YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang Prof Syamsul Arifin menangkap fenomena baru dalam corak keberagamaan di Indonesia. Belakangan ini, di mana-mana muncul kesemarakan dalam beragama.
“Ada kegairahan dan kesemarakan dalam beragama. Ruang-ruang publik memberi kenyamanan beribadah,” tuturnya dalam Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada Kamis, 9 Mei 2019. Peningkatan ghirah keagamaan salah satunya disebabkan oleh peningkatan kemakmuran yang menyebabkan orang tergerak untuk memenuhi kebutuhan lainnya, termasuk kebutuhan agama.
Jika dahulu terjadi sekularisasi agama dan politik, sekarang terjadi deprivitasi agama. Ini menjadi fenomena global. “Terjadi peningkatan jumlah pemeluk agama, tapi di sisi lain (selain AS dan Perancis) terjadi penurunan pemeluk ateis. Populasi umat Islam semakin bertambah,” ujarnya.
Di saat munculnya semarak beragama, Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini mempertanyakan apakah kemudian agama mampu memberi solusi bagi kemanusiaan. Poin kedua Risalah Pencerahan menyatakan, “Beragama yang mencerahkan ialah menghadirkan risalah agama untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural.”
Permasalahan kemanusiaan kontemporer semakin kompleks. Syamsul melihat semisal kehadiran robot dengan kemampuan artificial intelligence, telah mampu mengambil alih banyak pekerjaan manusia. Dalam batas tertentu terjadi krisis kemanusiaan yang disebut dengan era disrupsi. “Manusia ini sudah melakukan peran yang biasa dilakukan oleh Tuhan. Bagaimana kita memberi makna bagi kehidupan?” ujarnya.
Namun, di balik kemajuan di era revolusi 4.0 ini, bukan berarti tidak ada masalah. “Kita maju, tapi ada persoalan fundamental dalam relasi kita dengan tuhan, dengan sesama manusia, dengan lingkungan,” ulasnya.
Menggunakan bahasa Peter L Berger, agama itu menjadi the sacred canopy. Dua fungsi kanopi/agama adalah, pertama, fungsi estetika, agama punya fungsi memperindah, melalui perilaku kita. Orang beragama harus memiliki keindahan laku yang disukai orang lain. Kedua, fungsi protektif, agama harus punya fungsi melindungi kita. Agama juga sebagai fungsi perekat sosial.
Agama dalam pandangan Soekarno memiliki makna instrinsik dan makna kulit luar. Dalam hal ini, Islam sebagai agama pencerahan harus bisa memenuhi kedua makna tersebut, terutama makna intrinsiknya.
“Kesemarakan agama sekarang masih dalam tataran artificial dan itu bisa dikapitalisasi untuk kepentingan tertentu,” ujarnya. Syamsul melihat semisal digunakannya isu agama dalam politik. Seperti halnya dramaturgi, yang mengisahkan tentang perbedaan polesan panggung depan dan belakang demi kepentingan penampilan. Apa yang ditampilkan di panggung depan telah dihias sedemikian rupa, termasuk dengan baju agama. Dalam suasana ini terjadi banalitas nilai.
Pada akhirnya, agama yang dipolitisasi dan dikomodifikasi, menjelma sebagai agama yang tidak lagi mengikat kohesivitas. “Ikhtilaf (perbedaan pendapat) harusnya menjadi rahmat, tapi sekarang ikhtilaf menjadi iftiraq (perpecahan),” ulasnya. Hal ini patut disayangkan dan tidak sesuai dengan Islam sebagai agama rahmat.
Dalam situasi ini, dibutuhkan ideologisasi risalah pencerahan supaya mengkristal dalam kehidupan sehari-hari segenap warga Muhammadiyah. Syamsul pernah meneliti tentang ideologi salah satu gerakan Islam transnasional yang mendarah daging, melekat dalam kepala dan hati, menjadi kurikulum yang hidup. “Nilai itu tidak bisa diajarkan, tapi ditangkap. Keteladanan tidak bisa digantikan oleh artificial intelligence,” tukas Syamsul Arifin. (ribas)