YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Madrasah Muallimin Muhammadiyah bekerjasama dengan uara Muhammadiyah menggelar bedah buku Kuliah Kemuhammadiyahan Jilid 1 & 2. Acara tersebut dilaksanakan di Aula Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dengan menghadirkan Ahmad Muarif SPdI, MPd dan Ikhwan Akhada SAg, MA sebagai pembicara pada Rabu (24/7).
Bedah buku Kuliah Kemuhammadiyahan Jilid 1 & 2 yang biasa dikaji oleh mahasiswa di Perguruan Tinggi Muhammadiyah & Aisyiyah, pada acara ini dihadiri oleh 156 siswa tingkat akhir Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Menurut Anton Ismunanto, yang merupakan pengajar Madrasah Muallimin, mengungkapkan bahwa hal tersebut karena kepentingan ideologis, yang dimana pelajaran kemuhammadiyahan merupakan pelajaran wajib yang ada di Madrasah Muallimin.
“Rangkaian Kemuhammadiyahan di Madrasah Muallimin panjang, tidak hanya pelajaran di dalam kelas, nanti ada Darul Arqamnya terus kemudian ada pertemuan ujian dari tokoh-tokoh dan lain sebagainya. Maka fungsinya selain pelajaran, stadium general itu memang fungsi pengkaderan dan termasuk kegiatan buku tersebut,” terang Anton.
Menurut Ahmad Muarif di sesi pertama, ia mengungkapkan bahwa bedah buku Kuliah Kemuhammadiyahan kali ini tidak lepas dari materi atau pelajaran Kemuhammadiyahan. Kajian Kemuhammadiyahan itu sendiri merupakan bagian dari Kajian Islam atau Islamic Studies. Studi Kemuhammadiyahan selama ini masuk dalam kerangka studi Islam dari berbagai pendekatan dan metodologi, baik itu dari sisi normatifitas dan historis.
Tak hanya itu, Muarif mengungkapkan peran Madrasah Muallimin sebagai Amal Usaha peninggalan KH Ahmad Sebagai madrasah pengkaderan di Persyarikatan.
“Madrasah Muallimin merupakan salah satu amal usaha Muhammadiyah peninggalan KH Ahmad Dahlan selain Suara Muhammadiyah, PKU dan lain sebagainya. Perkembangan Muallimin sangat luar biasa, ini tidak lepas dari peran khususnya Muallimin sebagai lembaga pendidikan kader di bawah langsung Pimpinan Pusat Muhammadiyah,” ujar Muarif.
Saat sesi kedua pembicara, Ikhwan Akhada yang merupakan pengajar Kemuhammadiyahan di Madrasah Muallimin mengangkat kegelisahan yang terjadi di Peryarikatan Muhammadiyah khususnya di dunia akademik Perguruan Tinggi Muihammadiyah. Tak hanya itu, dengan mengutip hasil riset dari Saiful Mujani Research & Consulting, Ahada menyampaikan bahwa hasil survey tersebut menunjukan hanya 3,4% responden yang menyatakan diri merupakan bagian dari Persyarikatan Muhammadiyah.
“Berawal dari kegelisahan-kegelisahan Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang notabane-nya menjadi media, alat persemaian kader Muhammadiyah, tetapi realitasnya kurang bisa mendapatkan tempat atau kurang bisa melahirkan kader-kader militan. Lalu refleksi itu muncul bisa jadi karena belum bisa memberikan amunisi yang cukup, sehingga ketika lulus dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah, belum siap jadi kader yang paham,” terang Akhada.
Bagi Ikhwan Ahada, hadirnya buku ini bisa menjadi salah satu upaya dalam menjawab kegelisahan-kegelisahan di kalangan Persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri. (dnx)