YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Survei nasional yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research Center (SMRC) Januari 2019 mengungkapkan bahwa responden yang mengaku berafiliasi kepada Muhammadiyah hanya 3,7%, 44% berafiliasi dengan NU dan 50,4% tidak berafiliasi dengan ormas Islam manapun. Sedang sisanya 0,8% tidak menjawab. Hal ini diungkapkan Paryanto Anggota Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah pada sesi Kajian Ideologi Perkaderan Pengajian Ramadhan 1440 H di UMY Yogyakarta, Jum’at (10/05).
Survei itu memang dilakukan dalam waktu singkat, yaitu mulai tanggal 24 sampai 31 Januari 2019. Namun kata Paryanto, hal ini bisa dijadikan tolak ukur terhadap proses kaderisasi yang dilakukan oleh persyarikatan Muhammadiyah.
Menurutnya, bagaimana angka survei bisa muncul demikian sedang Muhammadiyah memiliki ribuan amal usaha. Lihat, sebutnya, Muhammadiyah memiliki 4.623 TK/TPQ, 2.604 SD/MI, 1.772 SMP/Mts, 1.143 SMA/SMK/MA, 67 pondok pesantren, 172 perguruan tinggi, 457 rumah sakit, 318 panti asuhan, 54 panti jompo, 82 rehabilitasi cacat, 72 SLB, 6.118 masjid, 5000 mushalla, dan 20.945.504 m2 tanah.
“Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa besarnya capaian Muhammadiyah ini belum berbanding lurus dengan kuatnya pengaruh Muhammadiyah, khususnya meyakinkan orang untuk berafiliasi dengan Muhammadiyah,” tanyanya.
Tantangan lain, Paryanto melanjutkan, adalah menjamurnya paham keagamaan alternatif yang ditandai dengan lahirnya gerakan 411 hingga reuni 212 dalam wadah GNPF-MUI. Menurutnya, gerakan ini tak pelak telah menjadi saluran nyata aspirasi umat yang sebelumnya tersumbat. “Maka saya katakan, hadirnya GNPF-MUI adalah bentuk nyata kritik atas corak keagamaan yang sudah lama berkembang seperti Muhammadiyah,” terang Paryanto.
Fenomena meningkatnya jumlah penduduk muslim dunia, sambungnya, juga akan menjadi masalah yang serius bagi keberlangsungan organisasi Muhammadiyah. Di satu sisi bangga karena jumlah terus bertambah, di sisi lain khawatir karena pertumbuhan itu tak sebanding dengan peningkatan kualitas individu.
“Berbagai tantangan ini menguatkan akan pentingnya reaksentuasi empat pilar perkaderan Muhammadiyah,” tegas Paryanto.
Empat pilar perkaderan meliputi, Keluarga, AMM dan Ortom, AUM, dan Pimpinan.
Setidaknya, Paryanto melanjutkan, ada tiga hal untuk mewujudkan proses reaksentuasi perkaderan berbasis paradigma berkemajuan. Pertama, reaksentuasi filosofi dan paradigma perkaderan, sebagai dasar penguatan dan penanaman ideologi Persyarikatan.
Kedua, implementasi dan pentradisian perkaderan. Baginya, perkaderan tidak cukup sekedar jalan atau dijalankan, tapi juga perlu dibudayakan. “Untuk membudayakan ini, tentu dibutuhkan simultan dan sinergi antar keempat pilar,” jelas Paryanto.
Ketiga, pengayaan instrumen perkaderan. Sebab zaman terus berubah, dan sekarang sudah memasuki era milenial, karenanya instrumen perkaderan harus di-update. (gsh/riski)