Konsolidasi Umat dan Bangsa Pasca Pilpres

Oleh : Muhammad Azhar

Acuan Normatif tentang Kepemimpinan

Selain masalah akidah dan ibadah, isu tentang pemimpin dan kepemimpinan termasuk dua hal yang sangat urgen. Bahkan dalam tradisi Muslim Syiah, isu pemimpin dan kepemimpinan ini masuk dalam wilayah teologi politik dalam kerangka wilayah al-faqih (tim penyeleksi calon pemimpin yang dikuasai para ulama).

Adapun dalam komunitas muslim Sunni, isu kepemimpinan secara umum diurai sebagai berikut:

  1. Manusia adalah khalifah Allah (agent of God) di muka bumi. Manusia memang dipilih oleh Allah karena tidak saja memiliki kesempurnaan fisik, tetapi juga memiliki potensi akal dan rohaniah yang prima, yang menjadikan manusia paling layak menjadi agen Allah di muka bumi.
  2. Manusia pengemban amanat pemakmur bumi (SDM dan SDA). Sebagai konsekwensi logis dari “kesempurnaan” manusia yang mengungguli makhluk Allah lainnya, maka mansuia tidak hanya potensial sebagai wakil Allah, tetapi juga dituntut untuk mengaktualisasikan potensi kehalifahannya untuk pemakmuran bumi. Mengolah Sumberdaya alam yang pasivitasnya lebih tinggi dibanding manusia; sekaligus manusia diminta memimpin manusia lainnya yang tingkat aktivitasnya lebih tinggi dibanding sumberdaya alam mati lainnya. Pemenuhan amanah Allah ini juga sekaligus sebagai bentuk penghambaan (ibadah) kepada Allah, bagi kemanusiaan dan kealaman (hablum minallah, hablun minan nas, dan hablun minal alam).
  3. Setiap manusia adalah pemimpin (kullukum ra’in, wa kullukum masuulin ‘an-ra’iyyatihi). Dengan kelebihan dan kekhalifahannya, manusia memiliki tanggunjawab (responsibility) yang tinggi, untuk tetap terus berupaya menjaga keseimbangan alam dan kehidupan umat manusia, serta mewariskan yang terbaik bagi generasi yang akan datang.
  4. Tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlalah. Aspek kehalifahan, amanah dan responsibility tersebut melahirkan konsep kepemimpinan (leadership) dalam kehidupan kolektif kemanusiaan, yang diharapkan kepemimpinan tersebut bermuara kepada kemaslahatan alam dan umat manusia, sekaligus membangun peradaban yang berbasis akhlaq al-karimah. Dari konsep kepemimpinan inilah muncul terma “politik” (siyasah) yang sangat populer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  5. Berbeda dengan pandangan negatif banyak orang yang menyatakan bahwa profesi politik merupakan sesuatu yang buruk. Justeru Kepemimpinan (politik), di mata al-Ghazali, merupakan profesi yang terbaik, sebab politik sebagai medium mengatur kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
  6. Selain hak istimewa yang diperoleh manusia sebagai khalifah dan memiliki wewenang kepemimpinan politik yang tak boleh dilupakan adalah bahwa kepemimpinan politik tersebut merupakan profesi yang harus dipertanggungjawabkan di mahkamah Ilahi.
  7. Dari isu kepemimpinan politik ini muncul berbagai aliran, model dan pendekatan dalam sistem kenegaraan atau pemerintahan. Diantaranya adalah sistem demokrasi yang sangat populer dewasa ini, bahkan mulai diterima di berbagai negara Muslim. Dalam pandangan Fazlur Rahman, konsep demokrasi dengan sistem parlementer yang ada di Barat, memiliki kemiripan dengan prinsip syura dalam al-Quran.

Polarisasi Sosial

Dalam tulisannya di harian Kompas, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menguraikan beberapa poin berikut terkait dengan momentum Pileg dan Pilpres:

Sebagaimana yang terjadi di negara maju seperti: AS, Jerman, Perancis, Inggris, Australia, momen Pileg dan Pilpres di Indonesia, khususnya sejak 2014 dan 2017 (pilkada DKI), telah terjadi pembelahan di masyarakat, terutama di kalangan umat Islam, dimana pembelahan saat Pilpres lebih tinggi dibanding pileg karena Pilpres lebih mengkerucut pada dua figur: Jokowi dan Prabowo.

Menurut Mu’ti, pembelahan sosial ini banyak dipengaruhi oleh fenomena deideologisasi partai, konvergensi sosial-keagamaan, interest politik dan ekonomi, pluralitas bangsa, dll. Adapun pembelahan keagamaan tidak kalah kuat pengaruhnya,  karena menyangkut keyakinan terdalam (psikologi politik).

