Lima Dimensi Risalah Pencerahan Muhammadiyah Menurut Haedar Nashir

JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar Pengkajian Ramadhan bertema “Risalah Pencerahan dalam Kehidupan Keumatan dan Kebangsaan: Tinjauan Ekonomi, Politik, dan Sosial Budaya” di Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta. Kegiatan yang dibuka oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir ini berlangsung pada 7-9 Ramadhan 1440 H/12-14 Mei 2019 M.

Haedar Nashir menyatakan bahwa tema ini merupakan agenda strategis Muhammadiyah di abad kedua. “Kita angkat tema pencerahan atau risalah pencerahan itu menindaklanjuti sidang Tanwir, agar pemikiran tanwir ini tidak hanya menjadi teks yang indah, tetapi harus menjadi komitmen kita semua untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam risalah pencerahan itu dalam kehidupan persyarikatan Muhammadiyah kita maupun dalam peran keumatan dan kebangsaan hingga peran di tingkat global dan kemanusiaan universal,” tuturnya.

Diksi pencerahan, kata Haedar, sudah menjadi paradigma atau perspektif pemikiran Muhammadiyah sejak tahun 2000 dan kemudian menjadi tema dalam muktamar tahun 2005 di Malang. Pada tahun 2010, wacana ini dipertegas kembali melalui rumusan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua.

“Pencerahan merupakan mata rantai dari pikiran kemajuan yang menandai pergerakan Muhammadiyah abad pertama, sejak Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Dalam rentang satu abad pertama, Muhammadiyah bergelut dengan pemikiran tentang kemajuan. Kata ini diungkap oleh Kiai Dahlan sendiri dan tercantum dalam statuten Muhammadiyah tahun 1912,” ulasnya.

Sejak saat itu, ujar Haedar, konsepsi tentang kemajuan terus menggelinding. Dipopulerkan kembali oleh KH Mas Mansur pada tahun 1938 sampai dengan 1942 dalam beberapa risalah, serta dalam Dua Belas Langkah Muhammadiyah (1938) dan dalam al-masail al-khams yang disempurnakan pada tahun 1954/1955. Tahun 1946, kata Haedar, dirumuskan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Tahun 1969, lahir Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Dalam aspek strategi perjuangan, dirumuskan Khittah Muhammadiyah tahun 1969, 1971, 1978, dan 2002.

Pemikiran ideologis Muhammadiyah juga tercermin dalam Kepribadian Muhammadiyah (1962), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (2005), dan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010). Pada tahun 2015, Muhammadiyah merumuskan tiga dokumen penting, berupa Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa al-Syahadah, Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna, dan Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.

“Seluruh pemikiran ini merupakan satu mata rantai pemikiran awal Kiai Dahlan yang awal mulanya tidak tersistematisasi secara utuh, tetapi oleh para muridnya disistematisasikan dalam beberapa ekslemplar, mulai dari statuten Muhammadiyah 1912, teks pidato yang diterjemahkan menjadi ‘Tali Pengikat Hidup’ serta 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an yang di dalamnya memuat Qs al-Ma’un dan al-Ashr,” ulasnya.

Kiai Dahlan juga memperkenalkan tentang akal murni. “Ketika umat Islam masih tidur nyenyak di awal abad ke-20, Kiai Dahlan justru memperkenalkan tentang akal pikiran murni, memuat tentang aqlun salim, ulul albab, dan tafaqquh fiddin. Di situ juga disebut tentang pikiran kemajuan, semisal dalam diksi pemimpin berkemajuan,” kata Haedar.

Gagasan cemerlang itu sempat timbul-tenggelam, hingga kemudian diangkat kembali jelang abad kedua. “Dari situlah, pada tahun 2000 kita gelindingkan istilah pencerahan. Kata pencerahan itu tidak kita ambil dari luar, tetapi dari khazanah Muhammadiyah sendiri, yaitu tanwir. Substansinya dari pikiran Kiai Dahlan sendiri tentang tajdid, pembaharuan, dan lain sebagainya,” ungkap Haedar yang termasuk salah satu yang gencar menggali dokumen Muhammadiyah bersama sejarawan Abdul Munir Mulkhan.

