RUU Pertanahan Tidak Penuhi Hak Keadilan

JAKARTA, Suara Muhammadiyah– Bentangan tanah yang subur merupakan karunia Tuhan yang sangat berharga bagi Bangsa Indonesia. Sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar manusia ini, khususnya untuk ketersediaan papan dan pangan, harus dirawat dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Untuk itu, diperlukan tata aturan bersama dalam mengelola tanah.

Bertepatan dengan Hari Tani Nasional, 24 September 2019, DPR berencana mengesahkan RUU Pertanahan. Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), WALHI, Serikat Tani Pasundan, Aliansi Masyarakat Adat, Pusat Studi Agraria IPB, dan koalisi masyarakat sipil menolak pengesahan RUU Pertanahan. Alih-alih memenuhi rasa keadilan masyarakat kecil (petani, nelayan, hingga masyarakat adat), draft RUU malah menyiratkan perlindungan pada korporasi pemilik modal.

RUU tersebut membuka jalan bagi praktik monopoli tanah dan tidak membatasi penguasaan tanah, serta tidak merespons jurang ketimpangan penguasaan tanah. Penasehat Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Muchtar Luthfi menyatakan bahwa draft RUU Pertanahan tidak demokratis dan lebih buruk dari UU Nomor 5 Tahun 1960.

“Presiden nantinya dapat mengurus peraturan tanah melalui Perpres, nuansanya kolonial sekali seperti jabatan Gubernur Jenderal Van der Capellen. Melalui domein verklaring, status setiap tanah dan bangunan yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya menjadi milik negara,” ujar Muchtar dalam konferensi pers di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Selasa, 3 September 2019.

RUU Pertanahan itu tidak menyelesaikan persoalan hak tanah masyarakat adat, serta menghidupkan kembali nuansa perampasan tanah rakyat oleh negara. “Bisa dibayangkan tanah kalau sudah hak milik negara. Saya tegaskan kembali, domein verklaring ini oleh UU Pokok Agraria dengan tegas dihapuskan karena menyengsarakan rakyat,” tutur Muchtar.

Pembahasan RUU Pertanahan dinilai belum melibatkan semua pemangku kepentingan, khususnya masyarakat sipil. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika menyebut bahwa proses pembahasan RUU ini sangat tertutup dan tidak adanya konsultasi publik yang memadai dan akomodatif. Pengerjaannya juga terkesan kejar tayang. Rasa keadilan sosial dalam Draft RUU ini, kata Dewi, justru tidak tercipta, bahkan hak masyarakat adat dan petani yang mengalami konflik agraria dengan pemilik usaha besar juga tidak tercakup.

“Menurut kami rilis draft terakhir sangat mengkhawatirkan. RUU ini keluar dari jiwa Pancasila dan sangat nyata buruk jika dijalankan ke depan karena memberikan karpet yang lebih luas bagi kapital besar untuk pemilikan tanah dengan jumlah yang sangat besar. Bahkan di RUU ini diatur pemutihan pelanggaran. Kami masyarakat sipil, guru besar, pakar meminta Ketua Panja, DPR, Presiden membatalkan ini,” ungkap Dewi.

Peneliti Pusat Studi Agraria IPB Lina Mardiana menilai bahwa mandat pengelolaan tanah yang diatur dalam RUU Pertanahan ini akan didominasi oleh negara. Hal ini menjadi pintu masuk bagi kapitalisme yang disponsori oleh negara. “RUU ini kental menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi dan politik. Bisa dilihat jelas, tanah masuk mekanisme pasar yang bisa diagunkan ke berbagai bentuk. Ini kapitalis liberal,” ujar Lina. (ribas/dbs)

Exit mobile version