Majelis Reboan (1)

Majelis Reboan (1)

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang akan diselenggarakan di Surakarta pada awal Juli tahun 2020 mendatang, memerlukan banyak persiapan waktu, tenaga, pikiran, dan materi untuk kesuksesan jalannya acara. Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, perhelatan akbar yang digelar setiap lima tahun sekali ini akan melibatkan pengurus dan simpatisan Muhammadiyah dari seluruh dunia, baik sebagai peserta maupun penggembira.

Namun hingga kini gaung Muktamar tampaknya belum begitu terasa. Diskusi ilmiah dengan ide-ide yang lebih segar dan kreatif tentang Muhammadiyah masih jauh panggang dari api. Di media sosial justru lebih ramai dengan nyinyiran, ejekan, hinaan, dan prasangka-prasangka yang dialamatkan kepada tokoh-tokoh dan pimpinan Muhammadiyah.

Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) yang gelisah dengan gejala ini mengadakan Majelis Reboan sebagai wadah untuk saling sapa ide dan pemikiran, bertempat di Gedoeng Moehammadijah Jl Ahmad Dahlan Yogyakarta pada Rabu, 17 Juli 2019, dengan pembicara Paryanto (Anggota Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah).

Paryanto mengatakan bahwa autokritik ke dalam tubuh Muhammadiyah sangat penting untuk dilakukan. Pengalaman autokritik saat Muktamar di Purwokerto pada abad yang silam bisa menjadi pelajaran. Bahkan Muhammadiyah sesungguhnya bersifat korektif ke dalam sebagaimana rumusan Kepribadian Muhammadiyah.

Menurut Paryanto, improvement dan innovation sebagai dinamika tata kelola organisasi harus menjadi perhatian serius bagi struktur Muhammadiyah. Ketidakseimbangan keduanya akan menghambat kemajuan organisasi. Lebih-lebih jika keduanya sama-sama berjalan secara statis.

Pengalaman Muhamamdiyah sejak masa Orde Lama, improvement dan innovation sering terhambat, umumnya karena faktor politik. Kadang improvement berkembang, tapi innovation tidak mampu mengimbanginya. Paryanto mengutarakan kegelisahannya bahwa jika faktor politik dari luar merasuk ke dalam tubuh Muhammadiyah sampai dalam, ia hanya akan memunculkan konflik internal dan menghambat perkembangan improvement dan innovation dalam tata kelola organisasi.

Arus politik identitas yang menggejala secara besar-besaran pascapilgub DKI dan Pilpres beberapa waktu yang lalu menjadi tantangan bagi Muhammadiyah menjelang muktamar mendatang. Akankah organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada abad yang silam ini tetap teguh di atas landasan ideologisnya? Di sisi lain, warga Muhammadiyah dihadapkan pada fakta bahwa ideologi dari luar dengan segala coraknya telah menggejala sedemikian kuat.

Paryanto menjelaskan bahwa sudah saatnya Muhammadiyah tidak hanya mengaudit keuangannya saja, tetapi perlu juga diadakan audit kebijakan, bahkan audit ideologi. Sejauh mana kebijakan dan ideologi itu berjalan sesuai dan seirama antara rumusan yang ada dengan perilaku warga Muhammadiyah.

Kim Hyung Jun, sebagaimana yang dikutip oleh Paryanto, pernah mengkaji jarak antara kebijakan PP Muhammadiyah dengan pelaksanan kebijakan itu sampai ke tingkat ranting. Hasilnya, keputusan muktamar tidak sepenuhnya dipahami oleh warga Muhammadiyah. Hal-hal semacam inilah yang perlu mendapatkan perhatian serius untuk kemudian dilakukan evaluasi.

Menuju Muktamar ke-48 di Surakarta, warga Muhammadiyah perlu mulai meramaikan dan memeriahkannya sejak sekarang, baik melalui media sosial maupun media lainnya. Nyinyiran dan ejekan yang dialamatkan kepada Muhammadiyah dan tokoh-tokohnya karena faktor politik atau faktor lainnya harus mulai dihalau sejauh-jauhnya agar tidak terulang lagi. Panitia Muktamar punya tugas berat untuk mempersiapkan perhelatan akbar ini demi suksesnya acara. Syiar muktamar harus mulai dan terus digalakkan. Satu tahun bukanlah waktu yang lama untuk persiapan muktamar. (Erik Tauvani)

Exit mobile version