Oleh: Prof Philip K. Widjaja
Tidak bisa kita tutup mata, bahwa sejarah manusia di permukaan bumi ini adalah sejarah manusia yang terus menerus melakukan migrasi, sampai pada hari ini, dan belum terlihat ada kemungkinan untuk menghentikannya. Bila kita perhatikan geraknya sosial budaya akan mencerminkan juga geraknya manusia di setiap wilayah di permukaan bumi ini, yang kemudian membentuk kelompok-klompok, mungkin mulai dari suku, komunitas lebih besar lagi dan menjadi kerajaan maupun negara. Apa yang kita lihat batas-batas yang membentuk negara-negara hari ini juga sedang terjadi peretakan atau penggabungan. Perbedaan yang diusung akan ciptakan perpecahan, kesamaan yang dijunjung akan ciptakan kesatuan.
Derasnya aliran informasi pada hari ini, ada puluhan, ratusan bahkan ribuan kali lebih cepat dari abad lalu, aliran informasi membawa serta pengetahuan, perdagangan, tidak ketinggalan juga agama, sosial dan budaya. Mampukah Manusia membelenggu diri dari perubahan itu? Jawabannya adalah tidak mungkin dan tidak mampu. Perubahan bukan dari barat ke timur, bukan utara ke selatan, tapi perubahan terjadi karena saling pengaruh dan melebur.
Dengan demikian, Indonesia yang Bhinneka adalah keindahan, mosaik dari berbagai etnis, budaya, agama, dan kemampuan. Bila semua kebhinnekaan ini mampu kita jaga bersama dan satukan tujuan untuk negeri tercinta ini, tentu Indonesia akan sangat cepat mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang paling maju di dunia, dan pada satu waktu bahkan bisa memimpin bidang sosial, budaya, dan ekonomi dunia.
Toleransi Antar Umat Beragama
Agama adalah hal yang paling mudah dipakai sebagai isu untuk sebuah gerakan politik, di samping kesenjangan ekonomi dan perbedaan etnis. Kita bisa lihat hiruk-pikuk acara yang terkait dengan Pilkada DKI. Propaganda tentang Indonesia dapat kita lihat di media dunia, sama seperti yang kita dengar di dalam negeri. Kemajuan teknologi informasi membuat hal yang sangat kecil yang terjadi diketahui orang di seberang benua dari pada kita di sebelahnya. Maka, sebetulnya seluruh manusia global hidup pada sebuah standar etika dan morality dalam bersosial budaya secara global. Kita sulit bisa menciptakan sesuatu hal yang tidak bisa diterima oleh orang lain. Itu bagian dari berdemokrasi.
Sebuah negara ditegakkan dengan Hukum, maka hukum negara adalah hukum yang diperlukan untuk proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalipun ada individu bahkan seorang kepala negara berpendirian melawan hukum, maka tetap saja hukum yang akan ambil alih untuk kebenaran. Kita lihat banyak kasus di dunia, sekalipun Donald Trump sang Presiden mendeklarasikan sesuatu yang diskriminatif, badan hukum (Hakim Tinggi) di Amerika langsung membatalkannya.
Toleransi di Indonesia sebenarnya cukup menarik perhatian dunia, sejarah yang panjang sekalipun berpasang surut, sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kemampuan bertoleransi ini merupakan kemenangan umat Muslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik. Dalam diskusi di forum internasional, dan juga Interfaith Dialogue yang diprakarsai Indonesia kemudian diselenggarakan di manca negara, Indonesia tetap dihormati sebagai negara yang sukses menjaga keharmonian antar umat beragama.
Negara ini didirikan oleh seluruh rakyat Indonesia, yang mana Muslim adalah mayoritas. Dalam perjuangan yang panjang sebelum merdeka dan setelah merdeka, tujuan selalu untuk Indonesia, termasuk seluruh komponen yang dikandung. Lahirnya Pancasila, UUD 45, adalah bukti dan komitmen paling kuat seperti apa Indonesia yang bertoleran dan bersatu.
Dalam perjalanan bangsa, ada dinamika sosial, budaya, agama yang terjadi dari waktu ke waktu. Karakter toleransi bangsa inilah yang mampu mengembalikan kondisi yang kurang baik, yang mampu meredakan percikan api akibat gesekan, dan kembali pada kehidupan yang rukun dan damai. Tokoh –tokoh agama mempunyai peran sangat penting, karena mereka adalah pimpinan yang dihormati dan dianut oleh umatnya.
Dengan demikian, toleransi wajib kita miliki. Untuk mencapai toleransi – termasuk toleransi antar umat beragama, perlu dibangun niat untuk lakukan komunikasi, dilanjutkan saling pengertian dengan jujur, saling menghormati dengan etika dan morality, maka akan lahirlah toleransi yang long lasting.
Sejarah Pecah Belah
Oktober 1740, petani di sekitar Batavia memberontak pada penjajah, 6000 rumah mereka dijarah dan dibakar, Gubenur General Adrian Volckanier memerintahkan pembantaian, 500 orang Tionghoa tahanan di balaikota dibunuh seluruhnya. Pembunuhan dilanjutkan ke seluruh kota Batavia sehingga sungai-sungai menjadi merah oleh darah sekitar 10.000 orang Tionghoa. Nama Angke yang masih dipakai hingga kini (Sungai Merah) mengandung kepedihan yang tidak mungkin dihapus, dalam peristiwa yang dicatat sebagai Geger Pecinan.
