YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Bangsa Indonesia tidak kekurangan negarawan. Para pendiri bangsa umumnya adalah tokoh negarawan. Mereka memiliki gagasan visioner tentang kebangsaan dan menampilkan penghayatan gagasan luhurnya dalam keseharian. Perilakunya anggun dan senantiasa menjadi teladan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengajak semua pihak untuk kembali menjejak pada mereka. Dua di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari. Hal itu dikatakan dalam konferensi press Pembuatan Film Jejak Langkah 2 Ulama karya LSBO PP Muhammadiyah dan Pesantren Tebuireng Jombang. “Kita perlu jadikan film ini sebagai mau’idhah, proyeksi dari simbolisasi kehadiran dua tokoh bangsa bagi generasi pasca dua tokoh ini.”
Menurutnya, kedua tokoh ini menampilkan wajah Islam moderat, tasamuh, damai, serta membawa pada kemajuan. “Islam wasatiyah ini akarnya pada dua tokoh ini sehingga Muhammadiyah dan NU menjadi mainstream dari Islam Indonesia. Dua tokoh ini melintas batas menjadi tokoh umat dan tokoh bangsa.” Tidak tepat jika dipandang hanya sebagai tokoh primordial yang mewakili ormas saja. Para tokoh itu bisa menjadi inspirasi dalam menjalani kehidupan masa kini dan masa depan.
“Kelebihan tokoh lama itu terletak pada sikap zuhud, wara’ serta kuat sikap spiritualnya, tetapi juga cerdas dan jernih. Ini menjadi value,” ungkap Haedar. Sebagai generasi penerus tokoh ini, kita harus tetap konsisten pada Islam yang merekat, memajukan, dan memberi optimisme di tengah perubahan dan pengelompokan sosial yang begitu rupa. Para tokoh bangsa juga mewariskan sikap futuwah, keterbukaan dan saling menghormati dalam perbedaan. Semisal ketika Kiai Hasyim memberi dukungan pada dakwah Kiai Dahlan. Demikian juga dengan persahabatan para tokoh yang tinggal di rumah HOS Tjockroaminoto.
Haedar berharap pada para elite dan tokoh partai untuk memiliki visi kenegarawanan itu. “Politik harus naik kelas, harus mentransfer jiwa kenegarawanan dan nilai-nilai luhur bangsa, dari para tokoh ini, yang berdarah-darah demi bangsa. Sehingga politik bukan hanya soal who gets what, when and how.” Menurut Harold Lasswell, politik adalah kegiatan yang berkisar pada siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana
Jika semua kekuatan konsisten pada jalur ini, kata Haedar, maka beban Muhammadiyah dan NU menjadi lebih ringan, bisa fokus pada tugas kemasyarakatan dan keagamaan: mencerdaskan kehidupan bangsa, menanamkan nilai moral, membangun visi keagamaan, dan seterusnya. Dalam rangka itu, menjadi tugas kita bersama untuk memberi warna, menyemai akhlak, dan menampilkan agama yang rahmatan lil alamin.
Bagaimana supaya jiwa kenegarawanan ini menjadi state of main semua pihak? Haedar Nashir menggarisbawahi lima poin penting.
Pertama, isu-isu krusial yang bisa menjadi pemicu berbagai permasalahan, harus dikaji secara mendalam untuk didialogkan dan diambil konsensus. Di antaranya terkait isu radikalisme, terorisme, kebangkitan PKI, kekuatan asing dan aseng. “Selama tidak ada dialog, masalah ini akan terus ada.” Isu radikalisme, misalnya, semua pihak harus melihat akar masalah secara jernih dan kritis dengan paradigma yang tepat.
Kedua, perlunya grand design arah masa depan bangsa. Tidak berjangka pendek sesuai dengan keinginan pemegang tampuk kekuasaan. “(Pasca-reformasi) Kita tidak punya GBHN yang menjadi platform, supaya bangsa ini berjalan sesuai philosofische grondslag (falsafah dasar). Tidak boleh sesuai maunya yang terpilih dalam pemilu, jika paradigmanya yang terpilih ini keluar dari cita-cita pendiri bangsa, susah kembali, karena mereka punya power,” urai Haedar.
Ketiga, Pancasila tidak perlu lagi ditafsir-tafsir sesuai maunya kelompok, yang suka atau yang tidak suka. Semuanya dalam bingkai darul ahdi wa syahadah (negara kesepakatan dan tempat persaksian). Sila-sila dalam Pancasila harus bisa mengkonstruksi kebijakan negara, menghadapi kesenjangan sosial. Termasuk misalnya kebijakan pajak yang harus sesuai Pancasila. “Pajak sekarang sudah absolutly capitalism. Banyak masalah yang perlu dibenahi. Misalnya, TK ABA yang hidupnya susah, jadi objek pajak. Pesantren juga sama.” Seharusnya ada perbedaan kebijakan yang dikenakan pada lembaga profit yang mencari keuntungan semata dan lembaga nonprofit semisal usaha pelayanan sosial yang dijalankan Muhammadiyah.
Keempat, mencari titik temu dari kerancuan sistem ketatanegaraan dan sistem politik kita. “Lihat dari hulu, jangan dari hilir. Pemilu kita ada masalah. Mau diulang tidak? Lihat hulunya yaitu sistem Presidential Treshold 20% selain juga kekuatan oligark.” Dengan kebijakan itu, maka yang bisa menentukan kebijakan bangsa hanyalah segelintir pemegang kekuasaan dan pemilik modal. “Meskipun kami (ormas) banyak konstribusi, tapi yang memegang hitam putih negeri hanya para oligarkhi dan partai politik. Ketika ada masalah, baru Muhammadiyah dan NU dipanggil untuk memadamkan api.”
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah berpendapat serupa. Menurutnya, keteladanan dari para tokoh bangsa perlu dihidupkan kembali. Selain itu, semua elemen bangsa juga perlu kembali pada penghayatan Pancasila. “Pancasila lebih banyak dibicarakan, tidak banyak dijalankan.” Kondisi ironi ini membuat kondisi bangsa terus diliputi berbagai masalah. Tentang pencalonan presiden, menurutnya, ambang batas tiga persen semisal pada Pilpres 2004, bisa dipertahankan.
Gus Solah juga menyoroti pentingnya jabatan tinggi negara dipegang oleh para profesional dan tokoh yang punya visi, tidak berdasar asas nepotisme. Dirinya tidak meragukan adanya perwakilan partai yang ahli, namun Gus Solah meragukan apakah utusan partai itu bisa bersikap dewasa dan melampaui baju partai. Jabatan-jabatan strategis harus bebas dari kepentingan. “Semua tergantung pada tegaknya hukum. Selama jaksa agung itu orang partai, tidak akan menegakkan hukum,” tukas Gus Solah dalam kegiatan yang turut dihadiri Busyro Muqoddas, Agung Danarto, Siti Noordjannah Djohantini, mantan Rektor UNY Rochmat Wahab, dan tamu lainnya. (ribas)