Pengantar Umum Haedar Nashir dalam Konsolidasi Nasional Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengadakan Konsolidasi Nasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada Rabu, 8 Mei 2019. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia.

Dalam pengantarnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan beberapa poin terkait dengan dinamika keumatan dan kebangsaan kontemporer.

Pertama, tentang dinamika pemikiran. Pasca reformasi, kata Haedar, berbagai paham pemikiran tumbuh dan berdiaspora. Ini menjadi arus baru yang tidak bisa kita cegah. Sebagian mereka masuk ke organisasi arus utama, termasuk Muhammadiyah. “Di satu sisi, kita harus menjaga ukhwah. Namun di sisi lain, bagaimana penguatan paham keislaman dan nilai-nilai ideologis kita di tengah situasi ini perlu diperhatikan,” tuturnya.
Menurutnya, para pimpinan perlu mempertanyakan kembali seberapa jauh nilai-nilai fundamental bisa membingkai dan memberi warna bagi kehidupan bersama.

Kedua, dalam bidang organisasi. Haedar mengingatkan tentang perlunya menjaga kuantitas dan kualitas. Basis massa para anggota Muhammadiyah perlu dijaga dan diberdayakan.

Ketiga, kaderisasi dalam semua bidang: ekonomi, politik, kecendekiawanan. Haedar memandang bahwa kebutuhan sumber daya manusia untuk ke dalam dan ke luar semakin bertambah. Kader di semua bidang harus terus diperkuat menjadi kader yang ideologis dan profesional. Oleh karena itu, pembinaan perlu dilakukan sejak dari hulu.

Keempat, tabligh di media sosial. Belantara ruang sosial baru ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, Muhammadiyah perlu mengisi ruang sosial berbasis patembayan ini. “Perlu ada rancang bangun dalam bidang dakwah komunitas ini, terutama komunitas virtual,” ujar Haedar.

Kelima, penguatan gerakan jamaah dan dakwah jamaah. GJDJ ini sudah menjadi komitmen dan terobosan Muhammadiyah sejak tahun 1969, sehingga semakin banyak yang merasakan manfaat dari kehadiran Muhammadiyah.

Tanfidz GJDJ termuat dalam keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-39, tertanggal 29 Muharam 1395/10 Februari 1975, ditandatangani HM. Djindar Tamimy dan H Djarnawi Hadikusuma. Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah ialah suatu usaha Persyarikatan Muhammadiyah melalui anggotanya yang tersebar di seluruh tanah air untuk secara serempak teratur dan berencana meningkatkan keaktifannya dalam membina lingkungannya ke arah kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.

Keenam, amal usaha Muhammadiyah. Haedar melihat kualitas amal usaha masih menunjukkan disparitas yang tinggi. AUM yang berkualitas mulai banyak, namun AUM yang berada di level menengah dan bawah juga masih banyak. Kekuatan Muhammadiyah, tumbuh berdiaspora dari bawah, namun kualitasnya harus dibangun dengan jejaring yang kuat dari samping, saling memberdayakan antar AUM. “Keseksamaan kita ke depan lebih penting,” ungkapnya.

Ketujuh, dinamika pertumbuhan gerakan di masing-masing daerah. Haedar mengajak semua pimpinan untuk saling bergandeng tangan dalam menggerakkan organisasi. Pengalaman kita sangat kompleks. Kekuatan Muhammadiyah justru ada di ranting dan cabang. LPCR membantu kita membaca realitas cabang dan ranting, dan tugas kita semua untuk mendinamisasi Muhammadiyah di seluruh Indonesia.

Dalam dinamika keumatan, kata Haedar, Muhammadiyah perlu menjadi solusi. Belakangan tumbuh ghirah kolektivitas beragama dan semangat untuk menunjukkan identitas masing-masing. Semangat beragama ini harus dibingkai oleh Muhammadiyah.
Dalam bidang politik, Haedar berharap politik Islam ke depan harus dirancang menjadi kekuatan dan sekaligus berwatak tengahan. “Muhammadiyah harus menawarkan rancangan yang konstruktif,” katanya.

Dalam bidang ekonomi, Muhammadiyah harus ikut memikirkan supaya umat tidak lagi dhuafa.

Dalam corak keislaman, Haedar mengingatkan supaya Islam Indonesia perlu diisi. Moderasi Islam perlu dibuktikan dalam ruang publik.

Dalam menyikapi hasil pemilu, ungkap Haedar, Muhammadiyah harus menerima apapun hasil dengan lapang dada dan siap bekerjasama dengan siapapun yang terpilih secara konstitusional. Muhammadiyah harus menjadi kekuatan yang berjiwa besar untuk menjadi jembatan bagi semua golongan. Peran ini tidak mudah, namun harus diusahakan. “Sekali konflik terjadi, susah untuk merekatkan kembali keutuhan. Muhammadiyah perlu menjadi contoh dalam merekat kebersamaan. Kita tidak bisa berdakwah, jika negeri ini terpecah belah,” ujar Haedar.

Terakhir, Haedar mengajak para pimpinan untuk mematangkan dan mensosialisasi hasil resmi organisasi, terutama dalam konsep berbangsa dan bernegara. Tiga dokumen resmi Muhammadiyah perlu dipahami dan diterjemahkan ulang: Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa (2009), Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan Yang Bermakna (2015), dan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa al-Syahadah (2015). Perguruan Tinggi Muhammadiyah diharapkan ikut serta menerjemahkan konsep-konsep dari tataran filosofis, epistemologis, aksiologis, hingga ke ranah praksis. (ribas)

Exit mobile version