Kata Tanwir itu dikodifikasi pada tahun 1935 dalam sidang Tanwir di Banjarmasin. Dari sinilah kata tanwir bermula. Kata Tanwir merupakan bentuk masdar dari kata nur, yang diulang di 48 tempat dalam Al-Qur’an. Dalam kamus al-Munjid, Haedar menjelaskan, kata nur memiliki tiga arti pokok. Pertama, dhiya-an atau bercahaya, cahaya yang datang dari dirinya sendiri. Kedua, nar atau api yang mengeluarkan cahaya yang bisa menjadi sumber energi kehidupan. Ketiga, al-ra’yu atau akal pikiran, aqlun niyar, yang mengubah dari sesuatu yang remang-remang menjadi terang-benderang.

Esensi Risalah Pencerahan

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjelaskan bahwa tanwir mengandung lima esensi penting.

Pertama, dimensi keyakinan. Tauhid yang mencerahkan ialah tauhid yang melahirkan teologi kemanusiaan semesta yang membawa kebenaran, kebaikan, dan rahmat bagi semesta.

Hal ini diformulasikan dari ajaran Islam. Setiap ayat dan hadis yang berbicara tentang iman, selalu dikaitkan dengan amal shaleh. Dalam berislam dan bermuhammadiyah, tauhid atau akidah menjadi asas. “Segala cahaya kebenaran dan kebaikan itu sumbernya dari Allah. Allah itu nur atau sumber cahaya (Qs An-Nur: 35),” jelas Haedar.

Menurut Haedar, tauhid harus menjadi sesuatu yang fundamental dalam kita beragama. Meskipun kita berbeda dalam beberapa hal, namun tauhid mempersatukan kita semua. Tauhid meniscayakan bahwa hanya Allah satu-satunya sumber segala kebenaran mutlak. “Asghar Ali Egineer menyatakan bahwa lailahaillallah mengharuskan bahwa yang lebih tinggi hanya Allah, sementara semua makhluk yang lain setara. Jadi, manusia tidak bisa merasa diri lebih suci atau benar sendiri,” imbuhnya.

Dari keyakinan tauhid ini, tidak bisa seorang tokoh mengambil peran yang bukan haknya atau memonopoli agama. Haedar mengajak untuk berkaca pada pengalaman Barat abad pertengahan, ketika Eropa meninggalkan agama menuju rasionalitas. Agama yang terlalu teosentrik beralih ke antroposentrik, ternyata justru menyisakan krisis kemanusiaan modern sampai sekarang.

John Naisbitt dalam Megatrends 2000: Ten New Directions for the 1990’s, menyebutkan fenomena krisis kemanusiaan ini mendorong manusia modern ingin kembali lagi kepada spiritualitas. “Orang kembali ke spiritualitas, namun bukan spiritualitas yang berakar pada agama, karena Barat punya trauma pada agama yang menindas, yang terbelakang, yang monolitik, yang anti ilmu pengetahuan,” tutur Haedar.

Oleh karena itu, pencerahan Muhammadiyah memiliki kekhasan yang berusaha menjawab krisis kemanusiaan itu, menawarkan keseimbangan antara orientasi duniawi dan ukhrawi. “Muhammadiyah ingin menanamkan tauhid yang memiliki dimensi insaniyah, tidak hanya dimensi ilahiyah, rububiyah, uluhiyah, dan mulkiyah,” ungkapnya.

Kedua, dimensi keadaban. Akhlak mulia yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad adalah wilayah etik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebiasaan bangsa jahiliah yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan diubah oleh Nabi kepada menyelesaikan masalah dengan musyawarah. Tidak hanya akhlak individual, namun juga mewujud dalam keshalehan sosial.

Haedar menyebut bahwa akhlak mulia merupakan bagian dari nilai-nilai utama yang selama ini telah tumbuh dalam Muhammadiyah, namun perlu diperbaharui kembali, semisal tentang amal shaleh, zuhud, wara’, tulus, ikhlas, berkhidmat, bersahaja, tidak banyak topeng (kamuflase), dan seterusnya.

“Akhlak ini perlu mewujud dalam kehidupan bermedia sosial, dalam melakukan apapun harus dengan akhlak karimah. Dalam kehidupan politik, kita harus menjadi pendingin, bukan menjadi kompor gas, biarpun hati panas. Kita harus menjadi uswah hasanah dan sibghah (membingkai atau memberi warna) dalam ruang publik yang mungkin kehilangan keadaban,” ujar Haedar.

Ketiga, dimensi iqra. Iqra yang melahirkan gerakan pemikiran dan ilmu. Membaca dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. “Ini harus menjadi konstruksi alam pikiran kita dalam memahami Islam dan dalam membaca kehidupan. Jangan sampai setelah satu abad lebih, orang Muhammadiyah justru menjadi tumpul akal pikiran, tidak rasional, dan anti ilmu pengetahuan,” ulasnya.

