Rona Wajah Muhammadiyah

Rona Wajah Muhammadiyah

Judul                : Reimagining Muhammadiyah, Islam Berkemajuan dalam Pemikiran dan Gerakan

Penulis             : Ahmad Fuad Fanani

Ukuran             : 14 x 21 cm

Tebal buku      : xxxviii + 190 hlm

Cetakan           : 1, Januari 2018

Penerbit          : Suara Muhammadiyah

Muhammadiyah yang multi wajah selalu menarik untuk dilihat dari beragam sudutnya. Di Aceh yang merupakan ujung barat Nusantara, Muhammadiyah masih dianggap sebagai gerakan puritan. Wajahnya diidentikkan dengan Wahabi. Karena dianggap “ancaman”, ia divonis menimbulkan perpecahan di masyarakat. Tak heran bila cikal bakal bangunan Masjid Muhammadiyah di Bireuen menjadi sasaran pembakaran warga.

Adapun di ujung timur Indonesia, tepatnya di Papua dan sekitarnya, Muhammadiyah merupakan ormas yang dikenal sangat terbuka dan inklusif. Lembaga-lembaga Muhammadiyah di Indonesia Timur menjadi garda terdepan pencerdasan bangsa tanpa melihat latar belakang suku dan agama. Dengan kata lain, mereka dipercaya luas oleh semua kalangan. Sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah diminati oleh kalangan nonn-Muslim yang mayoritas di sejumlah daerah di sana. Merekalah yang dijuluki sebagai Krismuha (Kristen-Muhammadiyah).

Di pusat tradisi kejawen, Jawa Tengah, Yogyakarta dan sekitarnya, beberapa basis Muhammadiyah dikenal sangat “membudaya,” melebur dengan tradisi lokal yang diwariskan leluhur. Tentunya dengan tetap selektif dan kadang kala mengisi dengan alternatif nilai-nilai Islam. Tidak sulit menemukan grup karawitan Muhammadiyah dan Aisyiyah. Dakwah kultural menggeliat dalam laku. Majelis Dikdasmen DIY bahkan rutin mengadakan Olimpiade Budaya Jawa (OBJ).

Di Yogyakarta, Jakarta, Malang dan Solo, para intelektual muda Muhammadiyah terus bermunculan, membawa harapan besar menuju ke arah kemajuan. Para pemikir progresif ini senantiasa menawarkan gagasan-gagasan baru yang cemerlang dan mencerahkan. Mereka terlibat dalam kegiatan intelektual dan kerja di ruang sunyi.

Di beberapa tempat lainnya, aktivis muda Muhammadiyah yang cenderung bersimpati pada arus kanan juga eksis. Kalangan salafi mulai masuk dan ikut mewarnai Ma’had ‘Ali yang dimiliki kampus Muhammadiyah. Mereka bersemangat untuk menghidupkan sunnah yang berorientasi salaf dan masa lalu. Mereka juga sibuk menghidupkan sunnah nabi yang yaumiyah dalam dimensi kemanusiaan dan budaya, umpamanya urusan tidur, makan, minum dan berpakaian. Namun, sebagai akibatnya, tak jarang mereka melupakan sunnah besar Nabi sebagai pelaku sejarah (syuhada’ ala al-nas) dalam membangun peradaban dan membawa umat ke arah kemajuan.

Buku ini mencerminkan pemikiran Ahmad Fuad Fanani sebagai seorang kader muda Muhammadiyah yang telah melanglang buana sebagai aktivis organisasi di angkatan muda Muhammadiyah, yang dipadukan dengan latar belakangnya sebagai seorang akademisi. Tak heran bila pandangannya terasa lebih kaya dan menawarkan perspektif baru. Ia menguraikan dinamika Muhammadiyah dalam pergulatan realitas membangun masyarakat madani. Buku ini memberi rambu-rambu pada Muhammadiyah untuk tidak terlena dengan semua capaian kemoderenan dan kebesaran sejauh ini.

Buku ini menggambarkan Muhammadiyah dalam satu dasawarsa terakhir, sekaligus orientasinya di abad kedua. Juga soal arah gerak Muhammadiyah dalm membangun umat dan bangsa. Dibahas pula peran Muhammadiyah dalam menjadi motor gerakan keilmuan hingga ekonomi umat. Tema-tema lainnya mencakup aktivisme sosial yang memihak mustadl’afin, Muhammadiyah di tengah pusaran masalah identitas, tarik-menarik kuasa dan politik hingga tantangan kemanusiaan global.

Penulis buku ini berusaha memaknai Islam Berkemajuan dalam aspek yang menjadi ranah gerak Muhammadiyah. Guna mengejawantahkan spirit Islam Berkemajuan, mutlak dibutuhkan usaha bersama untuk senantiasa melakukan reinterpretasi, reimagining, reformulasi, rekontruksi, dan revitalisasi. Sehingga Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, tidak kehilangan ciri khasnya, baik dalam gerakan maupun pemikiran.

Sebuah pengantar dari Prof Din Syamsuddin menambah bobot buku ini. Menurutnya, kelangsungan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Berkemajuan dapat diukur dari nilai, struktur, dan kultur yang menjadi tridimensi perubahan. (Muhammad Ridha Basri)

Exit mobile version