Haedar Nashir Membahas Post Truth, Keadaban Digital, dan Dakwah Virtual

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjadi pembicara dalam Pengajian Ramadhan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Ahad, 19 Mei 2019. Kegiatan yang berlangsung di Universitas Ahmad Dahlan itu mengusung tema: Beragama yang Mencerahkan di Era Digital.

Menurut Haedar, Islam datang dengan membawa misi untuk mengeluarkan manusia dari segala bentuk kegelapan jahiliah menuju kepada cahaya kebenaran yang cerah (Al-Baqarah: 257). “Beragama yang mencerahkan harus berangkat dari nilai-nilai fundamental Islam tentang membangun peradaban,” ujarnya. Nilai-nilai keadaban Islam itu disebut dengan akhlak atau etika.

Fenomena dunia digital telah mengubah pola hidup manusia. “Dunia digital pada akar epistemologinya lahir dari dunia masyarakat modern yang sehari-harinya dipengaruhi oleh instrumen yang paling dominan itu berbasis digital,” ulasnya. Kita sekarang berada di era revolusi industri 4.0, bahkan sudah mulai memasuki era 5.0. Kehadiran teknologi digital banyak memberi konstribusi bagi kehidupan.

Teknologi digital telah mengalami perkembangan sangat pesat. Benda-benda digital dibekali dengan kecerdasan buatan (artificial intelligent). Dengan kapasitas otak buatan tersebut, benda pintar ini telah mampu membaca rumus-rumus logaritma, berpikir, dan mengambil keputusan. Dalam kondisi ini, manusia sering kehilangan jati dirinya dan bahkan menyerahkan urusan berpikir pada benda-benda pintar yang diciptakannya sendiri.

Media sosial yang menjadi ruang sosial baru itu telah menjadi salah satu kebutuhan umat manusia di seluruh dunia. “Sekarang medos menjadi kebutuhan yang melekat, bahkan termasuk dalam tahap keranjingan, ketergantungan,” ungkap Haedar. Perangkat digital telah membawa berbagai kemudahan dengan sifatnya yang serba cepat dan instan.

Dalam relasi impersonal di dunia virtual, kata Haedar, orang menjadi mudah mengumbar perasaan negatif, amarah, dan kebencian. Keadaban menjadi luruh. “Berbeda dengan dunia nyata, ketika orang saling bertemu, amarah bisa mereda,” ulasnya. Dalam konteks ini, Islam sebagai agama pencerahan harus hadir menyuarakan pesan-pesan keutamaan dan akhlak mulia, yang mendorong pada kedamaian dan kebahagiaan.

“Banyak hal positif dari dunia baru ini, namun kita harus selalu kritis, banyak ancaman terhadap dunia kemanusiaan kita,” kata Haedar. Pertama, terjadinya simulacra. Pemikir post-strukturalisme Jean Baudrillard memperkenalkan konsep dunia simulasi. Menggambarkan tentang tampilan sarat rekayasa dan bercitra indah yang dihadirkan di pentas seolah nyata. Dalam dunia simulasi berlaku hukum simulacra, berupa daur ulang objek dan peristiwa. Objek atau peristiwa itu diperagakan seakan mencerminkan realitas aslinya, tetapi sesungguhnya maya.

Dalam pandangan Haedar, warga Muhammadiyah kadang tidak bisa membedakan realitas semu dan asli. “Muhammadiyah itu sikapnya lugu dan puritan. Oleh karena itu, kita tidak bisa masuk ke dunia baru, seperti dunia politik yang menampilkan dramaturgi. Layar depan terlihat sempurna untuk mempengaruhi orang-orang yang lugu. Di layar belakang, yang dibela ternyata kontradiksi,” ulasnya.

