YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1440 H/2019 M mengusung tema: Risalah Pencerahan dalam Kehidupan Keumatan dan Kebangsaan. Pengajian yang diikuti oleh pimpinan wilayah Muhammadiyah se-Indonesia ini dibuka oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pada Kamis, 9 Mei 2019. Pengajian Ramadhan tahun ke-37 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta kali ini mengelaborasi pemahaman Risalah Pencerahan berdasarkan pada tinjauan teologis, ideologis, dan praksis.
Ketua Umum PP Muhammadiyah berharap supaya khazanah pemikiran dan dokumen resmi yang dikembangkan oleh Muhammadiyah, mampu menjadi pemahaman kolektif yang membingkai kehidupan keumatan, kebangsaan, global, dan kemanusiaan universal. “Muhammadiyah itu salah satu organisasi yang kaya akan konsep-konsep pemikiran yang berakar dari Kiai Ahmad Dahlan,” tuturnya.
Sejak awal, kata Haedar, meskipun pendiri Muhammadiyah tidak banyak menulis, ada beberapa gagasan genuine Kiai Dahlan yang bisa ditemukan dan menjadi kerangka penting dalam memahami ideologi Muhammadiyah, semisal teks pidato “Kesatuan Hidup Manusia” (terjemahan Abdul Munir Mulkhan) dan 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an.
Sepeninggal Kiai Dahlan, rumusan tentang pemikiran dan ijtihad Muhammadiyah berlanjut dan mengalami proses pematangan secara berkelanjutan. Pada tahun 1927, Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih, sebuah lembaga yang bertujuan untuk menggali dan merekonstruksi paham keagamaan.
Tahun 1938, ungkap Haedar, Muhammadiyah merintis rumusan al-masail al-khamsah, berisi tentang lima pandangan mendasar tentang ajaran Islam menurut pandangan Muhammadiyah, berupa konsep tentang: agama, dunia, ibadah, sabilillah, dan qiyas (ijtihad). Al-masail al-khamsah disempurnakan pada tahun 1954/1955.
Tentang pemikiran ideologi Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang dirumuskan tahun 1946, sudah memunculkan diksi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tahun 1969, lahir Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Keseluruhan rumusan ideologi Muhammadiyah berlandasakan pada Islam sebagai sumber dan pusat orientasi gerakan.
Dalam aspek strategi perjuangan, dirumuskan Khittah Muhammadiyah tahun 1969, 1971, 1978, dan 2002. Dalam Khittah 2002, disebutkan bahwa perkara politik merupakan al-umur al-dunyawiyah yang harus diurus dengan baik berdasar akhlak islami. Muhammadiyah menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai; memainkan peran politik kebangsaan melalui fungsi kelompok kepentingan (interest group), memainkan opini, lobi, dan sebagainya secara elegan dan sesuai dengan kepribadian Muhammadiyah
Ada juga pemikiran resmi lainnya yang bersifat ideologis, berupa Dua Belas Langkah Muhammadiyah (1938), Kepribadian Muhammadiyah (1962), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (2005), dan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua tahun 2010 yang menegaskan bahwa gerakan pencerahan sebagai strategi abad kedua.
Pada tahun 2015, ungkap Haedar, Muhammadiyah merumuskan tiga dokumen penting, berupa Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa al-Syahadah, Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna, dan Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.
Warga Muhammadiyah memiliki khazanah yang utuh. “Semuanya lengkap dari hal-hal yang menyangkut paham agama, kebangsaan, hingga hal-hal terkait pandangan kemanusiaan universal. Ini harus dikaji kembali sebagai salah satu mata rantai sejak KH Ahmad Dahlan hingga saat ini,” ujarnya.
Pemahaman ini menjaga Muhammadiyah supaya tidak gamang dalam menghadapi realitas. “Sering organisasi mengalami peluruhan nilai, stagnasi, dan disorientasi pimpinannya,” ungkapnya. Dalam hal ini, organisasi seperti Muhammadiyah yang kaya akan khazanah ideologi seharusnya mampu untuk bertahan. Pemikiran itu menjadi karakter Muhammadiyah yang meskipun punya kesamaan dengan gerakan Islam lain, namun ada kekhasan Muhammadiyah yang berbeda dengan paham lainnya.
Memasuki abad kedua, Muhammadiyah menitikberatkan agenda pencerahan. “Pencerahan menjadi diksi memulai abad kedua, karena punya dasar dari institusi tanwir, sebagai matarantai dari apa yang dipelopori KH Ahmad Dahlan yang dulu menggunakan kata kemajuan,” ulasnya. Tanwir juga berupa sebuah transformasi menuju kemajuan. Memasuki fase baru abad kedua, boleh jadi ada banyak yang berubah dan belum tercover oleh generasi awal, oleh karena itu dibutuhkan produk ijtihad baru yang mencerahkan.
Kata pencerahan diambil dari kata tanwir, dikodifikasi dari sidang Tanwir sejak tahun 1931 di Banjarmasin. Menurut Haedar, kata ini memiliki makna: (1) nur, dari kata nawwara-yunawwiru-tanwiran, bermakna cahaya, (2) nar, artinya api yang memercikkan cahaya, dan (3) rakyu, bermakna akal pemikiran.
Pencerahan Muhammadiyah dalam konteks gerakan, teologis, dan ideologis memiliki landasan pada Islam sebagai agama peradaban. “Frase awal disebut Islam sebagai din al-tanwir (agama pencerahan). Ada 48 kata dalam Al-Qur’an yang mengambil kata dari nur dan turunannya,” ujar Haedar. Dari sini, karya tafsir al-Qur’an Majelis Tarjih dinamakan Tafsir At-Tanwir.
