YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, mengadakan Pelatihan Pendidikan Anti Korupsi bagi Pimpinan Pengelola Pendidikan Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Kegiatan ini dilangsungkan pada 2 Mei 2019, di Kantor PP Muhammadiyah, Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta.
Direktur Pendidikan Pelayanan Masyarakat KPK RI, Giri Suprapdiono menyampaikan bahwa agenda pemberantasan korupsi merupakan kerja yang membutuhkan kolektivitas. Dalam hal ini, pelibatan organisasi kemasyarakatan untuk mengawal kerja pemberantasan korupsi, mutlak dibutuhkan. Muhammadiyah termasuk salah satu kekuatan yang bisa dimaksimalkan dalam agenda pemberantasan korupsi. “Muhammadiyah dan KPK merupakan partner yang konsisten dalam kerja pemberantasan korupsi,” tuturnya.
Menurutnya, potensi korupsi di Indonesia dalam berbagai sektor masih terus ada. Beberapa kebijakan juga berpotensi menumbuhkan bibit kesempatan bagi penyalahgunaan anggaran negara, semisal dalam kebijakan otonomi daerah. Oleh karena banyaknya varian sektor yang berpotensi untuk tindak korupsi, KPK membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan Muhammadiyah dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Giri menyatakan bahwa pendidikan antikorupsi yang utama adalah menanamkan nilai integritas dan kejujuran pada diri sendiri sejak dini. “Praktik korupsi dimulai karena pelaku membohongi diri dia sendiri, maka dari itu tergiur untuk berbuat korupsi,” katanya.
Ketua PP Muhammadiyah bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, Busyro Muqqodas menyambut baik gagasan ini. Menurutnya, Muhammadiyah memiliki modal besar jika terlibat dalam agenda mulia ini. Modal tersebut, misalnya, terdapat pada budaya egaliter di tubuh Muhammadiyah. Sikap ini diperlukan karena kerja pemberantasan korupsi tidak membedakan kelas sosial. “Sikap egaliter yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan KPK merupakan perpaduan yang cocok jika disatukan untuk pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Busyro yang pernah menjabat sebagai Ketua KPK ini menyadari kondisi bangsa Indonesia yang rentan dengan berbagai perilaku penyimpangan. Menurutnya, saat ini telah terjadi perilaku demokratisasi korupsi, bahwa perilaku korupsi sudah semakin merakyat. Bahkan publik terkadang sudah memberi sikap pemakluman. “Saat ini, rakyat yang anti korupsi, yang menolak suap, justru dianggap aneh. Karena hal ini merupakan implikasi dari pemerakyatan budaya korupsi,” katanya.
Menurutnya, upaya pemakluman terhadap tindakan korupsi oleh para aktor intelektual semakin gencar dilakukan, terlebih oleh mereka yang terindikasi melakukan kejahatan korupsi. Sikap ini akan menjadi banalitas terhadap korupsi. Seolah korupsi adalah tindakan wajar. Intelektual yang memegang jabatan tertentu mencipta sebuah absurditas intelektual. Oleh karena itu, pendidikan dan strategi pemberantasan korupsi harus lebih diperkuat.
Narasumber lainnya yang diundang dalam kegiatan ini adalah dari Pusat Kajian Antikorupsi UGM: Oce Madril dan Hasrul Halili. Pelatihan ini diikuti oleh para Dekan Fakultas Hukum atau yang mewakili dari 27 Perguruan Tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia. (ribas/ppm/kpk)