Oleh: Yunahar Ilyas
Setelah peristiwa penyembahan patung anak lembu yang dibuat oleh Samiri selesai, Samiry sudah dikucilkan, Bani Israil yang terlibat penyembahan sudah dihukum, maka Nabi Musa AS memohon kepada Allah SWT agar diizinkan kembali menghadap dengan membawa para pemuka Bani Israil yang masih tersisa. Musa memilih 70 orang di antara mereka. Allah SWT berfirman:
وَٱخۡتَارَ مُوسَىٰ قَوۡمَهُۥ سَبۡعِينَ رَجُلٗا لِّمِيقَٰتِنَاۖ فَلَمَّآ أَخَذَتۡهُمُ ٱلرَّجۡفَةُ قَالَ رَبِّ لَوۡ شِئۡتَ أَهۡلَكۡتَهُم مِّن قَبۡلُ وَإِيَّٰيَۖ أَتُهۡلِكُنَا بِمَا فَعَلَ ٱلسُّفَهَآءُ مِنَّآۖ إِنۡ هِيَ إِلَّا فِتۡنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَن تَشَآءُ وَتَهۡدِي مَن تَشَآءُۖ أَنتَ وَلِيُّنَا فَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَاۖ وَأَنتَ خَيۡرُ ٱلۡغَٰفِرِينَ ١٥٥
“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: “Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya“. (Q.S. Al-‘Araf 7: 155)
Menurut Ibn ‘Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Ali ibn Abi Thalhah, Allah SWT memerintahkan kepada Musa untuk memilih 70 orang dari kaumnya, lalu Musa memilih 70 orang pemuka Bani Israil yang tersisa. Mereka disuruh berdo’a kepada Allah, ternyata di antara do’a mereka ada do’a yang Allah SWT tidak berkenan lalu mendatangkan gempa. Do’a mereka yang tidak disukai Allah itu adalah: “Ya Allah, berilah kami apa yang belum pernah Engkau berikan kepada siapapun sebelum kami, dan tidak akan Engkau berikan kepada siapa pun setelah kami. “ (Tafsir Ibn Katsir VI: 400).
Versi lain menurut as-Sadi, Allah SWT memerintahkan Musa untuk datang menghadap-Nya dengan membawa serta Bani Israil bersamanya, guna memohon ampun kepada Allah SWT atas dosa penyembahan patung anak lembu yang dibuat oleh Samiry. Lalu Musa memilih 70 orang pemuka Bani Israil dan membawa mereka pada waktu yang telah dijanjikan ke tempat yang juga sudah ditentukan. Tetapi sesampai di tempat yang telah ditentukan itu mereka menyatakan kepada Musa: “Hai Musa, kami tidak akan percaya kepada engkau sebelum kami dapat melihat Allah SWT langsung. Engkau sudah berbicara dengan-Nya, maka perlihatkanlah Tuhan itu kepada Kami!”. Mendengar permintaan itu Allah murka lalu mendatangkan gempa sehingga mereka semua mati. (Tafsir Ibn Katsir VI:400).
Permintaan 70 orang pemuka Bani Israil untuk melihat Allah SWT itu disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 55. Allah SWT berfirman:
وَإِذۡ قُلۡتُمۡ يَٰمُوسَىٰ لَن نُّؤۡمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى ٱللَّهَ جَهۡرَةٗ فَأَخَذَتۡكُمُ ٱلصَّٰعِقَةُ وَأَنتُمۡ تَنظُرُونَ ٥٥
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya”. (Q.S. Al-Baqarah 2: 55)
Dalam Al-Baqarah 55 mereka disebutkan disambar halilintar. Sedangkan dalam Al-‘Araf 155 disebutkan mereka digoncang gempa bumi. Apakah terjadi dua peristiwa yang berbeda atau peristiwa sama tapi hukumannya yang terdiri dari dua bentuk segaligus yaitu digoncang gempa bumi dan juga disambar halilintar. Sepertinya penafsiran yang kedua ini lebih mudah diterima.
Mereka belum dapat meninggalkan cara berfikir materialismenya, belum dapat mempercayai segala sesuatu yang bersifat ghaib. Padahal sebelumnya Allah sudah memperlihatkan kekuasaan-Nya dengan memberikan beberapa mukjizat kepada Nabi Musa dalam rangka membebaskan mereka dari cengkraman Fir’aun, mulai dari tongkat menjadi ular sampai membelah lautan. Sekarang mereka meminta sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi oleh Allah SWT.
