Suara Muhammadiyah – Sosokya yang ramah dan murah senyum, menjadikan orang lain tak canggung untuk berbicara dengannya. Termasuk orang-orang pinggiran yang masyarakat umum memadang rendah mereka. Tanpa memandang status dan jabatan, siapa pun pasti ia sapa. Entah sekedar menebar senyum atau sedikit meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita dari mereka, yang jelas sikapnya yang terbuka dan selalu menghargai orang lain, menjadikanya mudah diterima oleh masyarakat, organisasi, lembaga, komunitas, bahkan pemeluk agama lain. Ya, itulah sepenggal gambaran tentang pribadi Tafsir (53) Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah.
Keterbukaan sikap dan pikiranya itulah yang dipandang banyak tokoh sebagai ulama’ progresif, dengan gagasan-gagasan dan ide-ide yang berkemajuan. Secara khusus, di tahun 2008, ia memperoleh penghargaan Ma’arif Award dari Ma’arif Institut sebagai sosok yang dinilai konsisten memperjuangkan ide-ide progresif di tubuh Muhammadiyah dan memiliki radius pergaulan lintas agama yang luas.
Di mata masyarakat umum atau khususnya di kalangan warga Muhammadiyah, laki-laki kelahiran Kebumen 16 Januari 1964 tersebut lebih dikenal dengan panggilan “Ustadz” atau “Kiai”. Melekatnya panggilan itu dikarenakan ia sering kali menjadi penceramah dalam forum-forum pengajian di masyarakat. Bahkan kerap kali cerahmanya ditunggu oleh berbagai pihak, selain dalam materi-materi yang ia bawakan (sebagaimana ciri pengajian di Muhammadiyah), tapi balutan humornya selalu memancing gelak tawa para jamaahnya.
Salah satu gagasan dakwahnya ialah menyapa para waria di Semarang yang tergabung dalam Perwaris (Persatuan Waria Semarang). Ia sengaja terjun ke medan dakwah nan gelap itu, karena baginya setiap manusia adalah hamba-Nya dan punya hak untuk masuk surga. Termasuk waria yang selama ini dipandang negatif, dianggap menyimpang, tidak normal, oleh sebagian besar masyarat. Alasan itulah yang menguatkan dirinya untuk peduli, menyapa, sekaligus mendengarkan keluh kesah mereka, sembari sejengkal demi sejengkal ia mengajak mereka kembali menjalankan perintah Allah, beribadah kepada-Nya.
Bersama beberapa Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), Tafsir mulai melakukan kegiatan dakwah tersebut sejak lima tahun yang lalu. Menurutnya, sedikit sekali orang yang peduli dengan waria, padahal mereka juga manusia. “Kalau waria dipandang orang yang sakit atau tidak normal, maka sebenarnya merekalah yang butuh Al-Qur’an sebagai obatnya,” ujarnya Dosen UIN Walisongo Semarang itu mempertegas gagasannya.
Dakwah harus dimaknai secara luas, membawa manusia menuju hidup baik. “Itu artinya Muhammadiyah harus juga dakwah di lorong gelap, tidak melulu di tempat yang gemerlap. Sebab di sanalah sejatinya dakwah,” imbuh Tafsir.
Dari pada berceramah atau menasihati waria, kegiatan dakwahnya justru sebaliknya lebih banyak mendengarkan semua yang mereka ceritakan. Sambil sesekali ia ajak para waria-waria itu makan bersama. Selebihnya, ia bersama AMM lebih banyak memberikan dampingan penguatan keterampilan. Seperti keterampilan kecantikan dan salon, menjahit, memasak, dan keterampilan lain yang berdaya ekonomi. “Agar tidak lagi ngamen dan menjajakan dirinya, kami arahkan mereka kepada berbagai keterampilan. Alhamdulillah sekarang ada di antara mereka yang sudah bisa buka salon kecantikan dan membuka jasa jahit,” ucapnya. (gsh)