Haedar Nashir Membahas Spirit Pendidikan, Ideologi, dan Dinamika Politik Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menjadi narasumber agenda Refresing Ideologi Pegawai Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, pada Selasa, 25 Juni 2019. Kegiatan yang berlangsung di Aula Madrasah Muallimin ini merupakan bagian dari kegiatan rutin madrasah ini menghadapi tahun ajaran baru. Turut diundang sebagai pembicara antara lain Prof Syamsul Anwar, Dr Agus Taufiqurrahman, Dr Agung Danarto, hingga Dr Hilman Latief.

Muallimin membawa Spirit Pembaharuan

Haedar Nashir memberi apresiasi atas kemajuan Muallimin. Secara khusus, program mubaligh hijrah dengan mengirim santri ke beberapa negara dipandang sebagai langkah maju yang harus diteruskan. “Itu bagus, mendorong untuk fantasyiru fil ardh. Berinteraksi dan mencari ilmu pengetahuan ke berbagai belahan bumi. Itu karakter Muhammadiyah, sehingga para santri merasa bagian dari dunia, tidak merasa miopik, tidak merasa besar di dalam tempurungnya,” tuturnya.

Alam raya ini begitu luas dan banyak hal yang perlu kita rambah. Semangat rahmatan lil ‘alamin itu semangat kesemestaan, semangat kosmopolitanisme Islam. “Kalau kita ingin melihat dunia, harus naik ke tempat tertinggi, sehingga bisa melihat horison yang semakin luas,” ujar Haedar.

Madrasah ini disiapkan untuk membentuk kader berkualitas ulama, zu’ama, dan pendidik. “Kuncinya di para guru, karyawan, pimpinan, yang men-set-up untuk itu. Harapan PP Muhammadiyah sangat besar untuk itu. Supaya Muallimin dan Muallimat tumbuh menjadi madrasah yang unggul dan berkemajuan. Muallimin menjadi salah satu bentuk tawaran Kiai Dahlan untuk pembaharuan pendidikan modern.”

Madrasah ini menjadi cikal bakal sistem pendidikan modern yang memperkenalkan pembaharuan dan terobosan melahirkan generasi muslim yang punya kekuatan iman dan berkepribadian, tetapi juga berkemajuan dan maju di setiap perubahan zaman. “Mampu mengikuti perubahan zaman dengan ilmu yang dimiliki, dan menjadi pelaku perubahan atau tajdid,” kata Haedar.

Di kemudian hari, Muhammadiyah mengembangkan sekolah yang tujuannya suppaya peserta didik menguasai ilmu pengetahuan agama dan umum, lalu mampu memberi manfaat bagi masyarakat. Spirit ini melekat pada seluruh institusi pendidikan Muhammadiyah.

“Di kemudian hari, Muhammadiyah mengembangkan pondok pesantren, tetapi spiritnya jangan sampai kembali ke masa lampau.” Prinsipnya adalah pelembagaan sistem pendidikan modern yang melahirkan generasi unggulan. Pesantren Muhammadiyah harus berada di jalur ini, jangan kembali ke masa lalu (konservatif).

Penanaman Ideologi Muhammadiyah

Haedar menekankan pentingnya kristalisasi ideologi di kalangan pendidik dalam lingkungan institusi Muhammadiyah. Para guru Muallimin dan Muallimat harus sudah selesai dengan urusan ideologis.

“Konsep ideologi dalam Muhammadiyah adalah sistem berpikir, gagasan, dan pemikiran yang terstruktur, yang memiliki pondasi, bingkai, dan tujuan pada prinsip-prinsip dan cita-cita Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, sebagai al-harakah al-Islamiyah yang menjalankan misi dakwah dan tajdid.”

Ideologi memiliki beberapa dimensi. Pertama, paham agama dalam Muhammadiyah. Paham agama dalam Muhammadiyah berpandangan pada manhaj tarjih yang sifatnya kolektif. “Ini pandangan resmi. Manhaj tarjih menjadi patokan kita dalam mengamalkan ajaran Islam. Keputusan jamaa’i yang ditanfidz oleh PP Muhammadiyah menjadi keputusan yang jam’iyyah,” ulasnya.

Prinsip dalam manhaj tarjih, kata Haedar, agama itu bersumber pada al-Quran dan al-Sunnah dengan membuka pintu ijtihad. Pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah itu menggunakan pendekatan bayani, burhani, irfani. Bayani itu pemahaman tekstual yang luas. “Muhammadiyah memahami Quran bisa dilihat dalam Tafsir At-Tanwir,” ungkapnya. Burhani itu pendekatan ilmu pengetahuan yang rasional. Irfani ini menekankan nilai-nilai spiritual, semisal nilai-nilai ihsan, welas asih, menjadi uswah hasanah.

Pendekatan ini menjadi penting karena Muhammadiyah menghadapi objek dakwah yang beragam. Mempraktekkan nilai-nilai ihsan ini tidak gampang. Misalnya di antara ciri orang bertakwa ialah suka berinfaq, menahan marah, dan memberi maaf kepada sesama (Qs Ali Imran: 134-135). “Sekarang marah menjadi budaya lewat medsos, menjadi karakter. Di kala kita merasa benar, susah memberi dan meminta maaf,” ulasnya.