“Dunia khayal yang dikonstruksi lewat dunia digital menjadi seolah realitas. Peristiwa yang terpenggal, dihubung-hubungkan. Dunia imaji ini bertebaran tiap detik dan membuat konstruksi bahwa itu sesuatu yang benar. Meluruhkan dan menumpulkan akal suci, dalam bahasa Kiai Dahlan. Immanuel Kant menyebutnya sebagai sapere aude, manusia dengan akal murni menjadi dewasa, bijak, mampu melahirkan pikiran cerdas, melahirkan ilmu pengetahuan,” tuturnya. Puncak dari akal sehat adalah melahirkan manusia bijak dan dewasa. Belakangan, kata Haedar, banyak orang di media sosial kembali menjadi kekanak-kanakan.

Kedua, terjadinya post truth. Dalam era pasca kebenaran, kebenaran ditentukan oleh imajinasi dan prasangka personal, bukan oleh data atau fakta objektif. “Opini ini terus-menerus diproduksi, sehingga diyakini secara kolektif sebagai kebenaran,” ungkapnya. Gejala pasca kebenaran juga menimpa negara-negara maju dan sering ditunggangi oleh populisme.

“Di era post truth, yang paling laku itu menjual radikalisme. Masyarakat modern itu, kata Peter L Berger, adalah masyarakat yang the lost of soul, mengalami kegersangan jiwa dan bahkan juga situasi chaos. Alvin Toffler menyebutnya sebagai the future shock, kejutan masa depan yang menyebabkan disorientasi,” ulasnya. Perubahan sosio-kultural ini disebut oleh Francis Fukuyama sebagai fenomena disrupsi.

Orang dalam kondisi gersang dan haus itu lalu mencari kanopi. Agama menjadi tempat pelarian sebagai the sacred canopy. Dalam kondisi kepanikan itu, orang berpegang pada apa saja, dan tak jarang justru kembali pada paham agama yang literal, bahkan serba ekstrem. “Yang terjadi justru disorientasi. Masuk orientasi radikal keras, merasa terancam hidup, lingkungan, agama,” ujarnya.

Haedar berharap warga Muhammadiyah seharusnya sensitif dalam menangkap fenomena keagamaan ini. Bahwa banyak orang yang dengan menggebu-gebu ingin meneguhkan identitas agama, namun merasa kurang mendapatkan guidance yang mampu memenuhi dahaga. Dalam hal ini, Muhammadiyah harus memperbaharui pendekatan dakwahnya. Terutama dakwah di dunia virtual.

“Kita harus memperbaharui cara dan pendekatan dakwah kita agar lebih sesuai prinsip bil hikmah, mau’idhah hasanah, wajadilhum billati hiya ahsan,” ungkapnya. Haedar menyebut bahwa di Indonesia terdapat banyak warna keagamaan yang tergolong abangan. Mereka ingin diakui sebagai bagian dari Islam. Kalau kita terlalu kaku dan keras, mereka justru semakin antipati dan menjauh. “Kita harus dekati dengan dakwah yang lebih membuat orang simpati,” ujarnya.

Haedar mengajak warga Muhammadiyah menjadikan momentum Ramadhan ini untuk menjernihkan akal dan qalbu supaya kembali ke fitrah. Puasa itu adalah imsak, menahan dan melatih diri. Puasa harus bisa menjadi sarana mendidik jiwa untuk meninggalkan sifat-sifat tercela. Nabi pernah memerintahkan seseorang yang memarahi budaknya untuk berbuka puasa, dan muncullah hadis: banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.

Guna mendidik diri supaya bijak dalam belantara dunia digital, dibutuhkan peranan hati dan akal pikiran. “Norma saja tidak cukup, harus ada pelibatan qalb, hati nurani. Hati yang ada di jiwa kita. Hati ini bisa merasakan suara paling jernih,” ujarnya. Dalam sebuah hadis Nabi ditanya tentang apa itu kebaikan. Kata Nabi, kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hati merasa tenang, sedangkan dosa itu adalah sesuatu yang meresahkan jiwa dan hati.

