YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Peradaban Islam telah berusia hampir 1,5 milenium. Di usianya yang semakin tua, umat Islam sebagai ummah wahidah belum memiliki kalender Islam tunggal dan terpadu yang menyatukan sistem pengorganisasian waktu di seluruh dunia. Al-Qur’an berulang kali menegaskan tentang urgensi waktu, dan kalender merupakan sarana untuk penandaan unit waktu. Oleh karena itu, Muhammadiyah memandang bahwa penyatuan kalender Islam global sebagai salah satu utang peradaban yang tidak bisa ditunda lagi.
Hal itu mengemuka dalam forum Konsolidasi Paham Hisab Muhammadiyah tentang Kalender Islam Global yang diadakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Kantor PP Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro Yogyakarta, pada Sabtu, 13 Juli 2019. Serial kajian ini diadakan dalam rangka penguatan dan penyegaran pemahaman terhadap kalender hijriah global tunggal, baik mengenai konsep-konsep umum maupun kriteria-kriteria yang digunakan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan bahwa PP Muhammadiyah memberi apresiasi pada usaha-usaha yang terus dilakukan oleh Majelis Tarjih untuk menyatukan kalender Islam berbasis hisab. “Kalender Islam global ini sejak awal telah menjadi komitmen Muhammadiyah untuk diperjuangkan,” tuturnya. Gagasan ini tertuang dalam salah satu butir keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 1436 H/2015 M tentang Isu-isu Strategis Keumatan.
Haedar Nashir menyatakan bahwa muktamar ke-47 mengamanatkan pada PP Muhammadiyah dalam konteks internasional untuk melakukan langkah akselerasi. Muhammadiyah terus mengakselerasi keberadaan 27 PCIM dan PCIA di seluruh dunia. Saat ini juga sedang terus berupaya mempercepat proses pendirian sekolah di Australia dan universitas di Perlis, Malaysia. Pada 11-12 Juli 2019, Haedar Nashir bersama rombongan PP Muhammadiyah baru saja melakukan kunjungan ke Perlis. “Raja dan mufti Perlis sangat antusias Muhammadiyah membuka universitas di sana. Disediakan satu bangunan untuk program postgraduate.” Mufti setempat juga mengajak Majelis Tarjih Muhammadiyah untuk mengadakan seminar se-ASEAN tentang Diskursus Fikih Kontemporer.
Sosialisasi kalender Islam international, kata Haedar, merupakan salah satu agenda penting internasionalisasi Muhammadiyah. Namun, sebelum menggencarkan wacana kalender Islam global ini ke seluruh dunia, internal Muhammadiyah harus terlebih dahulu memahami tentang tawaran ini. PP Muhammadiyah pernah mengutus Prof Syamsul Anwar menjadi salah satu pembicara dalam International Hijri Calender Unity Congress di Turki pada 28-30 Mei 2016. Dalam forum itu, Muhammadiyah menawarkan tentang kalender Islam dengan kriteria satu tanggal untuk satu hari di seluruh dunia.
“Perbedaan hisab, imkanu rukyat ini menyangkut perbedaan benda bumi yang sifatnya eksak,” ujar Haedar. Artinya, hal ini bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. “Tetapi bagi masyarakat awam susah memahami: dalam satu matlak tanggalnya ada dua. Hitungan hisab bisa menyatukan ini semua.” Meskipun menemui banyak tantangan, Haedar menegaskan bahwa gagasan ini perlu diperjuangkan secara perlahan. “Ketika seabad yang lalu, Kiai Dahlan betapa susah memahamkan tentang arah kiblat yang tepat menurut yang beliau pahami, baru sekarang dipahami oleh semua dan bahkan dikodifikasi oleh Kemenag,” ulasnya. Guna mencapai titik temu dalam persoalan kalender ini, Haedar mengharapkan Majelis Tarjih untuk terus mengadakan dialog dengan semua pihak dan tidak perlu terburu-buru.
“Kita perlu terus memperkaya referensi dan kader yang menguasai (tentang wacana kontemporer semisal kalender Islam global), karena ini akan terus terjadi. Alat-alat teknologi yang menunjang cara berpikir tarjih: yang ilmiah, objektif, dan berwawasan kesemestaan ini juga perlu diperbanyak dan dikenalkan pada generasi milenial lewat medsos. Diam-diam orang menyukai tentang hal yang berkaitan dengan eksak yang memberi kepastian, sesuai dengan situasi modern,” kata Haedar. Dengan adanya kalender, penanggalan akan bisa diketahui jauh-jauh hari, tidak terpengaruh oleh kondisi cuaca, misalnya.
Kalender unifikatif ini merupakan salah satu agenda peradaban di antara banyak pekerjaan rumah lainnya yang dimiliki umat Islam. “Membangun peradaban Islam, ini sebagai hutang peradaban yang basiknya ilmu pengetahuan yang kontekstual sesuai perubahan zaman,” ungkap Haedar. Dalam rangka itu, Majelis Tarjih harus terus mengembangkan dan mengintegrasikan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. “Konstruksi berpikir dan dasar epistemologinya perlu disusun untuk bisa diakses oleh semua kalangan.”
Dunia Islam saat ini, kata Haedar, sedang mengalami goncangan sosial politik yang berpengaruh pada upaya membangun peradaban Islam. “Sisi lain, dunia Islam mengalami disrupsi, sehingga tidak lagi mampu menjadi inspirasi dunia. Muhammadiyah punya peluang untuk itu dengan modal infrastruktur dan SDM yang cukup guna membangun Islam berkemajuan,” ujar Haedar Nashir.
