YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Muktamar Muhammadiyah 2010 dan 2015 mengamanahkan pada Majelis Tarjih untuk menyusun Risalah Islamiyah, yang terintegrasi dan mencakup semua bidang kehidupan: akidah, ibadah, muamalah, akhlak. Dalam rangka itu, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyelenggarakan Seminar Nasional Risalah Akhlak Islam Reflektif/Filosofis, pada 22 Agustus 2019, di Pusat Tarjih UAD Yogyakarta.
Turut hadir sebagai pembicara dalam seminar kali ini antara lain Dr Muhammad Damami yang memaparkan tentang konsep akhlak; Dr Hamim Ilyas menjabarkan tentang manusia sebagai makhluk ciptaan Allah; Dr Aris Fauzan menjelaskan indra batin manusia dan fungsinya; Dr Ustadi Hamsah tentang tujuan hidup manusia; Prof Musa Asy’ari terkait peran dan tanggung jawab manusia; Dr Achmad Charris Zubair tentang konsep kebaikan dan keburukan; serta Dr Izza Rohman menguraikan kategori kebaikan dan keburukan.
Dalam pembukaannya, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Dr Mohammad Mas’udi menyatakan bahwa Muhammadiyah dituntut untuk menggali nilai-nilai Islam untuk dituangkan dalam suatu rumusan yang menjadi pedoman dan tuntunan, bagi umat Islam dan warga Muhammadiyah.
Risalah akhlak yang disusun, kata anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Ruslan Fariadi, mengambil dua bentuk. Pertama, risalah akhlak yang berbentuk pendekatan reflektif/filosofis. Kedua, risalah akhlak Islam yang berbentuk pedoman aplikatif/praktis tingkah tingkah laku. Keduanya saling melengkapi sebagai kesatuan yang selaras.
Muhammad Damami mengingatkan tentang hadis populer bahwa Nabi diutus untuk memperbaiki akhlak. Akhlak yang hanya berlaku pada manusia, diibaratkan sebagai buku panduan dari sang pencipta manusia supaya manusia bisa terjaga dan awet. Damami membagi akhlak menjadi dua: akhlak bersifat autentik yang melekat dan akhlak bersifat kognisi yang ilmiah (Ilmu Akhlak).
Menurutnya, penyebab redupnya cahaya akhlak adalah karena konsep yang terlalu jenuh sehingga kurang fungsional serta kurangnya pembiasaan. “Fungsionalisasi akhlak tidak supaya tidak sekadar pengetahuan, tapi harus dipraktekkan,” ujarnya. Oleh karena itu, risalah akhlak Islam ini diharapkan berbentuk konsep ringkas, mudah dipahami, efektif, dan fungsional.
Pengamalan akhlak dimaksudkan supaya menjadi kebiasaan yang diinternalisasi dan diobjektivikasi dalam kehidupan masyarakat. “Kata Kuntowijoyo, objektivasi itu adalah menjabarkan ide dalam ajaran Islam yang oleh orang luar menganggap itu tidak dari islam. Sehingga diterima sebagai aksi umum, tanpa dicurigai, tanpa embel-embel Islam.” Damami mencontohkan ketika Muhammadiyah berhasil memasyarakatkan kata ‘keluarga sakinah’.
Hamim Ilyas menjelaskan tentang fakta penciptaan manusia dan peranannya di muka bumi. Dalam diri manusia terdapat unsur fisik dan nonfisik. Setelah diciptakan dalam wujud terbaik, manusia diberi potensi. “Manusia itu makhluk dinamis, bukan makhluk yang statis.” Potensi itu menjadi kodrat wujud manusia. Penciptaan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi bertugas untuk menyelenggarakan kehidupan yang baik di muka bumi sesuai dengan kodrat-kodrat yang dimiliki.
Setidaknya ada delapan kodrat potensi manusia, menurut Hamim, yaitu sebagai makhluk kebudayaan, makhluk pengertian, makhluk merdeka, makhluk sosial, makhluk ekonomi, makhluk tata aturan, makhluk spiritual, dan makhluk konflik.
Hamim menekankan kodrat manusia sebagai makhluk merdeka yang punya kehendak bebas, sehingga bisa memilih dan menentukan nasibnya sendiri. Demi kebaikan hidup bersama, kemerdekaan manusia harus dikelola dengan baik, sesuai dengan petunjuk-Nya. Kebebasan individu tidak boleh melanggar aturan dan kepentingan publik.
“Kehendak bebas atau kodrat kemerdekaan manusia dalam QS. Al-Ahzab: 72 disebut dengan amanah.” Mengutip pandangan Jalaluddin Rumi, amanah itu adalah kehendak bebas, bebas menentukan nasibnya dan harus menerima akibat atau bertanggung jawab dari apa yang dipilih. Oleh karena itu, penyusunan risalah akhlak Islam ini harus berintegrasi. “Akhlak harus menghargai kemerdekaan manusia,” ujarnya. Akhlak untuk mewujudkan hayah thayyibah (kehidupan yang baik). Jika potensi kodrat ini difungsikan, manusia bisa mengetahui baik dan buruk.
Al-Qur’an menyatakan supaya manusia jangan mengkhianati amanah. Semisal amanah sebagai khalifah, sebagai ummatan wasathan. Makna ummatan wasathan, kata Hamim, adalah fastabiqul khairat, bukan berlomba tapi kalah, namun menjadi terdepan atau terbaik dalam semua bidang kebaikan. Hamim menyebut bahwa iman dan amal shaleh disebut dalam 45 tempat di Al-Quran. “Amal shaleh itu perilaku hidup baik. Perilaku baik melahirkan masyarakat yang baik.”
Aris Fauzan menjabarkan tentang konsep hati manusia dalam Al-Qur’an, meliputi term qalb, fuad, dan lubb. Dalam konteks Islam, peran utama dalam diri manusia adalah hati. Dalam keyakinan Islam, hati menjadi sebab atas kebaikan dan keburukan diri seseorang, baik jasmani maupun rohani. Tubuh manusia terdiri dari jasad, jiwa, dan spirit (nyawa). Menurutnya, hati perlu dididik untuk menjadi baik dan mencapai kedekatan dengan Allah. Hati menjadi pusat kepribadian manusia.
Menurut Aris, akhlakul karimah haruslah akhlak yang bersifat logis, rasional, sistematis, empiris, dan komprehensif. (ribas)