Menurut Muhammad Abduh dalam Tafsîr Al-Manâr (I:321), permintaan Bani Israil untuk melihat Allah ini tidak ada hubungannya dengan penyembahan anak sapi. Penyebabnya adalah sifat dengki sebagian mereka atas yang lainnya. Sebagian mereka mengatakan, kenapa hanya Musa dan Harun saja yang mendapatkan firman Allah, sedangkan kita tidak. Mereka menyatakan bahwa nikmat Allah diberikan kepada bangsa Israil adalah lantaran Ibrahim dan Ishaq, oleh sebab itu harus meliputi seluruh bangsa Israil, bukan hanya keluarga Musa dan Harun semata. Mereka mengatakan kepada Musa, engkau bukanlah lebih utama dari kami, sehingga tidak berhak lebih tinggi dan memimpin kami tanpa keistimewaan. Kami tidak akan beriman dengan engkau sebelum kami juga dapat melihat Allah secara nyata. Lalu Nabi Musa membawa mereka ke suatu tempat yang ditentukan, lalu datanglah api menyambar mereka. Peristiwa itu disaksikan oleh kelompok lain yang tidak ikut menuntut hal yang sama. Cerita ini dikutip oleh Abduh dari Al-Kitab. Bagaimanapun persisnya terjadinya peristiwa itu, yang jelas Allah menyebutkan bahwa mereka yang menuntut hal yang mustahil itu dihukum oleh Allah SWT.
Allah SWT menyuruh kita merenungkan dan mengambil pelajaran dari kesombongan Bani Israil ini. Betapa tidak sombong, pertama mereka memanggil Nabi Musa tanpa rasa hormat sedikitpun dengan hanya menyebut hai Musa, padahal Musa adalah Nabi dan pemimpin yang telah berjasa menyelamatkan mereka dari penindasan Fir’aun di Mesir. Kedua, mereka menantang untuk dapat melihat Allah secara nyata. Padahal jangankan melihat Allah, melihat matahari pun mereka tidak akan sanggup. Padahal betapa banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang sudah diperlihatkan kepada mereka sebelumnya, khususnya dalam perjuangan membebaskan diri dari Fir’aun. Karena permintaan ini sudah melampau batas, mereka berhak dijatuhi hukuman. Lalu Allah memerintahkan halilintar untuk menyambar mereka.
Bani Israil yang disambar halilintar itu mati semua. Kemudian, menurut as-Saddi, sebagaimana dikutip Ibn Katsir (I:404) Nabi Musa menangis dan memohon kepada Allah: Oh Tuhan, apa yang akan saya katakan kepada Bani Israil jika saya kembali nanti menemui mereka, orang-orang pilihan mereka sudah Engkau binasakan”.
Dalam do’anya Nabi Musa di atas dipahami bahwa selain yang 70 orang itu masih ada Bani Israil yang tersisa. Memang benar, sebagaimana disebutkan Ibn Katsir (I: 402) mengutip as-Saddi, tatkala proses saling bunuh terjadi sebagai bentuk pertobatan, sehingga jasad-jasad bergelimpangan, Nabi Musa dan Harun berdo’a kepada Allah: “Oh Tuhan kami, Engkau telah membinasakan Bani Israil. Oh Tuhan kami, sisakanlah, sisakanlah.” Lalu Allah memerintahkan mereka untuk meletakkan pedang dan menerima taubat mereka.
Kembali kepada Bani Israil yang disambar halilintar, setelah Nabi Musa berdo’a, Allah menghidupkan mereka kembali, satu persatu bangun dan saling berpandangan. Tentang hal itu Allah SWT berfirman:
ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. Al-Baqarah 2:56)
Sebagian ulama tidak memahami kata mati dalam ayat tersebut sebagai mati yang sebenarnya, yaitu berpisahnya nyawa dengan badan, tetapi mati dalam arti pingsan. Bukankah tidur juga disebut dalam hadis sebagai mati. Dari segi bahasa kedua-duanya bisa saja diterima, apakah mereka betul-betul mati atau hanya pingsan. Tetapi jika hanya dipahami sebagai pingsan, peristiwanya menjadi sangat biasa, pingsan terus sadar kembali. Tetapi jika diartikan mati dalam arti yang sebenanya, baru menjadi peristiwa yang luar biasa. Bayangkan jika orang- orang yang selamat dari hukuman penyembahan patung anak sapi itu juga mati semua tentu akan segera punah Bani Israil. Untunglah Allah menghidupkan mereka kembali. Hal inilah yang sangat patut kalian syukuri wahai Bani Israil.
Menurut Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar (I: 267) yang dimaksud kebangkitan dalam ayat ini adalah banyak anak keturunan, artinya setelah kematian akibat disambar halilintar dan sebab lainnya dikhawatirkan keturunan Bani Israil akan punah, tetapi Allah kemudian memberi keturunan yang banyak kepada yang tersisa untuk dapat membentuk satu bangsa agar mereka dapat bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepada nenek moyang mereka, di mana mereka terlepas dari azab yang ditimpakan Allah karena kekufuran mereka. (bersambung)