YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Guru Besar Filsafat Universitas Muhammadiyah Surakarta, Musa Asy’arie menyatakan bahwa berakal menjadi landasan dan prasyarat seluruh laku kehidupan manusia. Hal itu disampaikan dalam Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah tahun 2019 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada Kamis, 9 Mei 2019. Menurutnya, berakal bukan hanya berpikir, namun berpikir dengan hati.
Ulul albab yang disebut dalam Al-Qur’an bukan hanya pengembangan rasio, namun hati. “Berakal sebagai landasan dan prasyarat beribadah dan beramal. Dalam beribadah disyaratkan adanya kesadaran berakal. Beramal tidak akan ada nilainya tanpa kesadaran berakal,” ujar Musa.
Hal itulah yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad yang memiliki sifat fathanah. Misalkan, berupa kecerdasan nabi menyelesaikan permasalahan hajar aswad. Nabi mampu menyelesaikan masalah masyarakat di usia yang masih muda. “Ketika itu wahyu belum turun. Nabi cerdas, menyelamatkan orang dari pertumpahan darah,” ulas mantan rektor UIN Sunan Kalijaga itu.
“Menyelesaikan masalah itu lahir dari kecerdasan membaca realitas,” ungkapnya. Nabi mencontohkan tentang pentingnya kecerdasan itu. Kecerdasan yang tidak hanya berpusat di otak, namun bersemanyam di hati. Jika tidak, maka kecerdasan otak hanya akan melahirkan orang yang tidak berintegritas dan tidak bermoral.
Kecerdasan yang berpusat di hati inilah yang menentukan kualitas suatu umat. “Keruntuhan sebuah masyarakat ditentukan oleh struktur teologinya. Ketika masyarakat rusak, yang dirubah dimensi teologinya. Karena ini mendasari dimensi lainnya,” ujar Musa.
Menurutnya, upaya untuk mengubah masyarakat dimulai dari pembersihan hati atau tazkiyah. Dinyatakan dalam Qs. 2: 151, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Kekacauan berpikir kita dimulai karena tidak dimulai dari kebersihan hati. Seharusnya kita kembali mencontohteladani Nabi sebagai uswah hasanah. “Meniru nabi yang fundamental adalah meniru nabi dalam cara berpikir. Meniru nabi dalam cara makan atau berpakaian itu boleh, tapi bukan yang utama,” ulasnya. (ribas)