Urgensi Kalender Islam Global
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar menegaskan bahwa kegiatan ini dalam rangka melaksanakan salah satu putusan muktamar. “Keputusan yang harus kita laksanakan. Dalam melaksanakan itu, perlu memahaminya terlebih dahulu. Dalam rangka memahami itu, maka kita mengadakan konsolidasi paham hisab kalender Islam global ini. Pada tingkat ahli pun, kalender Islam global ini belum dipahami secara maksimal. Tak mungkin memahamkan masyarakat luas, tanpa kita memahami itu,” ujarnya.
Syamsul Anwar mengutip Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 sebagai landasan: “Perbedaan negara dan golongan seringkali menyebabkan perbedaan dalam penentuan kalender, terutama dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Berdasarkan kenyataan itulah, maka Muhammadiyah memandang perlu untuk adanya upaya penyatuan kalender Islam hijriah yang berlaku secara internasional, sehingga dapat memberikan kepastian dan dapat dijadikan sebagai kalender transaksi. Penyatuan kalender Islam tersebut meniscayakan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Kalender Islam global didasarkan oleh Qs Saba: 28, al-Anbiya’: 107 dan 92, al-Furqan: 1, Sad: 86-87, al-Mukminun: 52. Ada juga hadis riwayat Tirmizi, Baihaqi, Ad Darqtuni, dan Abu Daud dari Abu Hurairah ra, “Puasa itu pada hari seluruh kamu berpuasa. Idul Fitri itu pada hari kamu beridul fitri dan idul adha itu pada hari kamu beridul adha.” Hadis ini, urai Syamsul Anwar, mengarah kepada kalender global tunggal sebagai maqasid syariah, sehingga idul fitri dan idul adha dilakukan pada tanggal dan hari yang sama (tidak kedahuluan atau terlambat dari waktu yang semestinya), sebagaimana ibadah shalat Jumat dilakukan pada hari di mana seluruh umat Islam melaksanakan Jumat, yaitu pada hari Jumat (momennya bisa berbeda, tetapi tanggal dan harinya sama).
Berdasarkan hadis itu, harus ada penyatuan jatuhnya hari-hari ibadah umat Islam. “Ada ibadah yang terkait dengan waktu di tempat lain, terutama terkait dengan wukuf dan puasa Arafah, maka waktu di seluruh tempat di muka bumi harus sama. Kalau tidak, jadi kacau, maka butuh kalender yang global,” ungkap guru besar UIN Sunan Kalijaga ini. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan menggunakan metode hisab, yang memungkinkan untuk mengetahui tanggal secara akurat jauh ke depan.
Kalender Islam global yang diusulkan adalah kalender lunar, yang didasarkan pada gerak keliling bulan mengitari matahari. Lama waktu bulan mengelilingi matahari dari ijtimak ke ijtimak berikutnya secara rerata adalah 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Itulah yang dimaksud satu bulan dalam kalender Islam. Namun dalam kenyataannya, Syamsul menjelaskan bahwa di kalangan umat Islam memiliki banyak perbedaan dalam merumuskan kalender, ada misalkan kalender Islam kamariah hijriah dan non-hijriah. Dari segi perhitungan dibedakan menjadi kalender aritmatik dan kalender hisab hakiki. Dari segi zonasi, juga ada yang bersifat zonal, bizonal, tiga zona, maupun empat zona.
“Untuk dapat mengatasi (problem) ini, maka satu-satunya cara adalah dengan menginstrodusir kalender hijriah global dengan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Artinya, apabila di Indonesia tanggal 1, maka di seluruh dunia dunia juga tanggal 1 bulan kamariah. Inilah yang disebut kalender hijriah global tunggal,” ujarnya. Artinya, momen di seluruh dunia bisa berbeda, tetapi hari dan tanggalnya sama. Hal ini menggunakan standar hari universal: 48 jam, dan terhindar dari jebakan circums navigator paradox.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengusulkan lima prinsip kalender hijriah global tunggal, yaitu, pertama, penerimaan hisab. Menurut Syamsul, peralihan dari rukyat ke hisab dapat dijelaskan dengan teori perubahan hukum dalam ushul fikih. Kedua, transfer imkanu rukyat. “Jika sudah imkanu rukyat di salah satu tempat di muka bumi, maka keesokan harinya masuk bulan baru di seluruh dunia, ditransfer ke seluruh dunia,” ulasnya. Ketiga, kesatuan matlak. Seluruh muka bumi dipandang sebagai satu matlak sebagai konsekuensi dari transfer imkanu rukyat. Keempat, keselarasan hari dan tanggal di seluruh dunia. Berlaku satu hari dalam satu minggu yang ditandai dengan satu tanggal yang sama. Kelima, penerimaan garis tunggal internasional. Kalender Hijriah Global Tunggal berdasarkan kepada penerimaan Garis Tanggal Internasional (GTI) yang berlaku sekarang. “Masyarakat dunia telah menyepakati peletakan garis batas tanggal tersebut pada 180 derajat Bujur Timur. Umat Islam secara de facto juga telah menerima peletakan garis dimaksud pada bujur tersebut. Buktinya umat Islam melakukan salat Jumat dengan menghitung hari Jumat dari garis tersebut,” tukas Syamsul Anwar. (ribas)
Baca juga :
Muhammadiyah Terus Berupaya Wujudkan Kalender Islam Global
Catatan atas Seminar Kalender Islam Global (Pasca Muktamar Turki 2016) di UMSU
Ketua Majelis Tarjih Diundang ke Kongres Internasional Penyatuan Kalender Hijriah
Kalender Hijriyah Global Sebagai Hutang dan Tuntutan Peradaban Islam