Haedar mengajak segenap warga Muhammadiyah untuk terus memperbaiki kepribadiannya, sesuai dengan nilai ajaran agama. “Jangan merasa paling islami hanya karena atribut pakaian, tapi (keislaman) harus tercermin pada praktek hidup, sikap dan karakter,” ujarnya.

Jika sudah paham ideologi tapi tidak mau ikut paham Muhammadiyah, kata Haedar, maka tempatnya di luar Muhammadiyah, sembari bertoleransi memperjuangkan tujuan masing-masing. Muhammadiyah terbuka, jika dalam pahamnya ada kekurangan, boleh memberi masukan, bukan malah menjauh dan tidak mau patuh. “Ibarat orang pura-pura tidur, susah membangunkannya. Jadinya, dia merasa tidak menjadi bagian Muhammadiyah dan tidak mau mengikuti prinsip-prinsipnya.”

Kedua, dalam prinsip-prinsip gerakan. “Muhammadiyah sudah punya tatanan. Ada hal-hal yang diletakkan oleh Kiai Dahlan maupun yang diformulasikan setelahnya,” imbuh Haedar. Semisal manhaj tarjih, al-masail al-khams, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1946), Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (1969), Dua Belas Langkah Muhammadiyah (1938), Kepribadian Muhammadiyah (1962), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000), Khittah Muhammadiyah tahun 1969, 1971, 1978, dan 2002.

Kepribadian Muhammadiyah

Haedar menguraikan tentang sifat Muhammadiyah yang terdapat dalam rumusan Kepribadian Muhammadiyah. Pertama, beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. “Tidak ada yang suka perang,” katanya. Kedua, memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah islamiyah. “Ukhuwah islamiyah mudah dikatakan, susah dipraktekkan.” Ketiga, lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam. Keempat, bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. Kelima, mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah.

Keenam, amar makruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik. Muhammadiyah dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar dengan cara musyawarah. Ketujuh, aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam. Kedelapan, kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya. Kesembilan, membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Kesepuluh, bersifat adil serta kolektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.

Muhammadiyah dan Dinamika Politik

Terkait dengan sifat keempat Muhammadiyah, Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah berjuang di ranah keagamaan dan kemasyarakatan, tidak boleh ditarik ke arena politik praktis. KH Agus Salim pernah mengajak Muhammadiyah menjadi partai politik seperti halnya Sarekat Islam yang sedang berjaya, ketika itu, KH Ahmad Dahlan menolak tegas. Keputusan ini di kemudian hari terbukti tepat, Muhammadiyah semakin membesar dan SI semakin mengecil dan terpecah belah.

Prinsipnya, Muhammadiyah menggunakan pendekatan modernis dalam politik yang berdimensi luas. “Format berpolitik itu urusan ijtihad, bentuk pemerintahan juga tidak ada yang qat’iy dan absolut. Khalifah al-Rasyidin bermacam-macam dalam pengangkatannya. Prinsip, nilai, dan etika islam itu qat’iy, namun penafsirannya itu ijtihad. Dalam dirasah islamiyah, kita mengakui banyak mazhab, kenapa dalam politik justru mengabsolutkan satu mazhab,” ulas Haedar.

Haedar melihat bahwa penyebab mengerasnya sikap politik sebagian umat Islam adalah karena konstruksi idealisasi politik. “Masing-masing orang punya konstruksi, yaitu pemikiran yang disistematisasi oleh dirinya dan golongannya, lalu dikonsepkan seolah-olah qat’iy dan absolut, supaya orang mengikutinya, padahal sebetulnya itu wilayah ijtihad.” Dalam wilayah ijtihad, sesuai dengan sabda Nabi: antum a’lamu biumuri dunyakum.

Muhammadiyah punya pengalaman panjang bersentuhan dengan politik (sejak era Masyumi). Menurut Haedar, terlalu aktif dalam politik itu menjadikan beban Muhammadiyah overlapping (tumpang tindih), tugas dakwah terbengkalai, dan terjebak pada konflik kepentingan.

“Dalam saling silang kepentingan, orang baik saja bisa terjerat hukum besi kekuasaan: kekuasaan menjadi korup, menyimpang, menyeleweng, lemah sistem kontrol, terlalu lama berkuasa dan menjadi absolute power corrupts absolutely (dikemukakan John Dalberg-Acton),” ulasnya.

Muhammadiyah menyadari itu, bahwa jika ikut politik, maka dakwah terbengkalai. “Jabatan itu soal amanah, amanah yang paling substantif adalah menjaga Muhammadiyah tetap pada koridor,” kata Haedar. Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakat tidak bisa terlalu jauh, berpolitik ada jalurnya, yaitu melalui saluran partai politik. “Jika ada orang Muhammadiyah ingin berpolitik, maka silahkan, dan bawa misi perjuangan Muhammadiyah, misi islam, dan misi bangsa.”

