YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra memiliki pandangan tersendiri tentang Islam Indonesia dan peranan Muhammadiyah di dalamnya. Bangsa Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar dianggap memiliki posisi strategis untuk mewakili wajah dunia Islam yang disebut the smiling and colorful Islam. Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan organisasi massa Islam terbesar di dunia memikul tanggung jawab untuk membuktikan bahwa Islam sebagai risalah pencerahan, mampu menjadi agama yang mendorong pada kemajuan.
Menurutnya, salah satu kelemahan umat Islam selama ini adalah sering terbelenggu oleh sejarah masa silam. “Dari sudut orientasi, kembali ke belakang: al-ruju ila al-Quran wa al-sunnah (yang biasanya diiringi dengan pemahaman salaf al-shalih)” tuturnya. Namun, Azra melihat hal berbeda pada manhaj Muhammadiyah. Pemahaman al-ruju ila al-Quran wa al-Sunnah dipahami dengan seperangkat manhaj tarjih. “Kembali kepada Qur’an dan Sunnah dengan membangkitkan imajinasi kreatif,” ujarnya dalam Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah di UMY, pada 10 Mei 2019.
Menurut mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah ini, pandangan maju Muhammadiyah dalam hal ini telah menghasilkan buah karya kelembagaan modern dalam berbagai bidang: pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi. Al-ruju ila al-Qur’an wa al-Sunnah oleh Muhammadiyah justru menghasilkan kemajuan. Hal ini perlu dipahami oleh segenap warga Muhammadiyah di masa sekarang.
Saat ini, orang secara mandiri bisa belajar tentang apa pun di internet, tidak mau peduli pada kepakaran ataupun tradisi organisasi. “Praksis Muhammadiyah pada tahun 1980-an, tidaklah berat seperti sekarang. Dulu, risalah pencerahan tidak terlalu menghadapi tantangan. Sekarang, ada tantangan post truth. Fenomena post truth menyebabkan disrupsi yang membuat banyak anak-anak muda Muhammadiyah tidak paham lagi ideologi dan paham Muhammadiyah,” tuturnya. Oleh karena itu, kata Azra, Muhammadiyah perlu melakukan konsolidasi alam pemikiran dalam menghadapi tantangan internal dan eksternal yang memengaruhi dinamika umat Islam.
Terkait dengan kondisi kebangsaan, Azyumardi Azra melihat bahwa sistem demokrasi yang diterapkan dalam tata penyelenggaraan negara di Indonesia sudah lumayan baik. “Demokrasi punya limit, tidak sempurna, namun paling sedikit mudharatnya dibandingkan sistem lainnya,” ujarnya yang pernah menjadi dewan penasehat di beberapa lembaga demokrasi dunia.
“Kita berhak mengeluh, tapi jangan lupa bersyukur. Kalau kita terus mengeluh dan komplain, yang terlihat hanya sisi gelap,” ulas Azra. Meskipun sistem demokrasi Indonesia masih ada kekurangan, namun kondisi Indonesia masih lebih baik dibanding banyak negara lainnya. Pemilu Indonesia relatif aman, sementara banyak negara harus berdarah-darah dalam penyelenggaraan pemilu. “Pascapilpres, mari kita kembali kepada nalar dan akal sehat,” katanya.
Azra juga mengajak umat Islam untuk mengevaluasi diri dan tidak selalu menyalahkan orang lain. “Masalah di Timur Tengah terjadi karena mereka tidak bisa menyelesaikan masalah internalnya, tidak selalu karena konspirasi. Jangan terlalu banyak dikuasai pikiran konspiratif,” tukasnya. Pemikiran untuk selalu menuding bahwa orang lain selalu ingin mengalahkan kita justru membuat umat Islam memiliki mentalitas negatif dan mudah curiga.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia harus banyak bersyukur. Banyak negara Muslim lainnya tidak aman dan tidak damai. Umat Islam harus bahu-membahu membangun bangsa. Kalau Indonesia maju, kata Azra, maka kita (umat Islam) yang akan menerima manfaat paling banyak. Sebaliknya, kalau Indonesia tidak maju, maka kita juga yang paling banyak menerima mudharat. “Tanggung jawab terbesar terhadap moral di Indonesia itu tanggung jawab umat Islam sebagai suatu kekuatan terbesar,” ujarnya.