Selain hati, diperlukan akal pikiran. Haedar menyatakan bahwa ajaran islam mengajarkan manusia untuk berpikir. Ulul albab disebut dalam banyak tempat di Al-Qur’an. Ulul albab itu adalah orang yang terbuka terhadap berbagai pemikiran dan pandangan, namun pandai memilih yang benar, baik, dan patut. Mampu memilah dan hanya menerima yang baik saja, sebagaimana disebut dalam Qs Az-Zumar ayat 18. Muhammadiyah sudah memperkenalkan pendekatan dalam mendayagunakan akal: bayani, burhani, dan irfani.

Dalam banyak ayat, Allah menyebut keutamaan orang berakal, bahkan dimulai sejak wahyu pertama: iqra bismirabbika allazi khalaq. Iqra mengandung makna yang luas. Dalam kaidah: fi’il ‘amar tanpa maf’ul itu yufidu al-‘am, mencakup semua makna yang berkaitan dengan kata itu. Haedar berharap, sesibuk apapun warga Muhammadiyah menjalankan tugas keumatan, jangan sampai meninggalkan kebiasaan membaca.

Membaca merupakan salah satu ajaran Islam yang sudah ditinggalkan oleh umat Islam. “Barat meninggalkan agama untuk maju pada era modern. Umat Islam punya agama dan perspektif hidup modern. Robert N Bellah menyatakan bahwa salah satu alasan bangsa Arab jahiliah menentang Islam adalah karena Islam membawa ajaran modern yang terlalu dini,” tutur Haedar.

Terkait dengan keadaban digital, Haedar mengajak untuk merujuk pada Qs Al-Hujurat 1-13. Pada kelompok ayat ini melarang untuk bersuara keras yang melambangkan sikap tidak beradab (ayat 2); bertabayyun ketika datang suatu berita (ayat 6); mengusahakan islah dan ukhwah ketika menghadapi permasalahan (ayat 9-10).

Haedar berharap bangsa Indonesia merujuk pada ayat ini dalam menghadapi situasi politik terkini. Tidak justru menambah keresahan yang memecah belah. “Sudah cukup, perpecahan itu kita akhiri. Kemarahan itu ibu segala hawa nafsu. Jika sampai terjadi pertumpahan darah, itu akan sulit direkat kembali. Jangan seperti orang yang merusak kembali pintalan tenun yang sudah dirajut dengan baik (Qs An Nahl: 92),” tuturnya. Haedar mengingatkan bahwa Muhammadiyah memiliki trust dan integritas, jangan sampai karena politik, kita mengorbankan bangunan Muhammadiyah yang telah kita rajut bersama.

Pada ayat 11 surat al-Hujurat dikatakan supaya tidak saling merendahkan dan mengolok-olok. Jangan sampai kita menyakiti diri sendiri oleh karena kita menyakiti orang lain. Qs Al-Isra: 7 menyatakan, in ahsantum ahsantum li anfusikum, wa in asaktum, falaha (Jika kamu berbuat baik, maka kebaikan itu akan bermuara kepadamu, sebaliknya jika kamu berbuat keburukan, maka dia juga akan kembali padamu). Jangan memanggil dengan julukan yang buruk, semisal julukan cebong dan kampret

Pada ayat 12, diperintahkan untuk menjauhi prasangka. “Hari ini prasangka menyebar menjadi komodifikasi kolektif. Mencari kesalahan orang lain sekarang menjadi kenikmatan,” ungkap Haedar Nashir. Dalam situasi ini, orang menjadi lupa untuk mengevaluasi diri dan hanya sibuk menuding serta menimpakan kesalahan ke orang lain. (ribas)

Baca juga:

Dakwah Digital: Narasi Alternatif Muhammadiyah

Narasi Alternatif di Dunia Virtual

Haedar Nashir: Keadaban Digital Alami Peluruhan, Dakwah Komunitas Virtual Harus Menjadi Perhatian

Exit mobile version