YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjadi penceramah menjelang tarawih di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada Jumat, 24 Mei 2019. Paparannya bertema tentang peranan manusia dalam membangun peradaban di muka bumi.
“Keutamaan manusia, baik secara individu maupun kolektif, adalah dalam tugas kekhalifahan untuk memakmurkan bumi dan membangun peradaban. Untuk menjadi pemakmur bumi dan pembangun peradaban, hanya diberikan kepada kepada manusia. Disebut dalam ayat, inni jaailum fil ardhi khalifah (QS. Al-Baqarah: 30),” tuturnya. Rangkaian ayat ini menceritakan dialog Allah dan malaikat ketika akan menciptakan Adam, sebagai manusia pertama.
Peran ini hanya ditimpakan pada manusia. Berbeda dengan peran ibadah, yang Allah wajibkan kepada jin dan manusia (QS. Al-Dzariat: 56). Dalam hal ini, ibadah yang dilakukan manusia harus senantiasa memperkuat riadhah, latihan batin dan rohani untuk menjadi insan yang bertakwa. “Dengan ibadah, kita menjadi ‘abdullah, yang melakukan sublimasi diri kita, yang secara rohani berbeda dengan makhluk yang lain,” ujar Haedar.
Amanah yang mulia ini menjadikan hidup manusia lebih bermakna. “Hidup tidak sekadar hidup, tidak hanya untuk mempertahankan diri, tetapi untuk mengoptimalkan seluruh potensi kemanusiaan kita supaya meninggalkan jejak-jejak kebaikan yang melahirkan kebudayaan dan dengan kebudayaan melahirkan kebaikan semesta,” ulasnya. Bangunan sistem kebudayaan yang unggul akan melahirkan peradaban yang utama.
Menurut Haedar, peradaban manusia disebut dalam Al-Qur’an sebagai khairu ummah (QS. Ali Imran: 110). Dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan umat terbaik adalah umat tengahan (ummatan wasatha), umat yang menjadi pelaku sejarah (syuhada ‘ala al-nas), itulah al-ummat al-Muhammadiyah atau umat pengikut Nabi Muhammad. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat. Demikian halnya dengan sebaik-baik umat, harus memberi manfaat kepada manusia dan alam raya.
Haedar mengutip pendapat Ibnu Abbas yang mengkairkan makna khairu ummah dengan QS. Al-Baqarah: 143. Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang di dalamnya ajaran Islam berlaku dan menjiwai seluruh bidang kehidupan. “Syuhada ‘ala al-nas itu meninggalkan jejak-jejak kehidupan terbaik, berupa rif’ah, misalnya melalui silaturahim,” ujarnya. Silaturahim tidak hanya terhadap relasi yang telah terjalin, namun juga menyambung yang terputus. Hari ini, banyak orang sengaja memutuskan tali persaudaraan hanya karena perbedaan tertentu, termasuk alasan perbedaan pilihan politik. “Sebagai khairu ummah, inilah kelebihan kita, mampu menyambung silaturahim, membangun persaudaraan,” ulasnya.
Sikap ini tergambar dari perilaku Nabi teladan. “Nabi terusir dari Makkah, lalu mengubah masyarakat Arab yang jahiliah menjadi al-madinah al-munawarah. Jahiliah itu menyembah berhala, merendahkan perempuan, berniaga dengan menghalalkan segala cara, menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan pembunuhan,” ungkapnya. Perlahan, Nabi berhasil mengubah kegelapan itu menjadi masyarakat berperadaban. Dari situ lahir peradaban baru yang disebut Tariq Ramadhan sebagai al-badilah al-tsaqafi, yang selama enam abad menyinari dunia.
Guna menjadi pembangun peradaban, Haedar menyebut setidaknya tiga langkah awal yang perlu ditempuh. Pertama, banyak bersyukur. Secara fisik, bersyukur karena diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. “Nikmat yang diberikan Allah harus memberi nilai bagi kehidupan guna membangun peradaban,” ujarnya. Mensyukuri nikmat dapat dimaknai sebagai upaya mendayagunakan nikmat sesuai dengan maksud pemberi nikmat.
“Pancaindera harus digunakan untuk yang baik-baik,” kata Haedar. Semisal lisan, kita harus hifzul kalam dan hifzul lisan. Dalam QS. Al-Hujurat: 1-13, Allah memberi tuntunan tentang perilaku mulia yang harus dilaksanakan, sebagai bagian dari bentuk kesyukuran. “Pancaindera kita harus terpancar seperti lebah dalam ilustrasi hadis nabi. Inilah pembeda kita sebagai muslim. Dibentuk dengan keindahan yang melampaui,” ujarnya. Jika tidak disyukuri, nikmat itu menjadi sumber malapetaka, Allah akan mengembalikan pada posisi terendah (fi ahsani taqwin).
Kedua, optimalisasi hati. Hadis Nabi, “Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” Hati disebut dengan kata qalb, fuad, berupa potensi di dalam jiwa. Hati juga menjadi tempat iman bersarang. “Qalb harus menjadi pengukur nilai, baik-buruk, benar-salah, patut-tidak patut,” ujarnya. Dalam kebimbangan, manusia harus bertanya pada lubuk hati nurani yang terdalam.
“Rawatlah hati ini menjadi pusat menentukan titik kebenaran dalam suasana kegersangan jiwa. Manusia sering diliputi hawa nafsu. Bahkan hawa nafsu beribadah, berupa sikap ghuluw atau berlebihan dalam beragama. Kata Rumi: hawa nafsu itu ibu dari segala dosa,” ulasnya. Kaitannya dengan ibadah puasa, kita harus bisa menjadikan imsak atau menahan diri dari hawa nafsu sebagai nilai yang menjiwai kehidupan.
Ketiga, mendayagunakan akal pikiran. Haedar berharap kepada para mahasiswa sebagai penerus generasi untuk senantiasa mengasah akal pikiran dan mencari ilmu. “Jadilah ilmuwan yang ulul albab, yang qalbu-nya hidup dan akal pikirannya cemerlang,” katanya. Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad berisi perintah iqra. Iqra ini berkaitan dengan akal. “Tidak sekadar akal, tetapi aqlun niyar, akal yang mencerahkan. Pandai, tetapi tidak congkak dan sombong, tidak merasa benar sendiri. Sombong itu, kata hadis nabi, menolak kebenaran dan merendahkan manusia,” tukas Haedar Nashir. (ribas)