Muhammadiyah dengan etos yang dimilikinya, diharapkan bisa menjadi kekuatan yang menyebarluaskan nilai-nilai positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Tugas Muhammadiyah sebagai salah satu dari dua ormas terbesar di dunia ini untuk menjaga kedamaian,” katanya. Dalam rangka menjalankan tugas itu, maka Muhammadiyah harus mengambil posisi yang tepat, tidak menjadi kekuatan politik partisan. Posisi dan upaya Muhammadiyah saat ini yang mampu menjaga diri dari tarikan kepentingan politik dianggap sudah tepat.
“Muhammadiyah harus mencari cara baru untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan politik Muhammadiyah, mungkin tidak cukup lagi melalui partai, DPD, DPR atau melalui jalur-jalur politik formal. Melainkan, melalui jalur informal,” ulasnya. Azra memandang Muhammadiyah harus bersikap bijak dan elegan dalam relasi dan peran politik. “Dengan sikap netral, Muhammadiyah lebih bisa menjalankan peran risalah pencerahan,” ungkapnya. Muhammadiyah dengan lembaga pendidikannya, harus menanamkan nilai-nilai integritas bangsa.
Lebih dari itu, Muhammadiyah diharapkan mampu menunjukkan etos risalah pencerahan Islam yang berkemajuan. “Eropa dan Amerika maju karena etos Protestan. Singapura, Jepang, Korea, Cina maju karena etos Confusius (selain etos Budhisme Zen dan Makoto). Belum ada negara Muslim maju karena etos Islam. Inilah peluang dan tantangan Muhammadiyah untuk membuktikan etos Islam yang dipahaminya,” tutur Azra. Muhammadiyah sudah memiliki etos berkemajuan atau islamic ethic and progress, tetapi perlu diperkuat kembali.
Muhammadiyah memiliki amal usaha yang berkualitas dan berdaya saing. Kita harus bersyukur, Muhammadiyah memiliki Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah yang besar dan membanggakan, bahkan mengungguli Perguruan Tinggi Negeri. “Dulu, terutama tahun 70-an, kalau ada perguruan tinggi yang baik, itu pasti bukan milik orang Islam, pasti itu Katolik, pasti itu Protestan atau Kristen. Sekarang kita sudah hapuskan mitos itu,” ungkap Azra. Di sinilah pentingnya peran pencerahan Muhammadiyah dengan orientasi pandangan Islamnya yang berkemajuan.
Hal yang juga sangat patut disyukuri adalah terkait dengan kedudukan dan posisi perempuan Muslim di Indonesia. “Di Indonesia perempuan benar-benar dihargai, ini perlu disyukuri,” katanya. Di banyak negara Muslim, perempuan justru mengalami diskriminasi dan peminggiran dari ruang publik. Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah mempelopori kebangkitan kaum perempuan. “Aisyiyah yang sudah memiliki Universitas Aisyiyah bisa menjadi lokomotif kemajuan perempuan Muslim untuk disebarluaskan ke seluruh dunia,” tukas Azyumardi Azra. Banyak negara berharap pada Indonesia. (ribas)
Baca juga :
Azyumardi Azra: Kalau Indonesia Kacau, yang Rugi bukan hanya Kita, tapi Umat Islam Dunia
Minder Jadi Muslim Indonesia? Ini Jawaban Prof Azyumardi Azra
Prof. Azyumardi Azra: Internasionalisasi Berarti Membangun PTM Menuju Center of Excellence
Azyumardi Azra: Konflik Antarumat Beragama Karena Kurangnya Sensitivitas Kedua Belah Pihak