Adapun menurut penulis sendiri, pembelahan social ini juga disebabkan masih adanya gap antara wawasan kebangsaan dan keumatan (ummah vs citizenship), yang sampai hari ini belum tuntas. Lebih lanjut Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa pembelahan social ini juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi lewat isu: pribumi-asing, sosialis-kapitalis, alit-elite, rakyat-konglomerat.

Fenomena pembelahan ini juga seakan membangkitkan kembali dikotomi lama seperti: modernis-tradisionalis, salafi-non salafi, radikal-liberal, islamis-nasionalis, Muhammadiyah-NU, eksklusif-pluralis, dll. Lebih jauh lagi, fenomna pembelahan ini juga menimbulkan politizing Islam, sebagai kendaraan politik kekuasaan yang masing-masing saling mengambil keuntungan politik. Dalam konteks ini, dalil-dalil agama pun dijadikan alat legitimasi teologis.

Mu’ti pun menengarai adanya “Islam kaffah” (kesatuan al-Din, al-Dunya, al-Daulah) yang diwakili oleh “partai Islam”, formalisasi/Perda Syariah, hingga negara Islam, antiPancasila, yang secara umum kelompok Islam kaffah ini bersikap antirejim yang “dinilai” sekuler. Islam kaffah yang mewakili konservatisme politik ini menyatakan bahwa Islam/umat Islam dalam keadaan bahaya dan terancam. Kelompok ini aktif menggunakan media  dengan mereproduksi/kapitalisasi ortodoksi Islam (Carol Kersten, 2018). Di lain pihak muncul kelompok Islam progresif-”liberal”.

Momentum pileg dan pilkada tahun 2014, terlebih lagi tahun 2019, menimbulkan pertarungan opini, tidak hanya media mainstream maupun medsos, tetapi juga pada forum-forum pengajian dan mimbar Jumat. Kelompok konservatif “Islam kaffah” pun semakin mendapat panggung lewat aksi 414 dan 212 sebagai arena konsolidasi sekaligus sebagai “arus baru”  atau Islam alternatif, dari Islam moderat: Muhammadiyah, NU, MUI, KAHMI, ICMI dll. Fenomena kebangkitan kaum keagamaan konservatif ini juga muncul di Eropa, AS (konservatif Kristen), India (Hindu), Myanmar (Budha) dan Israel (Yahudi). Untuk Indonesia, fenomena keterbelahan masyarakat ini secara umum dipicu tiga hal: kasus Pilkada DKI 2017, pembubaran HTI serta rivalitas Jokowi-Prabowo (rematch).

Medsos turut meramaikan polarisasi ini (Michael Erbschloe, 2019: 186) dalam Extremist Propaganda in Social Media: A Threat to Homeland Security,  ada 10 alasan mengapa medsos menjadi pilihan utama dalam propaganda (blissfulness, easy to understand, laziness, repetition, familiarity, consistency, lack of knowledge, confusion, group expectation, peer pressure). Terakhir, muncul istilah “perang Badar” oleh Amien Rais dan Neno Warisman.

Dampak Pilpres

Dari fenomena keterbelahan masyarakat diatas menimbulkan dampak negatif: pertama, lahirnya kembali “sekte-sekte” Islam lama seperti: muslim tekstual diperhadakan dengan kelompok muslim liberal-progresisf; muslim syar’i versus Muslim sekuler; muncul pula pro-kontra tentang perda Syariah Kedua, tren hate speech; semakin menyebarnya isu-isu hoaks dan black campaign. Ketiga,  isu PKI, antek asing-aseng. Keempat, kembali menguatnya ketegangan antara konsep ummah dan citizenship. Kelima, elit versus alit. Keenam, fenomena politicking Islam. Ketujuh,  juga muncul upaya delegitimasi terhadap kekuasaan (seperti isu legalisasi LGBT, pelarangan azan), dan aparatnya (terutama Polri dan KPU). Kedelapan, semakin membanjirnya apa yang disebut dengan “sampah digital”, tercemarnya ruang komunikasi social karena pengaruh IT (seperti isu kafir atau non-muslim) . Kesembilan, semakin longgarnya kohesivitas sosial dan secara jangka Panjang bisa mengarah pada perpecahan bangsa. Kesepuluh, berbagai problem diatas juga diramaikan dengan kasus-kasus korupsi yang masih saja melanda Indonesia.

