Oleh: Pradana Boy ZTF
Suatu hari di Bulan November 2016, diiringi rintik hujan, aku melangkahkan kaki untuk sebuah perjalanan panjang ke Wina, Austria. Perjalanan 18 jam itu mengambil rute Malang-Jakarta-Singapura-Amsterdam-Wina. Dengan rute ini, perjalananku memutar balik. Wina berada di sebelah timur Amsterdam, sehingga dari ujung barat, aku kembali lagi ke timur. Membayangkan perjalanan udara 18 jam itu, rasanya badanku sudah sangat lelah.
Pada malam hari, pesawat meninggalkan Bandar Udara Soekarno-Hatta diselingi gerimis kecil membasahi bumi Jakarta. Lalu 1,5 jam kemudian pesawat mendarat di Singapura. Tak lama berselang, pesawat kembali terbang menuju Amsterdam.
Ternyata tak mudah memejamkan mata. Aku tertidur sebentar, lalu terjaga. Tertidur lagi, terjaga lagi. Pramugari datang menawarkan makanan, aku nikmati. Setelah makan, mata tak kunjung terpejam. Lalu kuhabiskan waktu dengan menonton film. Pesawat meninggalkan wilayah anak benua India dan tak lama memasuki wilayah Arab.
Tiba-tiba terdengar pengumuman mengagetkan. Pramugari mengabarkan, seorang penumpang sedang sakit. “Jika ada dokter di antara para penumpang, mohon menghubungi awak kabin,” demikian bunyi pengumuman itu. Tiba-tiba hatiku berdebar. Kubayangkan bagaimana rasanya jika aku yang mengalami ini.
Aku menoleh ke kanan dan kiri, ke depan dan belakang, mencari-cari di mana penumpang yang sakit itu berada. Sejurus kemudian, beberapa orang tergopoh-gopoh menuju ke arah kursi bagian depan. Rupanya, penumpang yang sakit itu berjarak sekitar sepuluh kursi dari kursiku. Para dokter mulai bekerja, berusaha memberikan pertolongan. Aku sendiri berusaha tidur. Namun mata tak kunjung mau terpejam.
Para pramugari terlihat sibuk. Wajah-wajah ayu mereka menegang. Cukup lama perawatan diberikan kepada penumpang yang sakit, hingga akhirnya sebuah pengumuman kembali terdengar.“Para penumpang sekalian, apabila ada di antara bapak dan ibu berprofesi sebagai dokter ahli kardiologi, dimohon segera menghubungi awak kabin.”
Aku semakin kaget. Kardiologi? Ini biasanya berkaitan dengan penyakit dalam, khususnya jantung dan pembuluh darah. Berarti demikian serius penyakit penumpang itu. Tanpa sadar, aku larut dalam kepanikan.
Ketegangan menyelimuti wajah sebagian besar penumpang. Awak kabin kembali mengumumkan permintaan-permintaan tertentu. Hingga akhirnya… Pada pukul dua dini hari waktu setempat, terdengar sebuah pengumuman mengagetkan. Pesawat akan mendarat darurat di Bandar Udara Esenboga, Ankara, Turki, kurang lebih 1 jam lagi.
Usai pengumuman, suasana malam di kabin menjadi riuh. Banyak penumpang yang ingin mengetahui apa yang terjadi, sehingga harus mendarat darurat. Setelah mendekati satu jam, pesawat mulai merendah. Pesawat akhirnya menjejakkan rodanya di tanah Turki, sekitar pukul tiga dini hari. Kuarahkan pandang ke luar jendela. Dari kejauhan, sebuah mobil ambulans berwarna putih dengan garis-garis merah bertuliskan TGS (Turkish Ground Service).
Beberapa pria dengan seragam khusus masuk ke pesawat menuju kursi penumpang yang sedang sakit. Sekejap, penumpang itu dievakuasi dan dibawa menuju rumah sakit. Sampai di situ, aku berfikiran, setelah ini pesawat akan segera terbang menuju Amsterdam. Rupanya dugaaanku salah. Pesawat masih tetap berhenti untuk waktu cukup lama. Namun di tengah suasana tegang itu, aku berfikir: “Ah, akhirnya aku bisa menengok Ankara.”
Ankara adalah sebuah kota yang mestinya kusinggahi untuk studi S-3 di tahun 2010, seandainya saat itu aku memutuskan untuk menerima Beasiswa Pemerintah Turki yang ditawarkan kepadaku. “Kini aku menyinggahimu, meskipun hanya mampu memandangmu dari kejauhan,” aku berbisik pada diri sendiri untuk kedua kali.
Proses berlangsung lama. Tak sesingkat yang kusangka. Satu jam berlalu. Tak ada tanda-tanda pesawat hendak berangkat. Setelah hampir dua jam berhenti di Ankara, terdengar pengumuman bahwa pesawat akan kembali terbang dalam waktu tiga puluh menit. Ekspresi lega terpancar dari wajah para penumpang, dan tentu saja aku bukan pengecualian. Namun, setelah lewat tiga puluh menit, pesawat tetap berhenti.
Tak ada protes, tak ada teriakan, tak ada kemarahan. Para penumpang terlihat sangat dewasa. Berhenti dalam waktu yang tak pasti bisa menjadikan sebagian harus mengatur ulang jadwal. Namun, hampir semua berpadu dalam satu rasa kemanusiaan.
Jam menunjukkan sekitar pukul delapan pagi ketika pilot mengumumkan selesainya urusan administrasi dan pesawat siap terbang kembali. Setelah lima jam menunggu pesawat perlahan-lahan bergerak maju. Pada satu titik, dari jendela aku melihat sebuah tulisan besar ESENBOGA HAVALIMANI berjejer di atas tembok kaca bandara yang keabu-abuan. Pesawat terus bergerak dan aku terus memandangi bangunan Bandara Esenboga Ankara dari kejauhan.
Pemandangan Ankara terlihat dengan nyata. Hingga ketika pesawat menembus awan dan bergerak semakin tinggi, Ankara tak lagi terlihat mata. Ingin rasanya hati menginjakkan kaki di Ankara. Tetapi keadaan membuatku tiada kuasa. Diam-diam aku menghibur diri, setidaknya aku telah melihat Ankara, meskipun hanya melalui jendela. Aku hanya mampu bergumam: “Ya, aku telah menengok Ankara, meski hanya dari jendela…”
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2017