Agama terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad terkait erat dengan iqra yang mendayakan akal pikiran. Umat Islam diminta untuk terus membaca ayat suci maupun ayat semesta, sehingga menjadi khairu ummah.

Keempat, dimensi kemajuan. Menurut Haedar, Islam berkemajuan sepaket dengan pencerahan. Muhammadiyah tidak hanya beretorika, namun mempraktekkannya dalam kehidupan nyata yang melahirkan karya-karya berkemajuan.

Muhammadiyah menerobos banyak hal yang dulu membuat umat jumud. Muhammadiyah mempelopori sesuatu yang belum terpikirkan oleh umat Islam di zaman itu: mendirikan organisasi perempuan, mengembangkan pendidikan modern, perguruan tinggi, rumah sakit, pandu hizbul wathan, dan seterusnya.

Kelima, dimensi kerahmatan. Islam yang membawa kemaslahatan untuk semua, tanpa membedakan perbedaan latar belakang suku, agama, golongan. Haedar menyebut bahwa dimensi kerahmatan ini dipraktekkan oleh Muhammadiyah di seluruh Indonesia hingga ke pelosok terjauh yang Muslimnya minoritas. Di Indonesia Timur, misalnya, kerja pengabdian Muhammadiyah memberi dampak positif bagi masyarakat luas.

Peran mulia ini harus senantiasa dilakukan dengan pendekatan yang baik. “Kepada siapa pun yang di kiri dan kanan, Muhammadiyah harus mengajak kepada wasatiyah Islam dengan akhlak, merekat ukhuwah, tidak menghakimi. Tugas dakwah itu bil hikmah, wal mauidhatul hasanah, wajadilhum billati hiya ahsan, (Qs An-Nahl:125),” ujarnya.

Supaya dakwah Muhammadiyah diikuti dan dijadikan rujukan, maka para warga Muhammadiyah harus lebih baik, harus beyond, lebih berilmu. Sesuai dengan pepatah: siapa yang tidak memiliki apa-apa, tidak mungkin bisa menebar dan memberi apa-apa (faqidu al-syai’ la yu’thi). “Cara dakwah amar makruf nahi mungkar kita perlu direvitalisasi dan ditansformasikan menjadi bil hikmah, wal mauidhatul hasanah, wajadilhum billati hiya ahsan,” tuturnya.

Muhammadiyah sepanjang masa selalu berkomitmen pada misi dakwah amar makruf nahi munkar. Namun dalam merumuskan apa yang harus menjadi objek dan cara amar makruf nahi munkar, seperti dalam berijtihad, dilakukan secara jama’i sesuai garis organisasi dan bukan sendiri-sendiri. “Jangan anggap Muhammadiyah lemah dalam beramar makruf dan nahi munkar, yang selama ini dilakukan Muhammadiyah jelas amar makruf nahi munkar. Tapi jangan memakai ukuran pihak lain atau orang-perorang yang mungkin memiliki tafsir dan caranya sendiri. Kalau ada pendapat perorangan, dapat menjadi masukan, tetapi jangan memaksakan harus menjadi pandangan resmi organisasi, apalagi dengan berjalan sendiri di dalam organisasi,” ungkapnya.

Dalam dakwah, kata Haedar, kita harus saling merangkul, cair, luwes dalam cara, memberi solusi, dan menunjukkan keteladanan, sehingga siapa pun menaruh simpati. Dalam risalah tanwir, perjuangan Muhammadiyah melakukan perubahan dilakukan dengan lil muwajahah.

“Dengan spirit beragama yang mencerahkan, umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama.” (Risalah Pencerahan)

Setelah berdakwah dengan bil hikmah, wal mauidhatul hasanah, wajadilhum billati hiya ahsan secara maksimal, maka tugas kita adalah bertawakkal. Memberi hidayah adalah hak Allah. Nabi Muhammad sendiri tidak mampu memberi hidayah kepada pamannya Abu Thalib yang senantiasa mendukung dakwah Nabi. Dinyatakan dalam Qs Al-Qashash: 56, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (ribas)

Baca juga:

Tausiyah Haedar Nashir dalam Pengajian Ramadhan 2019 tentang Risalah Pencerahan

Pandangan Azyumardi Azra tentang Islam Indonesia, Demokrasi, dan Peran Muhammadiyah

Syamsul Arifin: Ada Kesemarakan dalam Beragama, Namun masih Artificial

Exit mobile version