JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan orasi budaya dalam Haul Nurcholish Madjid ke-14, yang berlangsung di Hotel Century Park Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2019. Selain keluarga Cak Nur, sejumlah tokoh dan cendekiawan juga hadir dalam forum ini, antara lain Akbar Tanjung, Komaruddin Hidayat, Ulil Abshar Abdalla, Yudi Latif, Budi Munawar Rachman, Franz Magnis Suseno, Siti Ruhaini Dzuhayatin.
Haedar Nashir menyampaikan paparan bertema “Moralitas Luhur dan Kreativitas Tinggi untuk Indonesia Kita”. Menurutnya, keteladanan Cak Nur patut dihadirkan kembali dalam situasi kebangsaan hari ini. Cak Nur mencontohkan tentang pentingnya melihat suatu masalah dengan pandangan komprehensif, kedewasaan, dan kesediaan berdialog dengan siapapun yang berbeda, tanpa harus bermusuhan.
Cak Nur, kata Haedar, selalu santun menghadapi para pendebatnya serta tidak pernah menghakimi. “Cak Nur tidak pernah menghakimi orang dan pihak yang berbeda pemikiran yang boleh jadi perbedaan itu masih dalam koridor keislaman, keindonesiaa, dan kemanusiaan universal.” Bagi Cak Nur, pemikiran-pemikiran berbeda penting untuk didengar, karena persoalan masyarakat tidak bisa diselesaikan dengan perspektif tunggal. Pandangan tunggal tidak menghasilkan solusi, tetapi justru memperkeruh masalah.
Perspektif tunggal persis seperti perumpamaan orang buta yang diminta memegang gajah. Melihat persoalan hanya dari perspektifnya sendiri dan merasa yakin bahwa perspektifnya yang paling benar. Masing-masing memiliki gambaran tersendiri tentang gajah, tergantung bagian apa dari tubuh gajah yang dipegang. Oleh karena itu, dibutuhkan multiperspektif dalam melihat persoalan.
Kesediaan mendengarkan pendapat berbeda merupakan bagian dari ketinggian intelektualitas yang memperluhur etika. Haedar menyebut hal ini sebagai khazanah kita sejak lama, semisal perdebatan yang luar biasa antara Soekarno (nasionalis) dan Ki Bagus Hadikusumo (islamis) dengan gagasan intelektual, moralitas, dan kreativitas yang tinggi. “Ini kekayaan yang harus kita rawat, kita jaga, dan titik pijak bagi kita ketika melangkah ke depan,” ujar Haedar.
“Itu artinya ilmu bukan sekadar kognisi dan retorika yang memperindah retorika, tapi juga menyinari perilakunya. Sikap seperti ini lah yang diperlukan untuk membaca Indonesia hari ini.” Haedar mencontohkan permasalahan Papua, jangan-jangan ada akumulasi dari sesuatu masalah yang tidak pernah diselesaikan dan hanya dipendam selama ini. Dalam kasus Papua, Haedar mengajak pemangku kebijakan dan semua pihak untuk terbuka melihat masalah secara mendalam, tidak sekadar persoalan ruang lokasi. Tidak disimplifikasi hanya karena satu kata ejekan. “Di situ ada jiwa, ada pikiran, ada perasaan, ada crossing of interest.”
Dalam segenap perbedaan, ungkap Haedar, kita perlu berpegang pada konsensus atau titik temu. Guna mencapai titik temu (yang sering disebut Cak Nur dengan kalimatun sawa), diperlukan dialog. Sila keempat sebagai substansi demokrasi kerakyatan harus dipedomani dan dicarikan format terbaik untuk kemaslahatan bangsa. “Indonesia tidak final, dia terus berproses dalam dinamika dan dialektika yang memperkaya kita,” ulasnya. Para pemimpin harus bisa membaca dinamika. Dari setiap pandangan itu, perlu diambil yang terbaik.
“Dialog itu perlu kultur saling berbagi, saling peduli, dan kesediaan berpindah posisi,” kata Haedar. Kesediaan berdialog menandakan kematangan akal seseorang. Itulah intelektual yang mencerahkan hati. “Orang yang tercerahkan, dia mau mendengar oposisi, dan siapapun yang berbeda.” Guna bisa memajukan bangsa, Haedar mengajak semua pihak untuk berhenti mengeluh dan saling menyalahkan, yang berdampak pada munculnya berbagai energi negatif.
Haedar Nashir sempat menceritakan beberapa pengalamannya berinteraksi langsung dengan almarhum Nurcholish Madjid. Dalam sebuah forum pengajian pimpinan Muhammadiyah, Cak Nur diundang untuk memberikan ceramah. Ketika itu terjadi diskusi panjang yang bermutu antara dua intelektual: Nurcholish Madjid dan Ahmad Azhar Basyir, ketua PP Muhammadiyah ketika itu. Perdebatan penuh etika semisal ini perlu terus dijaga sebagai khazanah kita. Haedar berharap ruang kearifan ini bisa tumbuh subur di masyarakat. (ribas)