Haedar juga mengkritik tentang pendistorsian makna tajdid. “Ada sesuatu yang terpenggal ketika menjelaskan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, terdistorsi bahwa pembaharuan adalah pemurnian. Padahal ketika KH Ahmad Dahlan melakukan pembaharuan, maka Kiai Dahlan melakukan pemurnian dan pembaharuan. Sejak tahun 2000 kita perbuat dimensi dinaminasi, menjadi bagian utuh dari dua sayap tajdid: purifikasi dan dinaminasi,” katanya. Hanya dengan ini, Muhammadiyah mampu mengaktualkan diri dalam konteks kekinian.
Majelis Tarjih memahami agama dengan menggunakan pendekatan bayani, burhani, irfani. Dalam prakteknya, pendekatan ini telah dimulai oleh Kiai Dahlan. Haedar mencontohkan ketika Kiai Dahlan merekonstruksi pemahaman Qs Al-Ma’un. “Ratusan tahun orang membaca al-Ma’un, namun tidak menghasilkan sesuatu. Kiai Dahlan secara orisinil menemukan teologi pembebasan al-Ma’un,” tukasnya.
Mantan Menteri Agama RI Mukti Ali menyatakan bahwa di antara kekhasan pemikiran Dahlan dibanding dengan gerakan pembaharuan lainnya terletak pada aspek gerakan perempuan Islam di ruang publik dan institusionalisasi al-Ma’un untuk pemberdayaan mustadlafin.
Haedar menekankan bahwa kita punya konteks sejarah ketika Islam dalam perjuangan Rasulullah menghasilkan din al-tanwir, dari masyarakat jahiliah menjadi masyarakat madinah al-munawwarah (kota peradaban yang tercerahkan). Peran pencerahan disebutkan dalam Qur’an sebagai upaya takhrij min al-dzulumat ila al-nur (mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya).
“Dari jahiliah menjadi bangsa yang berperadaban, dari bangsa yang berniaga secara ribawi menjadi berniaga secara halalan thayyiban, dari masyarakat yang bercerai berai menjadi bangsa yang bersatu,” ulasnya. Tidak hanya itu, Nabi berhasil mengubah pandangan tentang status sosial, bahwa kemuliaan manusia ditentukan oleh faktor takwa, bukan karena alasan kesukuan.
Dari sini muncul kemajuan peradaban Islam hingga berabad lamanya. “Jadi sesungguhnya kita punya sejarah peradaban yang lengkap dan besar, agar tidak melahirkan pribadi yang miopik, yang mengkerangkeng diri. Mentalitas ini penting agar kita menjadi khairu ummah yang bisa hidup di zaman baru,” ungkapnya.
Haedar menyatakan bahwa konteks pencerahan yang diusung Muhammadiyah berbeda dengan pencerahan yang berkembang di Barat. Eropa pernah mengalami masa kelam ketika gereja memasung kemajuan, dinamakan era kegelapan. Semangat perlawanan pada otoritas agama ini melahirkan pencerahan atau aufklarung. Pencerahan di Barat lahir dari era ketika gereja menjadi belenggu, beralih menuju gerakan pembebasan yang tanpa batas, melahirkan gerakan humanisme sekuler. Lalu, agama dianggap sebagai masa lampau dan ditinggalkan, beralih ke ilmu pengetahuan secara ekstrem.
Pencerahan yang terjadi di Barat masih menyisakan masalah dan meluruhkan aspek ketuhanan. Kiai Dahlan mengambil metode dari Barat, namun mengkontekstualisasikan dengan rujukan al-Quran dan Sunnah. Deliar Noer melihat gerakan Islam modern ini mengambil peran penting dalam pembaharuan pemikiran di Indonesia. Charles Kurzman sampai menyebut Kiai Dahlan sebagai pelopor Islam liberal.
Dalam perkembangan mutakhir menjelang reformasi, Haedar melihat gejala tumbuhnya neomodernisme dan neotradisionalisme. Peta dan arus gerakan pemikiran berubah. Neotradisionalisme yang menguasai khazanah tradisi atau turas, kini mulai berani berpikir maju yang melampaui kaum modernis. Neotradisionalisme Islam kini tampil progressif dan sampai batas tertentu menjadi liberal, malah sering diidentikkan Islam liberal. Sementara neomodernisme Islam justru gagap membaca realita dan menjadi kaku, serta mengalami kemandekan dalam pemikiran, sehingga sering reaksioner. Di sinilah pentingnya Muhamammadiyah sebagai pelopor modernisme Islam bangkit kembali melakukan gerakan pencerahan untuk menampilkan pembaruan Islam abad kedua yang bertumpu pada purifikasi dan dinamisasi yang lebih kaya, dengan memadukan pendekatan bayani, burhani, dan irfani, guna menampilkan Islam Berkemajuan yang lebih progresif menghadapi dunia posmodern abad kedua.
Sisi lain, agenda pencerahan menjadi penting karena masyarakat hari ini mengalami euforia, semangat, dan kerinduan pada agama. Masyarakat haus akan nilai-nilai agama yang meneguhkan. “Bisakah kita lebih maju lagi dalam menjawab kebutuhan umat yang kembali ke agama yang memberi keteduhan dan sekaligus memberi kepastian atau pencerahan dalam menghadapi masa depan. Dalam konteks ini, kita membutuhkan api pencerahan Kiai Dahlan,” ulas Haedar Nashir. (ribas)
Baca juga:
Risalah Pencerahan Tanwir Muhammadiyah Bengkulu
Rekomendasi Tanwir Muhammadiyah di Kota Bengkulu
Praktik Beragama yang Mencerahkan
Haedar Nashir: Gerak Muhammadiyah Membawa Misi Nabi Muhammad, Menyebarkan Risalah Islam