Revolusi industri 4.0 atau yang lebih dikenal dengan era digital benar saja datangnya. Hari ini semua orang merasakan kehadiran zaman tersebut. Yaitu sebuah zaman yang dengan cepat mampu merubah kebiasaan, budaya bahkan merubah peradaban dunia dalam waktu yang sangat singkat.
Lalau bagaimana Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern harus bersikap guna merespon era milenial ini? Simak petikan wawancara Suara Muhammadiyah bersama Irfan Amalee, Anggota MPI PP Muhammadiyah yang juga Fonder Peace Generation Indonesia berikut ini.
Seperti apa peta era milenial ini?
Ke depan yang paling menonjol adalah artificial intelligence (kecerdasan buatan), karenanya data base menjadi garansi sekaligus dasar untuk melakukan segala sesuatu. Sebegitu pentingnya data base, hari ini kita bisa melihat bahwa semua pebisnis besar merapat kepada perusahaan berbasis data, sebab para pebisnis memerlukan big data. Saya kira sudah saatnya Muhammadiyah mengejar hal ini agar apapun keputusan yang akan dikeluarkannya berdasarkan kepada data, bukan sekedar aspirasi pimpinan maupun anggota. Juga agar Muhammadiyah tidak terlampau ketinggalan dengan yang lain. Jadi siapa pemegang big data, dialah yang akan menjadi pemenang di era milenial ini.
Bagaimana respons Muhammadiyah?
Melihat kondisi yang ada, sepertinya Muhammadiyah masih terpisah antara dua generasi, yaitu generasi tua dan generasi muda. Di satu sisi generasi tua masih merasa nyaman dengan kondisi yang ada. Wajar mereka merasa nyaman sebab secara kasat mata Muhammadiyah memiliki aset fisik yang cukup banyak. Tapi ingat, jika dibandingkan dengan aset non fisik dalam hal ini adalah big data, tentu aset fisik milik Muhammadiyah tersebut menjadi tidak penting dan tidak berarti apa-apa di masa yang akan datang.
Benarkah di era milenial ini aset fisik menjadi tidak penting?
Hari ini kita bisa menyaksikan kelahiran perusahaan-perusahaan besar yang hanya bermodalkan data base bisa mengalahkan perusahaan lain yang jelas-jelas memiliki fisik yang lebih nyata bahkan terkesan megah. Di antaranya ada Airbnb jaringan hotel terbesar di dunia yang sama sekali tidak bangunan hotel satupun. Bahkan keberadaanya mampu mengalahkan Hilton group yang bangunan hotelnya ada di berbagai negara. Kalau dalam dunia pendidikan ada ruangguru.com yang muridnya mencapai 6 juta orang. Mereka tidak memiliki satu pun ruang kelas dan bangku, tapi kehadiranya sudah bisa mengalahkan beberapa sekolah unggulan Muhammadiyah meski secara fisik mmiliki gedung yang memadai.
Saya kira situasi ini persis dialami oleh perusahaan besar blue bird, yang mereka itu kelabakan setelah lahirnya jasa transportasi online. Barangkali dulu pemilik perusahaan jasa itu beranggapan bahwa mereka tidak akan kalah oleh perusahaan manapun, kecuali perusahaan yang jumlah modalnya melebihi aset mereka. Tapi nyatanya justru kini mereka tersisih oleh perusahaan transportasi online yang sama sekali tidak memiliki satu pun aset fisik. Akhirnya blue bird pun mengakui kesalahan tersebut dan kini mereka berubah walau sudah telat dan susah untuk bisa kembali bersaing dengan perusahaan pendatang baru yang basisnya tidak lain adalah big data.
Sekali lagi, hal-hal yang fisik bisa melenakan, padahal sejatinya Muhammadiyah sedang digrogoti oleh zaman dan oleh mereka yang menyesuiakan diri dengan zaman.
Mengapa Muhammadiyah terlena dan gagap merespons perubahan?
Bisa jadi keterlenaan Muhammadiyah yang menganggap semua masih nyaman dengan apa yang dimiliki sekarang itu lebih dikarenakan Muhammadiyah kurang bisa menerima perubahan itu sendiri. Terkadang sebagian warga dan pimpinan Muhammadiyah masih beranggapan bahwa kecanggihan era digital, seperti adanya medsos, adalah bukan hal nyata dan bersifat maya. Menurut saya itu pemahaman yang keliru. Mari kita bandingkan, mana yang lebih mengena dan mudah diterima, dingat, dan dibagikan antara ceramah langsung ke pelosok-pelosok dengan memanfaatkan dakwah lewat digital? Dari dakwah langsung tersebut berapa orang yang benar-benar menyerap? Jangan-jangan pengajian atau kegiatan dakwah yang ada sekedar formalitas saja. Sedang dengan menggunakan fasilitas digital, pesan yang disampaikan lebih luas, yang mendengarkan juga atas keinginan sendiri untuk mendengarkannya, juga bisa diputar ulang bahkan bisa dibagikan berkali-kali kepada yang lain. Kalau demikian adanya, justru saya ingin balik bertanya, lalu manakah sebenarnya yang lebih nyata dan manakah sebenarnya yang lebih maya?
Bagaimana cara Muhammadiyah mengejar ketertinggalannya ini?
Paling mendasar adalah mengubah cara berfikir lama kepada cara berfikir era milenial. Diantaranya pertama, mengubah cara berfikir dari majelis taklim menjadi platform, sebab persebaran informasi tidak lagi dari mimbar ke mimbar tapi sudah berbasis online. Kedua, mengubah mustami’ (pendengar) menjadi viewer. Hari ini da’i sejuta umat sudah terkalahkan oleh keberadaan da’i 38,4 juta viewer (umat). Ketiga, karena generasi milenial adalah generasi yang mengedepankan jaringan, maka perlu mengubah intruksi menjadi persuasi. Ada sebuah studi yang mengatakan bahwa generasi X itu 54 persen masih mendengarkan orang yang dianggap senior, punya otoritas, tapi generasi Y (generasi milenial) hanya 16 persen yang percaya pada otoritas.
Terakhir, adalah mengubah retorika menjadi narasi. Kesemuanya itu nantinya akan menjadi maksimal jika timing (penjadwalan) dan packaging (kemasan) baik juga tepat. Sebab sebaik apapun isi pesan yang diberikan, jika timing kurang tepat dan pakaging kurang baik, maka hasilnya kurang menarik dan tidak maksimal.
Selanjutnya adalah mempersiapkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang benar-benar matang yang menguasai IT dan dunia digital. Sebagian besar mereka adalah anak muda tentunya. Tugas utamanya adalah membuat narasi-narasi alternatif sebagai wujud respon terhadap narasi-narasi pro dan kontra yang sudah berkembang sebelumnya. Saya kira alternatif narasi itulah yang sedang diperlukan dan Muhammadiyah memulai mengarungi era digital dengan mencoba membangun narasi-narasi alternatif. Hal ini sangat sejalan dengan prinsip Muhammadiyah sebagai organisasi Islama tengahan yang peranya tidak lain adalah sebagai alternatif narasi itu sendiri. (gsh)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 14 tahun 2018