Proses Panjang Membangun Indonesia

Banyak orang berpandangan bahwa politik kekuasaan sebagai jalan pintas membangun bangsa yang lebih baik. Berkaca dari sejarah, Haedar melihat bahwa pendapat ini tidak selamanya tepat. “Membangun bangsa dan negara itu tidak bisa sekali jadi, baik dalam prinsip moral, akhlak, nilai, maupun dalam prinsip taktis, strategis,” katanya.

Semisal pemerintahan Orde Lama telah meletakkan pranata bernegara dan mencari bentuk antara sistem parlementer dan presidensial. Orde Baru mengoreksi Orde Lama dalam hal sistem pemerintahan, tetapi muncul KKN (Korupsi, Kulusi, Nepotisme) dan terjadi deideologisasi, serta menjadi monolitik dan otoritarian.

Haedar melihat reformasi juga mengoreksi Orde Baru, tetapi juga bukan berarti tidak ada kekurangan. Misalnya, reformasi menjadikan politik, agama, dan budaya menjadi liberal. Kondisi ini menjadikan semua orang punya hak yang sama. Asing tumbuh dan besar sejak lama, namun menguat di era reformasi. Asal muasal masyarakat Indonesia mengalami percampuran, dari mulanya austro-melanesia dan mongolida. “Ada persenyawaan dengan Tionghoa, mereka tradisinya dagang, maka menguasai ekonomi.”

Berkaca pada berbagai peradaban maju, Haedar menakankan bahwa tidak ada bangsa yang sekali jadi, secara instan. India punya etos sejak tradisi Hindustan. Cina juga sudah lama sejak zaman dinasti. Jepang maju juga karena proses panjang. Jepang melakukan restorasi meiji dan membawa dampak besar.

Di Indonesia, penjajah Belanda tidak memberi ruang bagi pribumi. Orde Baru ikut membesarkan konglomerasi dan para taipan juga ikut membesarkan istana. Diberi ruang di ekonomi tetapi dikekang dalam politik. Pada saat reformasi, semua diberi ruang politik. “UUD amandemen pasca reformasi itu menjadi sangat liberal.”

Muhammadiyah berusaha menyadarkan semua elemen bangsa, dengan semisal menerbitkan dua buku: Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna, serta Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.

Selalu ada masalah, maka perlu perbaikan

Haedar mengingatkan bahwa dalam kita berbangsa dan bernegara, selalu ada masalah, maka perlu ada perbaikan. Masalah itu bahkan sudah ada sejak era kehalifahan islam yang penuh tragedi: pembunuhan atas nama Islam. Tidak mudah mempraktekkan prinsip ideal itu dalam politik, tapi harus optimis.

Muhammadiyah terus berikhtiar memperbaiki, tetapi tidak masuk politik partisan. “Muhammadiyah itu mempraktekkan high politics, bukan low politics. Tidak ada yang ideal, tapi kita sering mengalami konstruksi idealisasi. Semua ada plus-minus. Argumentasi memilih itu bagus, tapi jangan ada ideologisasi teologis yang berlebihan sampai masuk ke hati dan tidak ada akhirnya. Politik itu wilayah muamalah-duniawiyah,” ujarnya.

Muhammadiyah sadar ada kekurangan dalam proses kita berbangsa, tapi tidak semua peran bisa diambil. Semisal dalam sengketa Pemilu, penyelesaiannya harus lewat konstitusi. Gerakan massa menjadi inskonstitusional ketika mengeliminasi proses yang konstitusional.

“Ada banyak pekerjaan besar kita yang tidak kalah pentingnya dibanding politik, yaitu memahamkan Islam dan menjadi uswah hasanah dalam masyarakat itu juga tugas yang sangat mulia,” tutur Haedar. Semisal dalam bermedsos, kita harus menjadi teladan dan mempraktekkan Qs al-Hujurat: 1-13.

Psikologi orang bermedsos, kata Haedar, ingin menyajikan berita paling pertama dan menjadi hero. Penyakit di medsos: (1) Hoaks itu dikonstruksi. “Sering, berita meragukan, kok malah disebarluaskan. Dalam agama, ada kaidah: da’ ma yaribuka ila ma la yaribuka, tinggalkan yang meragukan,” tuturnya. (2) Simulakra. Medsos menawarkan realitas bentukan, yang seolah-olah realitas. (3) Post truth. Kebenaran menjadi hasil dari subyektifitas, opini, keyakinan dan kepercayaan tertentu, yang dikonstruksi sedemikian rupa dan disebarkan sebagai kebenaran.

Menjalankan peran sebagai uswah hasanah menuntut kita untuk menjadi bijak dan cerdas. Ushul fikih melatih kita cerdas. Misalnya tentang sosiogram atau pola hubungan: seseorang bicara begini, relasi dan posisi politik serta kepentingannya begini. Kita harus menjadi orang yang memahamkan publik dalam peran ini.

Sebagai panduan, Haedar menyebut dua ayat. Pertama, Qs al-Isra: 36, wala takfu ma laisa laka bihi ilm, jangan mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya pengetahuan terhadapnya. Kedua, Qs al-Zumar: 18, allazina yastami’una al qaul wayattabiuna ahsana. “Yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal atau ulil albab.” (ribas)

Exit mobile version