YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Associate Professor di Department of Malay Studies, National University of Singapore (NUS), Khairudin Aljunied menyambangi Grha Suara Muhammadiyah di Jalan KH Ahmad Dahlan, 107, Yogyakarta, pada Selasa, 23 Juli 2019. Aljunied bertemu dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, serta para awak redaksi.
Sebagai peneliti dan warga Muhammadiyah Singapura, Aljunied memberikan beberapa masukan kepada Persyarikatan Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah perlu melakukan langkah-langkah akselerasi untuk menjadi gerakan yang mengglobal atau kosmopolitan. “Muhammadiyah jangan hanya menjadi fenomena Indonesia saja, tetapi juga harus menjadi fenomena dunia,” tutur penulis buku Kosmopolitanisme Islam Asia Tenggara, dalam Perspektif Komparatif (2017). “Jangan memperkecil image menjadi berwajah Melayu atau bahkan lebih sempit lagi hanya berwajah Jawa.”
Kedua, Aljunied melihat gaung Muhammadiyah kurang didakwahkan dalam bahasa internasional, utamanya Bahasa Inggris. Dampaknya, Muhammadiyah menjadi kurang dirasakan kehadirannya dalam kancah dunia. “Dakwah Muhammadiyah itu dakwah tajdid, harus diperbanyak penerjemahan ke Bahasa Inggris.” Menurutnya, banyak generasi muda Nusantara di seluruh dunia yang mulai tidak lagi tertarik membaca dan bertutur dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu. Aljunied berharap Muhammadiyah mulai membikin blue print tentang proyek penerjemahan buku ke Bahasa Inggris.
Haedar Nashir menyambut baik tawaran penerjemahan karya tokoh Muhammadiyah ke Bahasa Inggris guna mendukung langkah internasionalisasi Muhammadiyah. Gagasan tentang Islam Berkemajuan perlu diperkenalkan kepada masyarakat akademik dan publik dunia. Dalam waktu dekat, beberapa karya Haedar Nashir dalam Bahasa Indonesia akan segera diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris.
Karya hasil dari penelitian disertasi Haedar Nashir di Universitas Gadjah Mada, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologi di Indonesia (2013), diapresiasi khusus oleh Aljunied. Buku monumental ini diharap segera diterjemahkan ke Bahasa Inggris, baik dalam wujud versi utuh (700 halaman) untuk kalangan akademik maupun versi pemadatan (sekitar 200-an halaman) untuk kalangan pembaca umum.
Salah satu magnum opus Buya Syafii Maarif, Islam, Humanity and the Indonesian Identity: Reflections on History (2018) juga telah diterbitkan oleh Leiden University Press. Buku ini mendapat sambutan positif dari beberapa pemikir kontemporer semisal R. William Liddle, William H Frederick, dan Khaled Abou El Fadl.
Ketiga, Muhammadiyah perlu hadir dalam media baru, utamanya Youtube. Konten artikel di Majalah Suara Muhammadiyah, kata Aljunied, sudah bagus dan perlu menjangkau lebih banyak orang. “Perlu me-youtube-kan Suara Muhammadiyah melalui video-video singkat maksimal tiga menit dalam Bahasa Inggris.” Sebagai majalah yang menjadi pusat syiar Islam Berkemajuan, Majalah Suara Muhammadiyah bisa menjadi pemandu dalam hal ideologi kemuhammadiyahan. Namun perlu ada upaya untuk menerjemahkan Muhammadiyah menjadi lebih relevan.
Keempat, Muhammadiyah juga perlu menggalakkan kembali dakwah dalam bidang seni kesusastraan, melalui novel, cerpen, atau puisi. “Dakwah harus membawa pada entertainer, harus menghibur,” ujarnya. Menurut Aljunied, jejak tokoh Muhammadiyah semisal Buya Hamka yang melakukan dakwah melalui novel perlu ditiru. Aljunied termasuk salah satu pengkaji kritis tentang pemikiran-pemikiran Buya Hamka.
Dalam pandangan Budayawan Muhammadiyah Mustofa W Hasyim, potensi Muhammadiyah dalam bidang seni budaya sangat besar. Mustofa yang menjadi ketua Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta dan Anggota LSBO PP Muhammadiyah sering berinteraksi dengan banyak bibit budayawan muda Muhammadiyah.
Aljunied juga melihat bahwa masyarakat Indonesia sering mengalami native blindness, berupa sikap tidak bisa menemukan atau mengambil ide atau konsep pemikiran dari para tokoh besarnya sendiri. Padahal para ulama dan intelektual Indonesia tidak kalah dari para intelektual dunia. Dalam hal ini, kata Aljunied, para intelektual muslim Indonesia harus menulis dalam minimal Bahasa Inggris, Bahasa Arab, dan Bahasa Urdu.
Buya Syafii Maarif mengamini pendapat Aljunied. Menurut Buya, wajah Islam Indonesia selama ini tidak dikenalkan kepada dunia. Padahal pemikiran ulama kita tidak kalah dibanding para ulama Timur Tengah. Buya menyebut semisal nama Hasbi Ash Shiddiqie hingga Munawar Khalil. Namun karena tidak dikenalkan, kita hanya menjadi konsumen pemikiran-pemikiran luar. “Akibatnya, wajah Islam Indonesia yang moderat, tidak dirujuk. Justru kita membeli dan mengimpor wajah peradaban Arab yang sedang jatuh.” (ribas)