September 1825, meletus peristiwa rasial pembantaian Tionghoa di Ngawi, jumlahnya tidak tercatat secara utuh namun di mana-mana potongan tubuh anak-anak dan wanita berserakan. Peristiwa serupa berulang pada tahun 1912 di Solo, 1918 di Kudus, 1946 di Tangerang lanjut Bagan Siapiapi, 1947 di Palembang.
Pemberontakan G-30-S tahun 1965, Tiongkok yang sangat Komunis di kala itu dianggap ikut berperan, maka kembali Tionghoa di Indonesia yang menanggung resikonya. Antara lain pembantaian 1967 di Kalimantan Barat. Yang belum jauh dari ingatan adalah peristiwa Mei 1998 yang sampai saat ini belum terbuka pelakunya.
Permulaan sebab dari rasialis ini tidak dapat dipisahkan dari perpisahan identitas, Tionghoa yang digariskan sebagai pendatang oleh penjajah, dan selalu menanggung akibatnya, karena dijadikan kambing hitam dalam isu sosial politik dan sebagainya yang menjurus kepada kekerasan dan masalah sosial.
Penghapusan Sejarah dan Pemungutan Kembali
Kalau begitu, apakah memang Tionghoa hanya menjadi sebuah kelompok etnis yang asing bagi Bangsa Indonesia ? Tentu saja tidak dan hal ini sulit untuk dipercaya. Bagaimanapun, etnis apapun adalah baik, walaupun terkadang ada seglintir darinya yang tidak menyenangkan dan dianggap sebagai ekstrim, oleh etnisnya sendiri maupun oleh kelompok lain yang memandangnya. Penjajah dengan cerdik menciptakan pagar pemisah, dan menciptakan adu domba untuk mengukuhkan kekuasaan di tanah jajahannya. Sayang sekali kondisi ini tidak mudah dihilangkan seketika, bahkan masih banyak pihak berupaya menggunakan warisan penjajah ini. Lebih runyam lagi, siapapun yang dikucilkan, diasingkan, akan membuatnya makin merasa di luar lingkungan. Tentu hal ini bukanlah yang kita inginkan.
Menggunakan warisan strategi memecah-belah ini dapat dilihat dari serangkaian langkah sistemik dalam masa Orde Baru, di mana serangkaian regulasi yang diskriminatif dikeluarkan dan pembenaman sejarah Tionghoa dalam berkontribusi di masa lampau dihilangkan. Oleh karena itu, pemungutan dan penyusunan kembali sejarah yang sesuai adalah sangat mendesak diperlukan, untuk mendudukkan sejarah apa adanya dan mewariskan kepada generasi muda guna melanjutkan perjuangan bersama-sama membangun bangsa ini, bukan tenggelam dalam pertikaian oleh kesalahan pengertian.
Sejarah keterlibatan Tionghoa dalam sejarah pembentukan ormas Islam di tanah air sudah sangat jelas. Hal tersebut sebetulnya sangat wajar karena pada abad ke-15 Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok yang seorang Muslim, membawa armada perdagangannya yang terbesar di dunia waktu itu, tujuh kali turun ke Indonesia bahkan meneruskan sampai Timur Tengah dan Madagaskar, di era yang sama beberapa generasi Walisongo juga mulai menyebarkan agama Islam ke Pulau Jawa. Sehingga banyak versi cerita bahwa sebagian dari Walisongo adalah Muslim dari Tiongkok.
Banyaknya Muslim dari Tiongkok bukanlah hal baru. Utusan kekalifahan ke Tiongkok menghadap Raja di Dinasti Tang waktu itu sudah terjadi di abad ketujuh, sementara Islam menyebar masuk Indonesia di abad ke-14. Memasuki abad ke-20, Tionghoa yang memeluk agama Islam makin banyak, dan wajar saja bila ada di antaranya mempunyai kontribusi nyata dalam membangun komunitas Islam di Indonesia.
Untuk Indonesia yang Maju
Melalui gambaran yang diuraikan di atas, tibalah saatnya kita menata kembali sejarah, memandang kebenaran sejarah, mendorong hal-hal yang positif, menghindari terulangnya hal-hal yang gelap, mewariskan sejarah yang benar kepada generasi penerus sebagai tanggung jawab kita.
Perlu disetarakan kembali kedudukan dan status sosial Tionghoa di Indonesia, sama derajatnya dengan duduk sama rendah berdiri sama tinggi, untuk tidak tenggelam dalam kecurigaan, apalagi pertikaian yang diinginkan oleh sekelompok manusia yang punya tujuan khusus.
Politik adu domba dan pecah belah adalah strategi yang dipakai penjajah. Sekarang Indonesia telah merdeka, sudah selayaknya kita tidak lagi menggunakan strategi tersebut pada bangsa kita sendiri. Mari kita bersama menuju Indonesia yang Maju!
———
Prof. Dr. Philip K. Widjaja, Ketua Bidang Hubungan Internasional DPP WALUBI
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Edisi Nomor 11 tahun 2017