anak lembu.
Barangkali memang waktu berada bersama Bani Israil di Mesir, Musa lebih fokus dengan tugas membebaskan Bani Israil dari Fir’aun. Waktunya tersita untuk menghadapi musuh besar yaitu Fir’aun dan para pembesarnya sehingga tidak banyak waktu untuk mendidik Bani Israil dan menanamkan aqidah yang kuat. Sehingga kaumnya mudah tergoda untuk menyimpang dari aqidah yang benar.
Bagaimana pun keadaan Bani Israil, yang jelas Musa sudah berhasil menjalankan tugas yang diberikan oleh Allah SWT di Bukit Thursina pada pertemuan pertama setelah dia meninggalkan Madyan beberapa waktu tahun yang lalu. Sekarang untuk menghadapi priode berikutnya dalam membawa Bani Israil ke negeri yang dijanjikan, Musa mengharapkan dapat bertemu kembali dengan Allah SWT untuk mendapatkan bimbingan dan petunjuk selanjutnya.
Allah SWT mengabulkan keinginan Musa dan menjanjikan kepadanya untuk memberinya kitab Taurat setelah berlalu waktu 30 malam ditambah 10 malam lagi. Alllah SWT berfirman:
۞وَوَٰعَدۡنَا مُوسَىٰ ثَلَٰثِينَ لَيۡلَةٗ وَأَتۡمَمۡنَٰهَا بِعَشۡرٖ فَتَمَّ مِيقَٰتُ رَبِّهِۦٓ أَرۡبَعِينَ لَيۡلَةٗۚ وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَٰرُونَ ٱخۡلُفۡنِي فِي قَوۡمِي وَأَصۡلِحۡ وَلَا تَتَّبِعۡ سَبِيلَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ١٤٢
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi). Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya Yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan“. (Q.S.Al-‘Araf 7: 142)
Dalam masa menunggu tiga puluh malam itu Musa berpuasa. Kemudian ditambah lagi oleh Allah sepuluh malam lagi, Musa terus berpuasa sepuluh hari lagi. Sehingga sempurna menjadi empat puluh. Sebagian mufasir menyebutkan 30 malam pertama itu selama bulan Zulqaidah dan 10 malam lagi bulan Zulhijjah. Setelah datang waktu yang dijanjikan berangkatlah Musa ke bukit Thursina.
Sebelum berangkat Musa mendelegasikan tugas memimpin Bani Israil kepada saudaranya Harun. Ada dua pesan Musa kepada saudaranya Harun. Pertama, terus menyelesaikan pekerjaan yang masih terbengkalai dalam memimpin Bani Israil menuju negeri yang dijanjikan; kedua, teguh hati dalam memimpin, jangan mudah terpengaruh apalagi dengan orang-orang yang ingin membuat kerusakan. Sepertinya Musa menyadari kelemahan Harun, yaitu tidak punya sikap tegas.
Sesampainya di bukit Thursina, musa segera menuju lembah Thuwa tempat dulu dia berbicara dengan Tuhan. Pada kedatangan yang kedua ini, Musa ingin tidak hanya sekadar berbicara, tapi kalau bisa bertemu langsung dengan Allah SWT. Lalu Musa mengajukan permohonan kepada Allah SWT untuk dapat melihat-Nya. Allah SWT berfirman:
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِيٓ أَنظُرۡ إِلَيۡكَۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِي وَلَٰكِنِ ٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡجَبَلِ فَإِنِ ٱسۡتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوۡفَ تَرَىٰنِيۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلۡجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكّٗا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقٗاۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبۡحَٰنَكَ تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٤٣
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman“. (Q.S.Al-‘Araf 7: 143)
Memang tidak ada yang bisa melihat Allah SWT secara langsung tanpa hijab di dunia ini. Nanti Nabi Muhammad SAW waktu peristiwa mi’rajpun tidak dapat melihat Allah SWT langsung, hanya bisa berbicara. Nabi Muhammad SAW hanya dapat berbicara dengan Allah SWT min wara’i hijab yang secara harfiah berarti dari balik tabir. Maksudnya hanya bisa berbicara tapi tidak bisa melihat langsung. Begitu juga yang dialami oleh Nabi Musa di lembah Thuwa bukit Thursina ini.
Musa sadar bahwa tidak mungkin dia dapat melihat Allah SWT di dunia ini. Dia tidak akan sanggup. Bukit saja tatkala Allah SWT tajalli, bukit hancur, apalagi dirinya yang lemah. Musa mengucapkan tasbih, dan memohon ampun kepada Allah SWT atas kelancangannya. Tapi semua itu didorong oleh rasa cintanya yang mendalam kepada Allah SWT. (bersambung)