Solusi Pasca Pilpres

  1. Sejalan dengan uraian diawal tulisan ini, bahwa masalah kepimpinan politik sudah merupakan sunnah social yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan umat manusia. Dengan demikian, kepemimpinan politik merupakan suatu keharusan universal sekaligus lokal (local wisdom) keindonesiaan. Dengan demikian, segenap warga bangsa, khususnya umat Islam, Indonesia harus menerima dengan lapang serta keluasan pikiran, tentang urgensi dari sistem politik, termasuk dalam masalah yang paling krusial: suksesi kepemimpinan (tingkat lokal hingga nasional).
  2. Berbasis pada fakta sunnah sosial dimaksud, maka segenap warga bangsa dan umat Islam, wajib menjadikan momen suksesi kepemimpinan (termasuk Pilpres) sebagai suatu momentum reformasi (tajdid) untuk upaya perbaikan yang serius, demi membangun peradaban bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi, dari apa yang sudah diraih dewasa ini.
  3. Dengan demikian, momen suksesi kepemimpinan harus dimaknai sebagai sesuatu yang natural, dan juga harus disikapi secara wajar dan natural pula. Agar berbagai input, aturan main, proses dan hasil suksesi kepemimpinan (Pileg/Pilpres) bisa berjalan secara masksimal, sesuai dengan tingkat peradaban politik sebagaimana yang sudah diputuskan oleh parlemen/DPR. Sebagai produk kemanusiaan, sistem pileg dan pilpres merupakan proses pematangan peradaban bangsa Indonesia yang secara kritis-transformatif harus terus direvisi secara positif dan berkelanjutan.
  4. Secara khusus, dalam perspektif “ideologi” kemuhammadiyahan, proses pileg dan pilpres termasuk dalam wilayah “mu’amalah duniawiyah”, bukan akidah atau ibadah mahdlah (lihat: Masalah Lima dan Keputusan Muktamar Muhammadiyah Jakarta, 2000). Politik, juga pilpres, merupakan wilayah muamalah duniawiyah yang di dalamnya “manusia memiliki kekuasaan untuk mengembangkan sistem dan berpartisipasi, sepanjang tidak bertentangan nilai-nilai Islam” (Manhaj Gerakan Muhammadiyah, 2013).
  5. Umat Islam harus memahami bahwa masalah politik dalam Islam merupakan prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan akhlak berpolitik, bukan bentuk negara, partai, sistem politik.
  6. Presiden merupakan jabatan yang penting, tetapi bukan segala-galanya. Kekuasaan presiden terbatas. Masa jabatan, kewenangan dan kinerjanya dibatasi Konstitusi dan diawasi DPR. Presiden tidak kebal hukum dan berkuasa mutlak. Kekuasaan Presiden berbagi dengan legislatif-yudikatif.
  7. Polarisasi politik ada manfaatnya juga yakni “meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perdebatan penting dan isu-isu publik. (James Q. Wilson, 2005: 58). Tetapi jika polarisasi berlarut-larut, bisa berdampak pda terganggunya pelaksanaan program pemerintah dan melupakan cita-cita bersama dalam bernegara
  8. Kuntowijoyo keberatan dengan berdirinya partai-partai Islam karena bisa mengakibatkan: terhentinya mobilitas social, disintegrasi umat, umat menjadi miopis, pemiskinan, runtuhnya proliferasi, dan alienasi generasi muda.
  9. Pilpres sebagai ajang ikhtiar memilih pemimpin terbaik dengan menghormati aturan main, mengutamakan persatuan bangsa diatas kehendak kekuasaan. Dalam Islam, sesuatu yang baik (al-khair) harus diaraih dengan cara yang baik (al-ma’ruf) pula. Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara.
  10. Mengingat maraknya berbagai bentuk kecurangan, terutama dipicu oleh medsos, serta banyaknya korban petugas TPS/KPPS, maka UU pemilu perlu dievaluasi, agar Pileg dan Pilpres dibuat secara terpisah (pilkada, DPRD kabupaten dan propinsi) serta (pilpres, DPR dan DPD).
  11. Perlu dikaji secara lebih akademis bahwa sejak 2024, jabatan Presiden cukup satu perioe saja dengan masa jabatan selama tujuh tahun.
  12. Pemilu 2024 juga sudah bisa menggunakan sistem e-voting dengan dimulai secara terbatas dulu yakni di daerah pemilihan yang kesiapan IT-nya sudah cukup memadai. Sedangkan di tempat-tempat yang sarana IT-nya belum memadai bisa menggunakan cara pemilihan manual.

Wallahu a’lam bisshawab.


Muhammad Azhar, Dosen FAI-Pascasarjana UMY, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Exit mobile version